Saturday, 26 May 2007 02:28
Desa Paramasan Atas, Kabupaten Banjar tiba-tiba mencuat. Selama Maret-Mei 2007 sedikitnya 116 warga terjangkit malaria, 14 di antaranya meninggal dunia. Bagaimana pola hidup warga di desa terpencil tersebut?
Desa Paramasan Atas berada paling timur di wilayah Kabupaten Banjar. Sejak awal bulan lalu telah ditetapkan sebagai daerah KLB endemis malaria. Lokasinya yang terisolir mengesankan desa itu tak pernah tersentuh pembangunan.
Untuk mencapainya memang sangat sulit. Dari ibukota Kabupaten Banjar, kita mesti menempuh jarak sekitar 175 km dengan melampaui dua kabupaten, yakni Tapin, Hulu Sungai Selatan (HSS), dan masuk wilayah Tapin lagi.
Jalur Martapura-Simpang Bagandah, Tapin, jalan relatif mulus. Baru dari situlah sebagian besar jalan rusak parah. Meski berjarak 27 kilometer, dengan sepeda motor bisa memakan waktu 3,5-4 jam. Jalurnya meliuk-liuk dan naik turun dengan sisi kiri kanan terdapat jurang yang terjal.
Di bibir hutan itulah tinggal ratusan kepala keluarga. Dengan alat penerangan tradisional, warga umumnya tinggal di rumah berdinding anyaman bambu. Halaman mereka juga terlihat becek dan dikotori aneka sampah yang berceceran. Selain tak dilengkapi riol, saluran pembuangan limbah rumah tangga juga tak ada.
"Kalau mau buang air besar terpaksa ke sungai. Begitu pula untuk keperluan sehari-hari, airnya mengambil ke sungai," ujar HM Husni, warga setempat, pekan lalu.
Meski demikian, warga sebenarnya telah sadar untuk memakai kelambu atau memakai obat nyamuk jika tidur di malam hari. Namun, karena desa itu terletak di tepi hutan lebat, serangan nyamuk hutan penyebar malaria, tetap saja mengancam, terutama ketika warga beraktivitas di luar, misalnya saat bertani atau mendulang.
Sejumlah warga mengaku, akibat parahnya infrastruktur yang ada, maka tenaga-tenaga sosial seperti halnya tenaga medis, bidan maupun guru, sangat minim. Mereka sangat jarang yang ikhlas mengabdi di desanya.
"Sudah empat bupati yang selalu menjanjikan memperbaiki jalan. Namun, ketika sudah tegak berdiri di jabatannya, mereka tak ingat lagi. Kami ini seperti tak merasakan merdeka," keluh Buak, tetangganya.
Kesehatan
Di samping sarana lainnya, proyek-proyek pengadaan fasilitas kesehatan tak pernah menyentuh desa ini. Mobil pun sudah 10 tahun tak bisa sampai ke desa terpencil itu.
"Sampai-sampai kami hanya berharap, ada seorang mantri dan seorang bidan di desa kami. Tapi itu pun sulit," ujar Buak lagi.
Karena ketiadaan tenaga medis itulah mereka tidak berdaya ketika wabah penyakit menyerang. Kalau pun tak ada wabah, warga pun sangat kerepotan ketika akan melahirkan. Selama ini, para ibu hamil yang hendak melahirkan terpaksa ditolong kerabat sendiri. "Ada saja bayi yang lahir di tangan sang ayah. Tali pusar bayi diobati dengan campuran garam dan asam kamal (asam Jawa)," ucap Halidah yang ditemui terpisah.
Ketika wabah malaria (disebut warga dengan istilah wisa) melanda hingga April lalu, mereka pun hanya pasrah, seraya berikhtiar dengan melakukan pangobatan tradisional.
Sasan (26), misalnya, mengaku harus rela ditinggal istrinya, Umik (25) selama-lamanya akibat penyakit malaria yang menjangkitinya tak terobati.
"Tidak ada mantri di sini. Mau keluar mencari pengobatan medis, jalannya sulit. Untuk berjalan sendiri saja susah, bagaimana lagi membawa yang sakit. Makanya kalau ada yang terkena wisa kita hanya mengobatinya dengan ritual balian," ujar Sasan didampingi sesepuh desa yang akrab dipanggil Kai.
Dalam pengobatan tradisional ini si sakit dibaringkan di balai-balai, kemudian seorang dukun memberikan pengobatan dengan menari-nari mengelilingi pasien seraya membaca mantra.
Menurut Kai, penularan penyakit itu sangat cepat dan mematikan. Sudah banyak kejadian hingga penderita tak tertolong lagi.
"Jika menderita sampai tiga hari, ciri kulitnya menguning, panas dan menggigil, langsung meninggal. Sejak awal tahun ini, 14 warga kami meninggal," sesalnya.
Kadinkes Banjar, dr Toto Medyanto, menyatakan pada akhir Maret lalu, telah dikirim lima anggota tim medis. Hasilnya, tim berhasil mengobati 102 warga yang sempat terjangkit malaria. Sejak itu korban tewas bisa ditekan. adi