Wednesday, July 18, 2007

Mengikuti Aruh Buntang di Desa Warukin Tak Lagi Penggal Kepala

Tuesday, 17 July 2007 02:59

Jenjab (73), balian raden utama, tampak serius bamamang atau merapal doa mengundang roh para leluhur dan raden dari dunia atas. Di dunia, manusia telah menyiapkan hidangan menyambut kedatangan mereka.

Diiringi dua balian pembantu, nenek yang energik itu tak henti menari dengan menggerakkan kedua tangan yang dihiasi gelang dadas. Gelang dadas terbuat dari kuningan, yang dapat menimbulkan gemerincing menyesuaikan musik khas Dayak yang terdengar rancak.

Ketiga balian yang cuma mengenakan sarung yang diikat selendang pada pinggang mengitari sesaji. Sesaji ditata apik mengelilingi balai buatan di dalam rumah yang disebut meranggai. Sesaji terdiri atas sejumlah hasil bumi seperti beras, ketan, kelapa, gula merah, nanas serta dua ayam kampung. Selain itu terdapat telur, ketupat dan lemang atau ketan yang dimasak dalam buluh bambu.

Ritual Kamis (12/7) itu merupakan salah satu sesi pelaksanaan aruh buntang keluarga Pardi Luit, warga Desa Warukin Kecamatan Tanta Kabupaten Tabalong. Pelaksanaan aruh berlangsung sejak Senin (9/7) dan berakhir Jumat (13/7).

Masa usai panen padi bagi warga Dayak merupakan saat yang tepat menggelar aruh atau hajatan. Selain persediaan beras melimpah, rata-rata kerabat jauh tidak memiliki kesibukan sehingga bisa diundang.

Aruh merupakan tahapan mengangkat roh leluhur masyarakat Dayak Manyan yang masih menganut Kaharingan dari alam kubur ke dunia. Ritual itu juga dikenal di sejumlah komunitas Dayak lainnya, meskipun dengan sebutan berbeda.

Pardi Luit, meski telah memeluk agama Katolik, tetap melaksanakan buntang untuk arwah ayahnya, Ulau, dan kakaknya, Nolam. Untuk menggelar acara itu, Pardi merogoh dana Rp 65 juta. Selain untuk aneka sesaji, makanan dan minuman, dana tersebut untuk akomodasi dan transportasi sejumlah tamu penting seperti para balian yang khusus didatangkan dari Kalteng. Maklum di Desa Warukin tidak ada lagi balian. Bahkan warga yang menganut Kaharingan tinggal empat orang.

Menurut Kepala Lembaga Adat Desa Warukin, Rumbun, aruh buntang pujamanta yang digelar keluarga Pardi merupakan tahapan kedua setelah upacara mbia atau membatur. Aruh buntang pujamanta dilanjutkan dengan acara buntang pujamea yang merupakan puncak pengantaran roh leluhur menuju dunia atas agar menjadi nanyo saniang atau dewa selamanya.

Karena masih tahap kedua, binatang kurban cuma seekor kambing. Sedangkan untuk aruh buntang pujamea harus mengorbankan seekor kerbau yang merupakan binatang tertinggi nilainya bagi suku Dayak.

Ulu Kering

Prosesi buntang diawali dengan mengelilingi kuburan leluhur yang ingin diangkat arwahnya sebanyak tiga kali oleh kerabat dari satu garis keturunan. Selama mengelilingi kuburan, ketua rombongan membawa ulu karing atau sebuah tengkorak manusia kering berusia ratusan tahun.

Tengkorak itu sebagai pengganti kepala manusia. Dulu keluarga yang akan melaksanakan aruh, menyewa orang sakti untuk mengayau (memenggal kepala manusia) orang sakti atau berpengaruh dari kampung lain sebagai persembahan dan penghormatan kepada arwah.

"Tapi sejak penjajah Belanda masuk, ngayau dilarang karena dianggap kejahatan," jelas Kepala Lembaga Adat, Rumbun.

Pelarangan ditandai dengan perjanjian Tumbang Anoi di Kalteng.

Sebagai gantinya, keluarga yang menggelar aruh hanya membawa tengkorak tua yang berumur ratusan tahun dan sudah terdaftar di kepolisian sebagai benda cagar budaya. Keluarga Pardi meminjam tengkorak milik keluarga Mebas. Salah satu keturunan Mebas adalah Ampere Ariyanto Mebas, anggota DPRD Tabalong.

Usai mengelilingi kuburan, ulu karing yang wujudnya tinggal separuh dibawa masuk rumah dan diletakkan di balai adat. Tengkorak disatukan dengan sejumlah benda simbolik seperti tombak, beras, ketan, tuak dan ayam.

Prosesi puncak adat membuntang dimulai dengan acara penombakan seekor kambing sebagai kurban. Dilanjutkan dengan sejumlah ritual seperti maranggai yang dipimpin rohaniawan perempuan atau biasa disebut balian raden. Sedang ritual penutup kuda gawi dipimpin balian pria atau bawo.

Aktivitas tarian ini sangat melelahkan karena berlangsung berjam-jam dan nonstop. Sebelum kuda gawi, dilaksanakan acara penutupan yang ditandai dengan minum tuak bersama.

Selama acara membuntang suasana kampung bak pasar malam. Seluruh warga desa bahkan dari kampung lain ikut meramaikan acara. Apalagi di lokasi aruh diselenggarakan permainan yang mengarah pada perjudian. Permainan itu merupakan bagian dari aruh yang harus dilaksanakan.

Rumbun menerangkan arena perjudian digelar semata untuk membantu keluarga penyelenggara aruh. Sebagian dana yang terkumpul disumbangkan kepada tuan rumah. Begitu pula dana parkir dan warung makan di sekitar lokasi hajatan. anjar


No comments: