Friday, November 24, 2006

Kalteng Pusat Kaharingan

Minggu, 05 Nopember 2006 00:18
PALANGKA - Rapat Pimpinan II Pengurus Besar Badan Agama Kaharingan Dayak Indonesia Pusat dan Kongres I Pengurus Besar Lembaga Tertinggi Majelis Agama Kaharingan Republik Indonesia (PBLT-MAKRI) di Palangka Raya, Jumat (3/11), menjadikan Kalteng sebagai pusat Kaharingan di Indonesia.

Ketua Umum PBLT-MAKRI Lubis mengatakan, hanya Kalteng pula yang mempertahankan kemurnian ajaran Kaharingan.

Menurutnya, tujuan dua kegiatan itu untuk menyatukan visi, misi umat Kaharingan dan meningkatkan peran PBLT MAKRI, sebagai salah satu lembaga keagamaan yang perlu didukung maupun ditingkatkan peranannya oleh Pemerintah RI demi keutuhan nega Republik Indonesia. "Sebab, penganut Kaharingan tidak ingin suatu saat nanti memilih perjuangan seperti saudara-saudara kita di Papua, apalagi sampai memimpikan Negara Republik Borneo Merdeka," kata Lubis.

Asisten III Setwilda Kalteng Abdi Unjung menyampaikan permohonan maaf Gubernur Agustin Teras Narang yang tak bisa hadir dalam acara tersebut. sut

Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Sekolah Warga Adat Terkendala Akta Nikah

Jumat, 03 Nopember 2006 00:38:23
Ratusan pasangan suami istri di permukiman Balai Adat Loksado belum memiliki akta nikah resmi dari badan kependudukan dan catatan sipil (Badukcapil) setempat. Akibatnya, mereka terkendala mengurus berbagai pelayanan publik yang diberikan Pemerintah Daerah Hulu Sungai Selatan.

Menurut Mindri, Pembakal Desa Tumingki, sebagian besar pasangan suami istri balai adat di Loksado belum terdaftar di catatan sipil karena menikah hanya secara adat.

Hal itu ternyata berdampak sulitnya warga adat memasukkan anak mereka bersekolah atau membuat kartu keluarga atau bahkan mengurus pinjaman di bank.

"Untuk mengurus kartu keluarga kadang ditanyakan akta nikah oleh petugas, untuk membuktikan resmi tidaknya pasangan suami istri tersebut," ujar Mindri didampingi Rahmad Iriadi, Pembina masyarakat adat Loksado, Kamis (2/11).

Apalagi, imbuhnya, saat ini ada program santunan kematian kepada warga dengan syarat ber-KTP HSS.

Rahmad menimpali, seharusnya pemkab proaktif mengatasi masalah dialami warga pedalaman ini, khususnya yang menganut Kaharingan.

"Jangan sampai ada perbedaan, adakan penyuluhan ke balai-balai adat," katanya

Pada 2005 lalu Pemkab HSS memang pernah menggelar nikah massal dan diberikan akta nikah. Namun warga adat tidak diikutsertakan.

Kepala Badukcapil HSS, Rahman Farisi, mengakui masyarakat adat Kaharingan belum punya akta nikah. Kendalanya, Badukcapil tak punya dasar untuk memberikan akta nikah kepada mereka.

Sebab, hanya beberapa agama yang punya dasar untuk diberikan akta nikah yakni Kristen Protestan, Katholik, Buddha dan Hindu. Terakhir Kong Hu Chu juga masuk sebagai agama yang diakui untuk mendapatkan akta nikah oleh catatan sipil.

"Ini persoalan yang dihadapi secara nasional di daerah lain yang ada masyarakat adatnya juga mengalami hal serupa," kata Rahman.

Pihaknya sempat membawa masalah ini ke tingkat nasional, yang ternyata juga dialami daerah lain. Namun sampai kini belum terpecahkan.

Rahman membantah akta nikah dikaitkan dengan pengurusan KK atau KTP. "Kalau KK dan KTP itu hak sebagai penduduk, tak ada kaitan dengan akta nikah. ary
Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Friday, November 10, 2006

TRADISI RAMADHAN

Jumat, 20 Oktober 2006
M Syaifullah

Pada bulan suci Ramadhan ini, warga Kalimantan Selatan tidak hanya berjuang melawan hawa nafsu, rasa lapar, dan haus. Mereka juga terpaksa menghirup asap pekat.

Bencana asap akibat hebatnya kebakaran hutan, semak belukar, dan lahan di berbagai bagian provinsi itu memang sudah berlangsung sejak awal Ramadhan hingga beberapa hari menjelang Lebaran ini.

Sejak bulan suci tiba, aktivitas dan kegiatan ibadah yang banyak dilakukan bersama-sama di masjid atau tempat umum lainnya selalu diawali dengan usaha menerobos kabut asap sejak dari halaman rumah. Dampaknya, banyak yang terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

Namun, memasuki 10 hari terakhir puasa, warga sepertinya tak peduli lagi dengan udara yang tercemar. Di tengah serbuan asap pekat, banyak yang nekat keluar rumah malam hari hingga menjelang subuh.

Mereka bersikeras keluar rumah karena tidak ingin melepaskan sejumlah tradisi dalam bulan puasa. Salah satunya adalah perayaan malam salikuran—malam kedua puluh satu—yang berlangsung hingga akhir Ramadhan.

Masyarakat Banjar punya kegiatan yang khas pada malam salikuran, yakni bagarakan (berkarnaval atau pawai) di jalan-jalan utama di daerah mereka masing-masing. Pada masa lalu, kegiatan ini bahkan dilakukan dengan cara keliling dari kampung ke kampung.

Kini, acara salikuran juga jadi agenda wisata. Yang terbesar berlangsung di Lapangan Murdjani yang terletak di depan Kantor Wali Kota Banjarbaru pada Sabtu (14/10) malam hingga Minggu dini hari.

Dalam karnaval ada dua kegiatan yang paling menonjol, yakni tradisi bagarakan tanglong (karnaval lampion) berukuran besar dan bagarakan sahur (membangunkan warga untuk sahur). Di Banjarbaru, karnaval itu sudah dilombakan dalam enam tahun terakhir.

Bertabur warna

Tidak seperti biasa, malam itu Lapangan Murdjani bertabur cahaya. Atmosfer itu dibangun oleh puluhan tanglong yang memendarkan pijar api minyak tanah aneka warna.

Lampion-lampion berukuran besar itu juga beragam bentuknya. Ada yang berbentuk masjid, bentuk pria yang tengah duduk membaca Al Quran, atau unta dan pohon kurma.

Namun, ada juga yang berkreasi dengan tidak merujuk pada simbol peribadatan. Ada lampion berbentuk pohon angker, hantu pocong, dan ada juga lampion tokoh kartun idola anak-anak, Spongebob.

Kegiatan ini memang bukan kelas kampung lagi. Tradisi warga Banjar tersebut diikuti 86 peserta dari berbagai kelompok remaja, kampung, atau kecamatan se-Kalimantan Selatan.

Selain beraksi di Lapangan Murdjani, para peserta juga berpawai di sepanjang jalan sejauh lebih dari 10 kilometer hingga Bundaran Tugu Intan di perbatasan Martapura. Pawai berlangsung lebih dari tiga jam. Ribuan warga pun memadati tepian jalan, setia menunggu arak-arakan.

Seperti di Banjarbaru, kedua tradisi itu juga berlangsung di kabupaten lainnya, seperti di Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Hulu Sungai Selatan. Bahkan, Kandangan, ibu kota Hulu Sungai Selatan, memiliki tradisi bagarakan dengan mengarak sepasang naga, bagarak naga laki dan naga bini.

Tradisi ini berawal dari legenda sepasang naga yang oleh sebagian warga Kalimantan Selatan dipercaya punya kaitan dengan keutuhan dan keharmonisan keluarga. Untuk mengingat kembali legenda itu, bagarakan sepasang naga ini ditampilkan setiap malam salikuran.

Kertas bekas

Tanglong biasanya dibuat dari kertas bekas atau kertas minyak berwarna. Di suatu kampung, pembuatannya biasanya dilakukan beramai-ramai oleh warga.

Satu tanglong memerlukan biaya Rp 500.000 hingga Rp 3 juta. "Kami bisa membuat tanglong berbeda-beda setiap tahun karena terus didukung warga," kata Anto, pembuat tanglong tadarusan Al Quran dari Kelompok Remaja Muslim Intan Amaco, Banjarbaru.

Tanglong diperkirakan bukan produk asli budaya Banjar. Dia diserap dari bentuk atau model lampu hias bangsa atau suku lain, seperti dari masyarakat China. Bagi masyarakat Banjar, tanglong semata-mata merupakan aksesori beranda dan halaman rumah.

Biasanya di halaman juga diletakkan barisan lampu suluh selama bulan Ramadhan, yang membuat kampung-kampung warga Banjar menjadi semarak.

"Tadinya warga lebih mengenal kegiatan memasang lampu damar atau badadamaran di depan rumah mereka. Kegiatan itu kemudian berubah menjadi pemasangan lampu-lampu tanglong berbahan bakar minyak tanah," kata M Syafri Kadir, budayawan Banjar, di Banjarbaru.

Setelah jaringan listrik dan kemudian televisi menyebar ke kampung-kampung, kebiasaan itu banyak ditinggalkan. Warga tidak lagi perlu dibangunkan karena mereka banyak yang menonton televisi hingga jadwal makan sahur tiba.

Tanglong dan bagarakan sahur kembali menemukan "rohnya" setelah dijadikan kegiatan seni dan budaya tahunan yang bernapaskan keagamaan. Kegiatan itu juga jadi ajang silaturahmi sesama warga dan memperkaya wisata budaya Banjar.

Tradisi tanglong ini bukan sekadar keramaian, melainkan sarat dengan pesan moral agama dan kemasyarakatan dalam kreasi-kreasinya. Harapannya tentu bencana kabut asap tidak menjadi "tradisi" tahunan yang menyiksa.

Wednesday, October 18, 2006

Peneliti Dayak Luncurkan Buku

Minggu, 15 Oktober 2006 02:03:22

Pontianak - Institut Dayakologi meluncurkan buku "Mutiara Damai dari Kalimantan", dalam upaya membangun kembali perdamaian di Kalimantan Barat. Kalbar dalam sejarahnya memang kerap dilanda konflik etnis, yang tidak sedikit menimbulkan korban jiwa maupun harta benda.

Ketua Segerak Pancur Kasih, AR Mecer, di Pontianak, Sabtu (14/10), mengatakan terjadi 13 kali kerusuhan antara Dayak-Madura, dua kali Melayu-Madura dan satu kali antara Tionghoa-Dayak serta antara sesama Dayak di masa lalu (pengayauan/mengayau). Konflik etnis terakhir terjadi pada 2002 di Kota Pontianak.

Meski tidak terjadi lagi, benih-benih konflik masih ada. Secara nyata masih bisa dilihat adanya kelompok etnis yang belum menerima etnis lainnya masuk ke wilayah mereka. Benih-benih konflik tersebut, menurut Mecer, harus dihilangkan dengan membudayakan perdamaian.

"Buku Mutiara Damai dari Kalimantan" yang memiliki 258 halaman ditulis selama tiga bulan oleh lima peneliti Institut Dayakologi yang terdiri atas R Giring, Uray Endang Kusumajaya, Pandhita Eny Enawaty (Budha), Subro, Leo Sutrisno.

Mecer berharap masyarakat Kalbar membacanya dan memahami betapa tidak ada gunanya konflik. Konflik merugikan banyak pihak.klc

Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Saturday, October 14, 2006

Upacara Tiwah Masih Lestari

Minggu, 08 Oktober 2006 00:04

Hadirnya lukisan perahu pada beberapa media penguburan masyarakat Dayak tak lepas dari upacara tiwah mengantar roh leluhur yang telah mati yang hingga kini masih lestari di pedalaman Dayak, Kalimantan Tengah. Walaupun memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan upacara kematian di provinsi lain, hingga kini tiwah belum diberdayakan sebagai aset pariwisata dan budaya daerah.

Misalnya di Desa Penda Barania, Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah (Kalteng), sekitar 45 kilometer dari Palangkaraya, dengan menyusuri Sungai Kahayan, rangkaian tiwah berlangsung masih asli.

Ratusan sanak famili dari nenek moyang yang ditiwahkan berduyun-duyun datang ke Desa Penda Barania dengan menggunakan perahu kelotok. Tidak terlihat wisatawan luar daerah yang khusus mengunjungi kegiatan langka tersebut.

Rangkaian tiwah terdiri dari 14 tahapan yang digelar selama dua bulan. Ritual pertama dimulai dengan mendirikan Balai Nyahu (rumah tulang belulang leluhur) hingga tahap terakhir Uluh Balian Buli (memulangkan pemuka agama)

Ritual Tabuh diselenggarakan dengan menombak kerbau sekitar 14 ekor. Tabuh I bertujuan menyatukan roh dari unsur Liau Balawang Panjang (roh dari unsur bapak). Selanjutnya Tabuh II akan menyatukan roh Liau Karahang Tulang (roh dari unsur ibu) dan Tabuh III menyatukan unsur bapak dan ibu dengan roh Liau Panyalumpak (unsur roh dari Yang Kuasa). ncu/kcm

Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Lukisan Perahu Dalam Mitologi Dayak

Minggu, 08 Oktober 2006 00:04

PERAHU merupakan salah satu alat transportasi yang dikenal oleh hampir semua penduduk di seluruh dunia terutama yang berdiam di daerah pantai, danau, rawa, atau daerah sungai. Pada beberapa daerah perahu memiliki fungsi simbolis dengan arti tertentu.

Fungsi simbolis biasanya berkaitan dengan konsep dan kegiatan religius. Demikian juga dengan di Kalimantan seperti Kalteng dan Kalsel yang daerahnya hampir sebagian besar daerah rawa dan sungai.

Menurut peneliti khusus budaya Dayak dari Balai Arkeologi Banjarmasin, Hartatik, pada masyarakat Dayak Kalsel dan Kalteng yang menganut religi Kaharingan, perahu memiliki fungsi simbolis. Berkaitan dengan upacara tiwah atau perahu dipercaya mengantarkan arwah ke surga.

"Ini dalam bentuk peti mati yang berbentuk perahu. Ada juga papan perahu banama tingang pada upacara tiwah kecil," kata Tatik-panggilannya.

Raung atau rarung menurutnya, terbuat dari kayu ulin atau kayu lain yang dilobangi tengahnya sehingga mirip dengan perahu. Yang menarik adalah motifnya yang digambar dengan motif stiliran flora dan sulur-suluran.

"Dalam penguburan ini mayat yang telah dimasukkan dalam peti mati di beri peralatan sehari-hari seperti mandau, suling, lanjung salah, beriut, tikar bendera, dan peralatan lainnya," tambahnya.

Ini ditujukan karenna dalam perjalanan ke dunia asalnya si arwah juga seperti orang hidup yang beraktifitas. Setelah mayat dikuburkan dalam tanah sebagian diletakkan di sekitar kubur atau dikuburkan bersama si mati.

"Setelah dua atau tiga tahun dimana keluarga si mati mempunyai biaya yang cukup untuk mengadakan pesta tiwah, kuburan dibongkar. Tulang-tulang diambil lalu dimasukkan dalam wadah guci atau mangkok," papar peneliti lulusan Universitas Gajah Mada ini.

Ada pula yang dibakar lalu abu dan sisa-sisa tulang Sisa abu atau trulang ini lalu ditempatkan dalam satu tempat yang disebut sandong. Bangunan ini berbentuk rumah panggung kecil yang biasanya disebut rumah arwah. Dilengkapi juga dengan dinding dan pintu.

"Bentuk dasar bangunan ini adalah empat persegi panjang yang dindingnya melebar ke atas. Bentuk ini sama dengan dasar perahu yang dasarnya lebih sempit bagian bawahnya. Bentuk sandong menyerupai bentuk perahu dengan hiasan-hiasan simbol perjalanan arwah menuju lautan," jelasnya.

Kemudian ada juga papan berahu banama atau disebut papan perahu banama tingang. Pada upacara mamapas tali adalah upacara dengan menggunakan media berupa sebuah papan bergambar perahu yang disebut perahu benawa. Ini ditujukan untuk menceritakan kembali perjalanan hidup si mati, sejak kelahiran hingga kematian.

Pada banawa tingang karena selain terdapat gambar perahu, juga terdapat gambar atau patung burung tingang dengan alat-alat upacara.

"Penggambaran ini adalah untuk memberi kekuatan pada arwah yang digambarkan dalam perjalanan ke lewu tatau dengan menaiki perahu. Agar aman dari gangguan roh jahat dan selamat sampai tujuan, kerabat yang masih hidup melaksanakan upacara dengan membaca mantra atau mitologi untuk memberi kekuatan pada arwah," pungkas Tatik. ncu

Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Friday, October 13, 2006

Aruh Balanggatan Suku Dayak Atiran (1)

Minggu, 24 September 2006 23:09:32
Minta Panjang Umur Dan Dilimpahkan Rezeki

Suara gendang yang ditabuh dengan syair menyayat hati menyeruak kegelapan malam. Saat itu jarum jam telah menunjukkan pukul 22.30 Wita. Beberapa pria paruh baya dengan pakaian adat tampak terlihat duduk mengelilingi papan langgatan yang merupakan bangunan sesembahan.

Sementara itu, kaum wanitanya menghentak-hentakkan kaki sambil menari mengelilingi bangunan empat persegi yang dipenuhi aneka macam makanan sesembahan. Prosesi itu mereka lakukan dengan penuh kekhidmatan.

Mereka adalah suku dayak balai adat Desa Atiran Kabupaten HST yang kemarin malam, Minggu (24/9) telah merampungkan proses Aruh Balanggatan sebagai tanda syukur dipanjangkan umur dan doa menghadapi musim tanam supaya kembali dilimpahkan rezeki.

"Dengan aruh ini kami minta pada Yang Maha Kuasa agar kami dikaruniai kesehatan, kemudahan rezeki dan keberhasilan dalam bercocok tanam kembali," ujar Rajuddin, ketua panitia Aruh Balanggatan.

Digelar selama enam hari enam malam, sejak Selasa (12/9), seluruh warga adat desa Atiran berkumpul di balai ini untuk melaksanakan rentetan ritual yang menurut mereka tidak boleh dikurangi dan ditambah.

Rentetan ritual tersebut sebut Rajuddin dimulai sejak Selasa siang dimana seluruh warga Atiran yang melaksanakan aruh itu berkumpul di balai adat dengan membawa serta seluruh keluarganya. Mereka akan berada disini selama enam hari enam malam mengikuti seluruh rangkaian ritual.

Saat malam harinya, ritual pertama dilaksanakan dengan acara yang mereka namakan aruh adat dengan leluhur, datu-datu mereka yang ada di alam sana.

Sambil baiigal (menari) mengelilingi bangunan persegi yang ada di tengah balai, para tokoh adat menganggap ini sebagai ritual pembuka dimana para peserta aruh secara bergantian menari berkeliling.

Pada malam itu selamatan pertama dimulai dengan mempersembahkan satu lonjor kue lemang yang mereka sembahkan kepada leluhur mereka. Keesokan harinya, kue lemang kembali dibuat untuk dipersembahkan lagi kepada leluhur dengan cara diletakkan di bawah papan langgatan.

Pada malam hari berikutnya, para peserta aruh akan mencuci beras ketan untuk dimasak menjadi lemang dengan acara yang sama seperti yang dilaksanakan pada malam pertama.

Hari ketiga, ritual bergeser pada papan langgatan ke dua yang akan diturunkan dimana posisinya di belakang papan langgatan pertama. wahyudi rachman

Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Thursday, October 12, 2006

Bakar Pohon Denda Rp50 Ribu

Senin, 18 September 2006 01:01:12

Kandangan, BPost
Untuk menjaga kelestarian hutan di Pegunungan Meratus, masyarakat Dayak Loksado memiliki aturan tersendiri, yakni setiap orang yang membakar satu pohon dikenakan denda Rp50 ribu.

Meski tak tertulis aturan itu dihargai oleh masyarakat setempat. Namun kadang pembakaran lahan juga berimbas pada terbakarnya pohon.

Rahat (70), peladang Malinau mengakui pada bulan ini mereka siap melakukan pembakaran lahan.

"Kami melaksanakannya dengan gotong royong supaya tak menyebar ke lahan lain tapi tiap tahun tetap ada saja kebakaran meluas," akunya.

Pantauan BPost, Minggu (17/9), ratusan peladang dari 48 balai adat di Kecamatan Loksado serentak melakukan pembakaran lahan pada September ini. titik lahan siap dibakar warga terlihat di sepanjang jalan Kecamatan Loksado.

Dimulai dari wilayah Halunuk, Panggungan, Tanuhi, Malinau, Lumpangi, Loksado, Haratai, Kamawakan, Ulang bahkan sampai perbatasan dengan Hulu Sungai Tengah.

Pengamat sosial HSS Rahmad Iriadi SP yang juga ikut memantau areal siap dibakar ini mengkhawatirkan hal ini berdampak negatif terhadap lingkungan hutan.

"Bayangkan bila satu balai adat ada enam kepala keluarga dan masing-masing kepala keluarga membakar satu sampai dua hektare tiap tahun, berapa ratus hektar lahan terbakar setiap tahun," kata sekretaris PKB HSS ini.

Dia memprediksi tidak mustahil dalam jangka waktu beberapa puluh tahun mendatang hutan rakyat bisa habis.

Plt Kadishutbun HSS Ir Udi Prasetyo, mengakui mulai minggu terakhir September secara serentak masyarakat adat melakukan tradisi pembakaran lahan. Namun sejauh pantauan pihaknya, pembakaran masih sebatas semak belum menyentuh hutan lindung.

Namun diakuinya memang lahan milik masyarakat yang dibakar bukan saja terjadi di luar kawasan hutan lindung tapi juga ada yang di dalam kawasan. "Karena ada ladang milik masyarakat yang dalam kawasan hutan," katanya.

Pemkab tak bisa mengubah tradisi warga yang sudah turun temurun tersebut. Cara buka ladang dengan bakar lahan ini selain berdampak positif juga bisa negatif.

Positifnya cara membakar ini membuat kesuburan tanah karena kandangan nitrogen hasil pembakaran semak berubah jadi humus. Negatifnya, bila kebakaran merayap ke kawasan hutan lindung dan pohon keras juga ikut dibabat.

Dishutbun melakukan penataan dengan sistem pembakaran terkendali. Warga yang membakar melapor ke pembakal setempat dan kemudian diberitahukan kepada Polhut agar pembakaran diawasi.

Selain itu juga sudah dikampanyekan sistem ladang gilir balik. Di mana lahan yang telah diladangi dalam jangka beberapa tahun kemudian diladangi kembali." Atau dengan melaksanakan pertanian sistem tumpang sari di daerah pegunungan," tambah Udi. ary

Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Tuesday, August 08, 2006

HARI MASYARAKAT ADAT Manusiakan Mereka!

Banjarmasin Post; Rabu, 09 Agustus 2006 02:32:16

Dulu, masyarakat adat hidup damai dan selaras dengan alam. Beragam kearifan mereka tuangkan demi terciptanya harmonisasi hidup. Namun, kini mereka tergilas oleh bergeraknya gerbong industrialisasi.

Di Kalimantan Selatan terdapat sedikitnya 800 komunitas adat Dayak yang sebagian besar masih hidup terpencil. Saat ini mereka terengah-engah dihantam oleh perubahan. Mereka terus mencoba bertahan hidup di tengah aksi perampasan hasil alam.

Paheri Noor, Komisioner Hak Masyarakat Adat Komnas HAM mengatakan, perlindungan dan advokasi untuk menjamin pemenuhan hak-hak mereka masih belum dilakukan secara maksimal. "Secara nyata yang menimpa suku Dayak di Kalimantan adalah upaya marginalisasi, alienasi dan diskriminasi," ujarnya kepada BPost Jakarta, Selasa (8/8).

Paheri mengungkapkan dalam pertemuan di Pontianak, beberapa waktu lalu, komunitas adat Dayak Kalimantan tidak lagi mengaku adanya hutan milik negara. "Hutan itu milik masyarakat adat, negara hanya melindungi," tegasnya.

Tidak banyak yang tahu termasuk komunitas adat terpencil (KAT), Rabu (9/8) ini adalah Hari Masyarakat Adat Se-Dunia (Indigenous People’s Day). Meski peringatan ini telah ditetapkan dalam resolusi PBB yang dikeluarkan sejak 1994, namun pemerintah pertama kali baru memperingatinya besok. Tragis memang.

Dalam rangkaian acara, hari ini digelar pameran foto KAT di Hotel Four Seasons, Jakarta. Untuk Kalimantan diwakili fotografer BPost, Fikria Hidayat. Dia menampilkan sejumlah foto yang merekam dan melukiskan kondisi keterpinggiran komunitas adat Dayak Kalimantan.

Rondang Siahaan, Direktur Pemberdayaan KAT Departemen Sosial RI mengatakan, pemerintah tidak bisa lagi menggunakan pendekatan klasik seperti memberikan pemukiman baru agar masyarakat adat memiliki akses perubahan, tetapi memberikan perlindungan dari ancaman industrialisasi.

"Setiap perubahan yang masuk ke KAT mulai sekarang harus memiliki pendekatan baru, intinya perubahan harus berciri khas setempat dan bersanding dengan kearifan lokal," ujarnya.

Komunitas adat boleh bergembira dengan penghormatan formal terhadap keberadaan mereka. Diharapkan, pemerintah akan lebih berupaya meningkatkan taraf hidup dan memberi perlindungan serta advokasi untuk menjamin pemenuhan hak-hak sosial budaya adat.

Semoga. fik

Friday, August 04, 2006

Dayak Loksado Ancam Turun Gunung

Jumat, 04 Agustus 2006 00:33:17

Kandangan, BPost - Warga Dayak Loksado mengancam akan melakukan aksi turun gunung apabila proyek jalan di Haratai senilai Rp1,5 miliar lebih tidak dilaksanakan secara transparan.

Sukartoni, Pembakal Haratai didampingi tokoh adat Haratai Kitat dan fasilitator mereka Rakhmat Iriady, Kamis (3/8) mendatangi Redaksi BPost untuk menyerahkan sebuah surat pernyataan.

Dalam pernyataannya yang ditandatangani Sukartoni dan Kitat, meminta kontraktor yang akan mengerjakan proyek jalan di daerah adat Loksado seperti Haratai I sampai Haratai III agar benar-benar bonafit dan profesional.

Pasalnya, mereka telah mencium nama kontraktor yang akan mengerjakan proyek tersebut. Padahal proyek Haratai sampai saat ini belum dilakukan lelang oleh Dinas PU HSS.

"Kita minta kontraktor yang mengerjakan proyek ini tidak asal-asalan. Kami mendengar isu tak sedap, kontraktor yang mengerjakan proyek ini hanya akan menggunakan cangkul dan sekop, bukan menggunakan buldoser atau eksavator sebagaimana mestinya," ujar Sukartoni.

Warga Dayak Loksado mendukung penuh pernyataan Bupati HSS di Harian Banjarmasin Post beberapa hari lalu untuk memberantas maraknya KKN antara pimpro dan kontraktor.

Apabila pernyataan sikap warga Dayak Loksado ini tak disikapi dengan serius, mereka siap turun gunung ke Kandangan melakukan aksi demo ke Pemkab HSS.

"Ini demi terciptanya pembangunan di HSS seperti yang didambakan selama ini," ujar Sukartoni.

Pernyataan sikap warga Dayak Loksado ini juga ditembuskan ke Bupati HSS HM Safi’i dan Ketua DPRD HSS Ardiansyah.

Rakhmat Iriady berharap, proyek di daerah pedalaman jangan dilakukan asal-asalan. Mentang-mentang jauh dari pengawasan lalu dikerjakan seadanya dan dianggap remeh.

Sementara Kadis PU HSS Taufik Rachman ketika dikonfirmasi mengatakan, proyek di Haratai belum ada ketentuan siapa yang menang. "Proyek itu masih tahap lelang, saat ini masih tahapan evaluasi, memang ada urutan kontraktor yang ikut lelang nomor satu, dua dan tiga namun belum ada ditentukan siapa pemenangnya," terang Taufik.

Ditanya tentang rencana pengerjaan proyek itu secara manual, Taufik membantah. "Itu tidak benar, spesifikasi pengerjaan proyek itu tidak secara manual tapi menggunakan alat berat," tandasnya. ary