Sunday, December 30, 2007

Dayak Dusun Siap Gelar Pawanangan

Senin, 26 November 2007
Radar Banjarmasin

KOTABARU – Salah satu khasanah budaya yang dimiliki Kotabaru adalah acara adat yang dimiliki oleh suku Dayak Dusun yang tinggal di kecamatan Sungai Durian. Biasanya upacara adat tersebut dilaksanakan setiap menjelang musim panen dan biasanya disebut upacara Pawanangan oleh suku dayak yang tinggal di kaki gunung Meratus.

Dalam acara tersebut setiap kali memasuki puncak acara selalu ditampilkan tarian khas suku dayak tarian Babalian.

Musian, tokoh adat masyarakat Dayak Dusun di sana akrab dipanggil Pa Ida, mengungkapkan upacara adat dilaksanakan tiga kali dalam setahun. Saat pelaksanaan ritual dipersiapkan kue-kue dan wewangian, juga beberapa jenis makanan seperti Lamang, Dodol, Wajik, Cucur, serta Pais yang dibungkus dengan daun aren.

Selanjutnya, pelengkap ritual wewangian di siapkan di saat sudah dekat menjelang puncak pesta adat, seperti bawang, jahe, dan jenis-jenis wewangian lainnya lainnya.

Sedangkan hewan yang dipotong dalam upacara itu, tahun pertama menjelang musim panen akan di potong seekor ayam, tahun kedua kambing, dan tahun ketiga kerbau. Ritual ini terus dilaksanakan secara berurutan dari musim panen pertama, kedua, dan ketiga dalam setahun.

Apabila hasil panen melimpah upacara adat yang diwarnai tarian Babalian adat suku Dayak Dusun, pemotongan hewan bisa lebih dari satu. Tapi kalau musim panen kurang atau gagal upacara adat Pawanangan tetap dilaksanakan, namun disesuaikan kemampuan.

“Hasil panen melimpah atau tidak acara adat ini tetap dilaksanakan. Karena bagi masyarakat kami upacara adat Pawanangan ini wajib dilaksanakan setiap tahunnya,” jelas Pa Ida.

Untuk persiapan upacara adat tahun ini 208 kaleng padi dibagikan kepada fakir miskin, dengan biaya sebesar Rp13 juta. (ins)

Monday, December 17, 2007

Aruh Adat, Syukuri Hasil Panen

Rabu, 7 November 2007


Radar Banjarmasin
BATULICIN,- Warga adat Desa Tamunih Kecamatan Kusan Hulu (Lasung) menggelar aruh adat di kantor desa setempat. Ritual adat itu digelar sebagai ungkapan rasa syukur atas melimpahnya hasil panen yang didapat serta ungkapan terima kasih terhadap rejeki yang diberikan oleh Sang Pencipta.

Aruh adat warga Desa Tamunih itu dilaksanakan selama lima hari lima malam, terhitung sejak tanggal 31 Oktober hingga tanggal 4 November 2007 lalu, dan diikuti ratusan warga sekitar balai adat.

Dari pantauan koran ini, sejumlah ibu rumah tangga dan remaja putri terlihat menyiapkan berbagai hidangan. Sementara itu, kaum lelaki dibantu remaja putera nampak menyiapkan berbagai keperluan ritual adat.

Disela-sela kegiatan aruh, warga setempat terlihat melakukan ratian massal dengan mengelilingi Langgatan atau sebuah sesajen berupa bangunan kayu yang dihiasi janur (daun kelapa muda) dan diberi beberapa sesajen dari hasil bumi warga.

Tarian yang diikuti sejumlah orang tua laki-laki dan wanita serta remaja putera dan putri dengan iringan tetabuhan tradisional antara lain gendang, serunai (terompet tradisional, red) dan gong.

Ada dua serunai yang dimainkan oleh dua orang laki-laki dewasa yang seirama dengan suara gendang yang juga dimainkan oleg dua orang laki-laki dewasa. Sementara itu, satu buah gong dimainkan oleh laki-laki paruh baya.

Menurut Damang Adat Desa Tamunih, Pamung, tarian massal yang disebut Tarian Bangsai ini dilakukan warga sebagai bentuk kegembiraan mereka atas melimpahnya hasil panen serta rejeki yang diperoleh warga selama satu tahun.

“Meski pelaksanaan aruh adat tersebut dikemas dalam kesederhaan, namun tidak mengurangi kekhusyuan warga dalam melaksanakan ritual adat di Balai Adat Tamunih yang baru digunakan pada aruh adat tahun ini,” ungkap Kepala Desa Tamunih Kecamatan Kusan Hulu, Taufik Hadarani.

Taufik Hadarani mengatakan, pelaksanaan aruh adat yang digelar warganya memang terkesan sederhana, namun mengandung makna yang sangat dalam bagi warga setempat.

Karena dinilai sangat perlu, Balai Adat Tamunih dibangun oleh warga secara bergotong royong. Karena penggunaan balai adat yang sangat mendesak, maka untuk sementara bagian lantai dan dinding balai dibuat dari bambu. (kry)

Wednesday, December 05, 2007

Warga Pedalaman Harapkan Kunjungan Dewan

Sabtu, 03-11-2007 | 22:29:45

BARABAI, BPOST - Warga Desa Sumbai, Kecamatan Batang Alai Timur (BAT), Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) sangat mengharapkan kunjungan anggota DPRD. Sejak pemilu 2004, warganya mengaku tak pernah dikunjungi wakil yang dipilih mereka.

Khususnya para wakil dari daerah pemilihan (Dapil) IV (Batang Alai Selatan, Batang Alai Timur, Batang Alai Utara dan Limpasu). Setelah wakil rakyat itu menduduki kursi legislatif, hingga tiga tahun berjalan, menurut warga tak sekalipun mengunjungi desa Sumbai.
Sadriansyah, tokoh masyarakat Desa Sumbai menyatakan prihatin dengan sikap anggota dewan. Padahal untuk mencapai Desa Sumbai, tidak harus jalan kaki. Medan yang dilewatipun masih memungkinkan ditempuh dengan kendaraan roda dua.
Sebagai warga yang memilih mereka sambung Sadri, tidaklah berlebih jika warga juga berharap mereka memperhatikan rakyat pemilihnya.
“Meski untuk menjaring aspirasi tidak perlu datang langsung ke desa-desa, namun alangkah baiknya kalau dewan juga menyerap aspirasi langsung dari warga pemilihnya. Masa satu kalipun tidak bisa menyempatkan waktu mengunjungi desa kami,” tandasnya.
LSM Pancar Kasihan, yang berpusat di Desa Hinas Kiri, Kecamatan BAT, menyatakan kehadiran para wakil rakyat semasa reses, cuma sampai di Desa Hinas Kiri, Sedangkan desa-desa pedalamannya belum pernah.
Desa Sumbai hanya berjarak sekitar lima kilometer dari Hinas Kiri, dan bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua. Ketua LSM Pancar Kasihan, Kosim, menuturkan, selain Desa Sumbai, ada beberapa desa di atas Hinas Kiri yang menunggu kunjungan anggota DPRD, khususnya mereka dari daerah pemilihan Batang Alai Timur.
Desa-desa tersebut, Batu Perahu, Juhu, Aing Bantai, Buhul, Sumbai, Muara Hungi dan Atiran. “Desa-desa ini dihuni oleh warga dayak,” ujarnya.
Menurut catatan BPost, anggota dewan dari pemilihan itu adalah H Hasnan Matnuh (PPP), H Ruspannor (PKPB), Nanang Fauzi (PAN), Mukti Bachtiar (PBR), Ahmad Yarni (Golkar), HM Mawardi Tarmum (PBB) dan Ilham Malik (PKS).
Beberapa anggota dewan itu mengakui belum pernah mengunjungi desa-desa terpencil, dengan alasan banyak tugas dan sempitnya waktu reses, sehingga tidak semua desa bisa dikunjungi.
“Kami mohon maaf jika tidak semua desa sempat dikunjungi. Mudah-mudahan lain waktu bisa,” kata Ilham Malik dari PKS. yud

Bawanang Upacara Adat Suku Dayak, Ungkapan Syukur Usai Panen Raya

Kamis, 18-10-2007 | 01:05:38

SELASA (16/10), rumah balai adat suku Dayak di Kecamatan Sungai Durian tampak ramai. Ratusan warga berkumpul di balai merayakan keberhasilan panen padi.

Pada salah satu ruangan di tengah balai itu terdapat langgatan yaitu tempat upacara adat, di dalamnya dipenuhi janur kuning, tumpukan padi serta selendang dan gelang hiang.
Tiga pria paruh baya mengenakan sarung dan bertelanjang dada tak henti-hentinya membawakan tarian adat mengitari langgat itu.
Lama kelamaan suara gendang, salung dan gong yang mengiringi tarian itu makin keras. Para penari seoalah kesurupan.
Mantera berbahasa Dayak juga menggema ditengah upacara adat itu. Sesekali penari mendongakkan kepala sambil menggerakkan gelang hiang.
Ketiga pria itu baru saja membawakan tarian adat, sebagai ungkapan rasa syukur panen mereka berhasil.
Tarian itu hanya dilakukan pada malam hari. Siangnya diselenggarakan ritual lainnya seperti menyembelih hewan korban berupa kambing. Dagingnya dimasak lalu dimakan bersama-sama.
Upacara adat dipimpin kepala suku selama tiga hari berturut-turut dengan mengikutsertakan semua suku Dayak di sekitar Sungai Durian.
Upacara adat ini selalu dilakukan setiap tahunnya dengan mengundang suku Dayak dari daerah lain sebagai bentuk eratnya ikatan persaudaraan antarsuku Dayak.
Suku dayak yang bermukim di kawasan tersebut jumlahnya cukup banyak, terdapat ratusan kepala keluarga. Kehidupan mereka tidak jauh dari alam berupa sungai hingga dataran tinggi pegunungan kapur.dhonny harjo saputro

Sunday, December 02, 2007

Warga Pitap Ancam Gugat Polisi

Kamis, 20-09-2007 | 01:02:16

  • Terkait Penangkapan Saat Aruh Adat

BANJARBARU, BPOST - Karena permintaan agar 19 aparat Polres Balangan dan Polsek Awayan diproses hukum tak ditanggapi, masyarakat Adat Dayak Pitap mengancam membawa masalah ini ke jalur hukum.

Seperti pernah diberitakan, polisi berupaya menangkap seorang warga, Rumaidi. Namun warga mengangap penangkapan itu mengakibatkan terhentinya prosesi Aruh Adat Bawanang yang dilaksanakan di Desa Kambiyain, Kecamatan Awayan. 
Sejumlah perwakilan Lembaga Adat Masyarakat Dayak Pitap Kecamatan Tabing Tinggi Kabupaten Balangan didampingi aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) di markasnya Jalan Nuri Banjarbaru, Rabu (19/9) menyatakan akan menuntut polisi ke jalur hukum formal.
Warga menganggap petinggi kepolisian tak memiliki itikad baik menyikapi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan aparatnya terhadap masyarakat Adat.
Lebih dari 14 hari dari surat protes yang mereka sampaikan kepada Polda Kalsel dalam aksinya ke Mapolda Kalsel 25 Agustus lalu, tak ditanggapi. Bahkan, sidang adat pun tak dihadiri aparat.
“Kami masyarakat Adat Dayak Pitap tidak akan kompromi lagi. Langkah gugatan terpaksa kami lakukan karena sepertinya tidak ada itikad baik dari pihak kepolisian,” ucap Murdi, Kepala Adat Dayak Pitap Balangan.
Dasar gugatan, jelas Murdi selain tak adanya itikad baik, sebagai warga negara Indonesia pihak masyarakat adat merasa telah diperlakukan tak adil dalam menjalankan ibadah sesuai kepercayaan yang secara tegas dilindungi UUD 1945.
Polisi dianggap telah melanggar pasal 4 UU No 2/2002 tentang tugas dan tujuan Polri sebagai pelindung, pengayom dan pelayanan serta berupaya menjaga ketentraman masyarakat sesuai HAM. niz
baca juga:

Dia Penjahat Berbahaya

Kapolres Balangan AKBP Iswahyudi melalui Kasatreskrim AKP Yudi Ridarto menyatakan tak gentar dengan  ancaman gugatan tersebut. “Negara kita negara hukum. Silakan saja melakukan gugatan. Kita siap melayani,” ucap Yudi via ponsel.
Mantan Kapolsekta Banjarbaru ini menandaskan  yang dilakukan  pihak kepolisian sudah sesuai prosedur. Pendekatan terhadap ketua adat juga telah dilakukan. Jika masyarakat seperti tokoh adat tidak mau bekerja sama, kata Yudi malah bisa dianggap melindungi penjahat.
Apalagi janji menyerahkan Rumaidi hingga kini tidak dipenuhi. Padahal, Rumaidi, masuk Daftar Pencarian Orang.
Dia diduga penjahat berbahaya yang terlibat sejumlah aksi perampokan mobil box di Balangan dan  pembunuhan seorang polisi dan saat ini terus dicari keberadaannya. nda

Tuesday, November 20, 2007

Dayak Belawaian Dibangunkan Rumah

Rabu, 3 Oktober 2007


Radar Banjarmasin, RANTAU,- Dayak Meratus yang berdomisili di Desa Belawaian Kecamatan Piani, tahun ini mendapat bantuan 105 unit rumah dan sebuah balai adat. Bantuan tersebut berasal dari Komunitas Adat Terpencil (KAT) Dinas Sosial Tingkat Provinsi Kalsel.

“Alhamdulillah warga Dayak di Belawaian kembali mendapat perhatian dari pemerintah,” ujar Camat Piani HM Hasbi MT kepada Koran ini di kantor Bupati Tapin, kemarin siang.

Sebelumnya Dinsos Provinsi dan timnya sudah melakukan survey ke desa tersebut, sebelum memutuskan membangun rumah untuk warga desa.

Tidak hanya itu, lanjut Hasbi, Warga Belawaian akan didampingi oleh 3 pendamping untuk program KAT. “105 KK akan diberikan jatah hidup termasuk sembako selama setahun dari program KAT ini. Warga juga diberikan fasilitas pembinaan dari program KAT ini yakni berupa 2 unit mesin penggilingan padi yang diletakkan di Desa Belawaian. Sangat lengkap memang bantuan yang diberikan untuk program KAT di tahun 2007 ini. Tidak lupa, kami mengucapkan terima kasih atas bantuan yang sudah diberikan pada warga desa kami. Dan kami akan berupaya semaksimal mungkin untuk memelihara dan menjaganya agar tetap eksis di tengah-tengah masyarakat,” janji Hasbi.

Hasbi berharap, apa yang menjadi tujuan dari program KAT ini, yakni membuat warga Dayak Belawain menetap di satu kawasan bisa terlaksana dengan baik. “Hingga saat ini pembangunan rumah baru berjalan sekitar 75 persen dan diperkirakan rampung di akhir Desember nanti bakal rampung. Kami berharap warga Desa Belawaian akan menetap dan tidak akan melakukan peladangan berpindah-pindah lagi. Sebab rumah sudah disediakan, sembako juga sudah disiapkan, beserta penggilingan padinya, tentu warga akan sangat senang dan betah tinggal di Belawaian,” harap Hasbi.

Untuk diketahui, Kabupaten Tapin sudah 2 kali ini mendapatkan bantuan dari program KAT. “Yang pertama di tahun 2005 silam, kami dibantu rumah juga yang dipusatkan di Desa Harakit. Mudah-mudahan tahun-tahun yang akan datang akan kecamatan kami akan dibantu kembali lewat program ini. Sebab di daerah kami masih banyak lagi warga Dayaknya,” cetus Hasbi. (nti)

Monday, September 10, 2007

Yudi: Ketua Adat Bisa Diciduk Polisi Yakin Rumaidi DPO yang Dicari

Wednesday, 29 August 2007 22:53

PARINGIN, BPOST - Laporan masyarakat Dayak Pitap, Kabupaten Balangan ke Mapolda Kalsel ditanggapi dingin pihak Polres Balangan. Aparat Polres bersikukuh telah bertindak sesuai prosedur dan meyakini salah satu warga setempat, Rumaidi, sebagai salah satu buronon berbahaya yang selama mereka dicari.

Kapolres Balangan, AKBP Iswahyudi melalui Kasatreskrim AKP Yudi Ridarto menjelaskan, Rumaidi dicari karena diduga kuat terlibat serangkaian tindak kejahatan. Ia diduga anggota komplotan perampok yang biasa beroperasi di sekitar kawasan Hulu Sungai, termasuk di Balangan yang tak segan menyakiti korbannya.

Salah satu sangkaan yang terberat adalah perampokan mobil boks di Balangan dan keterlibatannya dalam pembunuhan seorang polisi. Ia juga diduga mengambil pistol milik polisi yang jadi korban itu.

"Dia (Rumaidi) memang DPO yang kami cari. Anggota telah lama mengintai untuk memastikan keberadaannya di sana. Sebelumnya juga telah dilakukan tindakan persuasif dengan menemui ketua adatnya," ujar Yudi, Rabu (29/8).

Tapi saat hendak ditangkap, Rumaidi malah berkoar memprovokasi warga sehingga upaya aparat meringkusnya gagal karena mendapatkan pembelaan para tokoh warga. Aparat mundur setelah para tokoh adat setempat berjanji menyerahkan Rumaidi usai aruh.

Namun setelah berhari-hari ditunggu, Rumaidi tidak kunjung diserahkan dan malah melapor ke Polda. Pihaknya, menurut Yudi, tidak akan memberi toleransi lagi. Bila Rumaidi tetap tidak diserahkan, tegasnya, maka ketua adat dapat ikut diciduk karena dinilai menghambat upaya penegakan hukum. nda

Tuntut Para Pelaku Dijerat Sanksi Adat

Radar Banjarmasin ; Selasa, 28 Agustus 2007
Ritual adat keagamaan Dayak Pitap yang biasa mereka sebut Boanang itu, selain hanya dilakukan setahun 3 kali, ternyata juga mengandung kepercayaan akan datangnya bala bencana bila ritual tersebut gagal dilaksanakan.

Karena itulah, selain menuntut aparat kepolisian untuk meminta maaf dan menindak tegas aparat yang diduga melakukan kesalahan, para tetuta adat Dayak Pitap juga meminta aparat kepolisian untuk melaksanakan sanksi adat, yaitu membayar uang dan memberikan peralatan pesta adat.

Dikatakan Wakil Kelembagaan Dayak Pitap, Sahruni, pembayaran sanksi adat itu sifatnya wajib. Untuk pembayaran sanksi adat berupa uang nilainya sebesarRp240 ribu. Uang itu diberikan kepada tetuta adat setempat. Sedangkan untuk pembayaran sanksi kebendaan, yang terkena sanksi adat wajib menyediakan peralatan seperti agung (gong) sebanyak 2 buah, bokor, talam, sasanggan, gelang, gendang, laung, kancup, dan selendang. “Kalau tidak dapat mencari benda tersebut, maka sebagai gantinya adalah uang sebesar nilai jual alat tersebut,” katanya.

Dikatakan Sahruni lagi, ulah oknum aparat kepolisian yang main selonong di saat masyarakat sedang melaksanakan ritual adat keagamaan sangat menyakitkan hati masyarakat. “Kan di sana ada kepala desa, ada kepala adat, dan lain-lain. Dengan kejadian ini kami merasa sangat dilecehkan,” tandasnya.

Sementara itu, Kepala Adat Dayak Pitap, Murdi menyatakan, bubarnya ritual adat Dayak Pitap itu bisa dikategorikan sebagai peristiwa besar dan sangat meresahkan warganya. Sebab, lanjut pria ini, sepanjang sejarah pelaksanaannya ritual adat tersebut belum pernah mengalami kegagalan yang diakibatkan oleh ulah manusia. “Ini belum pernah terjadi, baru tahun inilah ritual adat tersebut bubar. Padahal kami melaksanakanya sudah tiga hari lamanya,” ujarnya.(gsr)

Tuntut Sanksi Adat bagi Polisi Warga Dayak Pitap Merasa Terusik

Tuesday, 28 August 2007 00:22:53

BANJARMASIN, BPOST - Masyarakat adat Dayak Pitap, Kabupaten Balangan menuntut sanksi adat terhadap Polres Balangan karena dinilai telah mengganggu prosesi Aruh Adat yang dilakukan masyarakat, Kamis (23/8) lalu.

Kepala Adat Pitap, Murdi, mengatakan, kejadian itu berawal ketika serombongan aparat dari Polsek Awayan dan Polres Balangan datang ke Kampung Kambiyain, Desa Dayak Pitap untuk mencari dua warga bernama Uar dan Nintel, pukul 23:00 Wita. Pada waktu bersamaan, di Balai Kambiyain sedang dilaksanakan Aruh Adat Dayak Pitap.

Sayangnya kedua orang yang dicari polisi itu tidak berhasil ditemukan. "Sekitar pukul 23:30 Wita, ketika para Balian isitirahat sebentar, semua aparat yang bersembunyi di semak keluar dan berkumpul di halaman balai. Begitu juga masyarakat yang berada di dalam balai keluar ke halaman," kata Murdi kepada wartawan saat datang melapor ke Mapolda Kalsel didampingi Walhi Kalsel, Senin (27/8).

Melihat banyak polisi datang, sebagai tuan rumah, warga secara bergantian bersalaman dengan polisi itu. Bahkan ada beberapa warga menyambut baik dengan memberi polisi beras sebagai simbolnya.

"Setelah bersalam-salaman itu, ada salah satu polisi yang mengajak seorang warga (Rumaidi) ke samping Balai Adat. Entah apa alasannya, setelah bercakap-cakap sebentar, polisi hendak membawa Rumaidi ke kantor polisi. Rumaidi pun terkejut," katanya.

Karena merasa tidak bersalah dan bukan orang yang dicari polisi, Rumaidi menolak. "Setelah itu mulai terjadi keributan karena banyak masyarakat yang berusaha melakukan pembelaan terhadap Rumaidi," kata Murdi. "Kami minta lain waktu saja karena bisa pamali, akan tetapi aparat tetap bersikeras," lanjutnya.

Akibat kejadian itu, suasananya jadi tegang sekitar 30 menit. Bahkan ada salah satu anggota yang sempat mengeluarkan pistol dari sarungnya. Karena masyarakat berusaha bertahan, rombongan polisi yang semula bersikeras hendak membawa Rumaidi akhirnya batal dan pulang meninggalkan Balai Kambiyain sekitar pukul 24:00 Wita. Sementara, Aruh Adat terhenti karena banyak masyarakat yang pulang.

Akibat kejadian itu, masyarakat Adat Dayak Pitap, khususnya warga Kampung Kambiyain menuntut pihak Polres Balangan dan Polsek Awayan menyampaikan permintaan maaf dan menghadiri sidang adat di Balai Kambiyain karena telah melanggar aturan adat mereka.

"Apabila tuntutan ini selama 14 hari ke depan tidak dipenuhi maka masyarakat adat Dayak Pitap akan menuntut Polres Balangan dan Polsek Awayan ke jalur hukum," tandasnya.

Kabid Humas Polda Kalsel AKBP Puguh Raharjo kepada pers mengakui telah menerima kedatangan perwakilan masyarakat Adat Dayak Pitap itu. "Terkait permasalahan yang mereka sampaikan itu tentunya akan diselidiki untuk kemudian ditindaklanjuti," katanya. mdn


Wednesday, July 18, 2007

Mengikuti Aruh Buntang di Desa Warukin Tak Lagi Penggal Kepala

Tuesday, 17 July 2007 02:59

Jenjab (73), balian raden utama, tampak serius bamamang atau merapal doa mengundang roh para leluhur dan raden dari dunia atas. Di dunia, manusia telah menyiapkan hidangan menyambut kedatangan mereka.

Diiringi dua balian pembantu, nenek yang energik itu tak henti menari dengan menggerakkan kedua tangan yang dihiasi gelang dadas. Gelang dadas terbuat dari kuningan, yang dapat menimbulkan gemerincing menyesuaikan musik khas Dayak yang terdengar rancak.

Ketiga balian yang cuma mengenakan sarung yang diikat selendang pada pinggang mengitari sesaji. Sesaji ditata apik mengelilingi balai buatan di dalam rumah yang disebut meranggai. Sesaji terdiri atas sejumlah hasil bumi seperti beras, ketan, kelapa, gula merah, nanas serta dua ayam kampung. Selain itu terdapat telur, ketupat dan lemang atau ketan yang dimasak dalam buluh bambu.

Ritual Kamis (12/7) itu merupakan salah satu sesi pelaksanaan aruh buntang keluarga Pardi Luit, warga Desa Warukin Kecamatan Tanta Kabupaten Tabalong. Pelaksanaan aruh berlangsung sejak Senin (9/7) dan berakhir Jumat (13/7).

Masa usai panen padi bagi warga Dayak merupakan saat yang tepat menggelar aruh atau hajatan. Selain persediaan beras melimpah, rata-rata kerabat jauh tidak memiliki kesibukan sehingga bisa diundang.

Aruh merupakan tahapan mengangkat roh leluhur masyarakat Dayak Manyan yang masih menganut Kaharingan dari alam kubur ke dunia. Ritual itu juga dikenal di sejumlah komunitas Dayak lainnya, meskipun dengan sebutan berbeda.

Pardi Luit, meski telah memeluk agama Katolik, tetap melaksanakan buntang untuk arwah ayahnya, Ulau, dan kakaknya, Nolam. Untuk menggelar acara itu, Pardi merogoh dana Rp 65 juta. Selain untuk aneka sesaji, makanan dan minuman, dana tersebut untuk akomodasi dan transportasi sejumlah tamu penting seperti para balian yang khusus didatangkan dari Kalteng. Maklum di Desa Warukin tidak ada lagi balian. Bahkan warga yang menganut Kaharingan tinggal empat orang.

Menurut Kepala Lembaga Adat Desa Warukin, Rumbun, aruh buntang pujamanta yang digelar keluarga Pardi merupakan tahapan kedua setelah upacara mbia atau membatur. Aruh buntang pujamanta dilanjutkan dengan acara buntang pujamea yang merupakan puncak pengantaran roh leluhur menuju dunia atas agar menjadi nanyo saniang atau dewa selamanya.

Karena masih tahap kedua, binatang kurban cuma seekor kambing. Sedangkan untuk aruh buntang pujamea harus mengorbankan seekor kerbau yang merupakan binatang tertinggi nilainya bagi suku Dayak.

Ulu Kering

Prosesi buntang diawali dengan mengelilingi kuburan leluhur yang ingin diangkat arwahnya sebanyak tiga kali oleh kerabat dari satu garis keturunan. Selama mengelilingi kuburan, ketua rombongan membawa ulu karing atau sebuah tengkorak manusia kering berusia ratusan tahun.

Tengkorak itu sebagai pengganti kepala manusia. Dulu keluarga yang akan melaksanakan aruh, menyewa orang sakti untuk mengayau (memenggal kepala manusia) orang sakti atau berpengaruh dari kampung lain sebagai persembahan dan penghormatan kepada arwah.

"Tapi sejak penjajah Belanda masuk, ngayau dilarang karena dianggap kejahatan," jelas Kepala Lembaga Adat, Rumbun.

Pelarangan ditandai dengan perjanjian Tumbang Anoi di Kalteng.

Sebagai gantinya, keluarga yang menggelar aruh hanya membawa tengkorak tua yang berumur ratusan tahun dan sudah terdaftar di kepolisian sebagai benda cagar budaya. Keluarga Pardi meminjam tengkorak milik keluarga Mebas. Salah satu keturunan Mebas adalah Ampere Ariyanto Mebas, anggota DPRD Tabalong.

Usai mengelilingi kuburan, ulu karing yang wujudnya tinggal separuh dibawa masuk rumah dan diletakkan di balai adat. Tengkorak disatukan dengan sejumlah benda simbolik seperti tombak, beras, ketan, tuak dan ayam.

Prosesi puncak adat membuntang dimulai dengan acara penombakan seekor kambing sebagai kurban. Dilanjutkan dengan sejumlah ritual seperti maranggai yang dipimpin rohaniawan perempuan atau biasa disebut balian raden. Sedang ritual penutup kuda gawi dipimpin balian pria atau bawo.

Aktivitas tarian ini sangat melelahkan karena berlangsung berjam-jam dan nonstop. Sebelum kuda gawi, dilaksanakan acara penutupan yang ditandai dengan minum tuak bersama.

Selama acara membuntang suasana kampung bak pasar malam. Seluruh warga desa bahkan dari kampung lain ikut meramaikan acara. Apalagi di lokasi aruh diselenggarakan permainan yang mengarah pada perjudian. Permainan itu merupakan bagian dari aruh yang harus dilaksanakan.

Rumbun menerangkan arena perjudian digelar semata untuk membantu keluarga penyelenggara aruh. Sebagian dana yang terkumpul disumbangkan kepada tuan rumah. Begitu pula dana parkir dan warung makan di sekitar lokasi hajatan. anjar


Monday, July 16, 2007

Aruh Adat di Desa Patikalain Pesta Mahanyari Beras agar Halal Dimakan

Saturday, 14 July 2007 04:15

PANGSADI, duduk bersila di hadapan puluhan buah bakul berisi beras. Mulutnya tampak komat-kamit. Sementara di sekelilingnya para peserta aruh adat tampak khusyuk mendengarkan Pangsadi membacakan doa-doa. Minggu (8/7) pekan lalu, warga Desa Patikalain, Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) terlihat meriah.

Puluhan warga berkumpul di rumah balai adat, untuk syukuran atas keberhasilan panen. Dibantu sejumlah tokoh adat dari balai adat desa lainnya, Pangsadi memimpin upacara adat untuk menghalalkan hasil panen itu.

Bagi masyarakat Dayak Patikalain, beras hasil panen berapapun jumlahnya, merupakan rezeki yang harus disyukuri. Aruh adat, bagi warga bukanlah upacara biasa. Warga memegang teguh kepercayaan, bahwa rezeki mereka tak berkah sebelum dilaksanakan aruh.

Seperti upacara serupa yang digelar masyarakat adat yang bermukuim di Pegunungan Meratus, balai adat Patikalain juga menyelenggarakannya lima hari lima malam.

Selama hasil penen belum disyukuri dengan menggelar aruh, pantangan (pamali) beras hasil panenya dimakan atau dijual.

"Beras ini kita anggap fitrah untuk menyucikan diri,"tutur Pangsadi.

Setelah satu malam penuh didoakan dengan prosesi batandik sambil mengelilingi mahligai (bangunan persegi empat panjang) yang didirikan di bagian tengah balai adat, esok harinya beras panen baru boleh digunakan untuk makan para undangan, termasuk masyarakat adat yang hadir.

Selama lima hari lima malam, warga adat yang mengikuti aruh tak boleh keluar dari balai adat dan melakukan aktivitas seperti bertani dan menyadap karet. Jika dilanggar, mereka yakin warga yang bersangkutan akan kena sial.

Aruh adat juga menyuguhkan tari-tarian saat menyambut kedatangan tamu, yaitu tari kenjar dan tari bangsai. Tarian ini hanya boleh dipertunjukkan ketika aruh adat. "Di luar upacara ini tak boleh dimainkan," ujarnya. wahyudi rachman

Sunday, July 08, 2007

Masyarakat Adat dan Pembakaran Lahan Oleh: Ir Mahrus Aryadi MSc Dosen Fahutan Unlam

Thursday, 05 July 2007 01:59

Opini ini saya mulai dengan mengutip kata bijak Ted Perry: "Hutan dan manusia merupakan satu kesatuan dari sebuah keseluruhan. Dan, manusia hanyalah secarik benang dari jaring khidupan. Apa pun yang dilakukannya di jaring itu, akan mengena pada dirinya." Makna yang dalam dari pernyataan itu, menjadi kenyataan dalam kehidupan kita sehari-hari. Salah satunya adalah pembakaran lahan dan hutan yang terjadi setiap tahun dengan memunculkan berbagai permasalahan beserta turunannya seperti meningkatnya penyakit ISPA, kecelakaan lalu lintas di darat-air-udara, penundaan dan pembatalan penerbangan dan seterusnya.

Membicarakan masyarakat adat --ada yang menyebutnya masyarakat lokal-- menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai masyarakat yang mempunyai sistem ekonomi sederhana, lebih banyak dikuasai adat istiadat lama. Jika dikaitkan dengan keberadaan masyarakat Dayak di Kalimantan, maka pengertian di atas masih sejalan. Khususnya dalam pemenuhan kebutuhan hidup, yaitu berladang berpindah.

Bagi peladang, pembakaran ladang merupakan strategi paling sesuai dengan keadaan mereka baik teknologi, ketersediaan tenaga kerja dan waktu yang tersedia. Di samping itu, pada fase pembakaran terlaksana kegiatan sosial-budaya yang turun-menurun mereka ikuti. Dalam kegiatan pembakaran lahan, peladang umumnya telah mengetahui hari dan waktu yang baik sesuai perhitungan mereka. Jadi secara normatif dan empiris, pembakaran lahan oleh peladang bukan sebagai kesalahan apalagi untuk dijadikan kambing hitam! Bagaimana dengan perusahaan perkebunan? HPHTI?

Siapa bertanggungjawab?

Menurut saya, sumber utama permasalahan bencana kabut asap adalah kebijakan pemerintah (pusat dan daerah): yaitu negara menguasai sumberdaya alam yang diartikan sebagai pemilik satu-satunya yang berhak mengatur penggunaan dan pemanfaatannya, khususnya hutan dan lahan. Jika memang negara menguasai, mestinya mampu mengelolanya. Dalam kenyataannya, negara (pemerintah) tidak mampu mengelolanya sehingga SDA yang seharusnya sebagai sumber kemakmuran menjadi sumber bencana yang tiada henti.

Jika masyarakat diposisikan hanya sebagai objek dalam negara ini, mengapa ketika terjadi bencana mereka yang harus bertanggungjawab? Mengapa masyarakat yang menanggung penderitaan? Bagaimana mungkin masyarakat berpartisipasi (aktif) kalau mereka ‘dibuat’ untuk tidak merasa memiliki. Semestinya pemerintah semakin sadar, tanpa partisipasi masyarakat tidak mungkin dapat mengelola lahan dan hutan ini dengan baik.

Adanya inisiatif pembuatan Raperda Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan oleh DPRD Kalsel, patut kita dukung dan saling sumbang saran untuk menyempurnakannya. Namun selayaknya, raperda disesuaikan dengan sumber permasalahan (objek, tempat dan waktu) yang terjadi. Untuk itu, materinya melingkupi semua objek seperti perkebunan, HPHTI maupun masyarakat.

Khusus untuk masyarakat peladang, perda sebaiknya berisi aturan yang menggunakan pendekatan partisipatif berbasis desa. Sebagai contoh, dalam perda perlu adanya fasilitas tersusunnya Peraturan Desa (Perdes) tentang pengaturan pembakaran lahan berikut sanksinya yang ditentukan oleh masyarakat sendiri, mekanisme hubungan semua pihak yang terlibat dan peran yang diembannya. Termasuk penghargaan dari pemerintah bagi desa yang dinilai mampu menekan terjadinya ke(pem)bakaran hutan dan lahan. Untuk mempercepat proses ini, pemda dan DPRD tidak perlu sungkan meminta dukungan pihak ketiga. Misalnya, NGO yang peduli lingkungan baik dari luar maupun dalam negeri.

e-mail: m_aryadi@hotmail.com


Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Wednesday, June 27, 2007

Bupati Balangan Diprotes Soal Tambang Bijih Besi, Dayak Pitap Emosi

Rabu, 20 Juni 2007

BANJARBARU ,- Rencana pertambangan biji besi yang dilakukan PT Saribumi Sinarkarya di kawasan wilayah Dayak Pitap Awayan, Balangan nampaknya bakal berbutut panjang dan rawan pertumpahan darah. Pun jauh-jauh hari warga Dayak Pitap secara tegas menolak dikeluarkan Kuasa Pertambangan (KP) eskploitasi biji besi itu, tampaknya membuat PT Saribumi Sinarkarya (SS) makin nekat saja. Akibat kenekatan itu, warga Dayak Pitak, panas dan tak tenang lagi.

Puncaknya terjadi pada Rabu (6/6) malam lalu, yang mana warga Dayak Pitap menghadang tim survey PT Saribumi Sinarkarya yang berniat melihat lokasi jalan. Saat melihat kedatangan tim survey itu, kemarahan warga tak terbentung lagi dan nyaris terjadi pertumpahan darah.

Celakanya, dalam tim survey itu juga terdapat seorang warga dayak, bukan warga Dayak Pitap menjadi penanggung keamanan. Meski begitu, puluhan warga Dayak Pitap tak gentar dan nyaris menyerang tim survey dengan berbagai senjata. Untungnya, aksi itu dapat direndam dan diselesaikan damai. Pun begitu, secara tegas ratusan warga dayak mengusir rombongan tim survey.

“Kami tetap menolak rencana pertambangan itu. Apapun resikonya, kami tidak pernah mencabut,” kata Murdi, Kepala Adat Dayak Pitap yang meminta bantuan advokasi ke Walhi Kalsel, kemarin.

Disebutkan Murdi, terbitnya KP Eksploitasi yang kini dikatongi PT Saribumi Sinarkarya itu rawan menimbulkan konflik di daerah. Pasalnya, sejak awal, warga Dayak Pitap menolak tegas rencana pertambangan di hutan/tanan turunan yang kini digunakan untuk berkebun karet dan peladangan padi warga.Disamping itu juga, kawasan yang bakal ditambang itu adalah wilayah keramat yang selama ini dihormati.

Warga juga menyayangkan sikap Bupati Balangan Sefek Effendy yang cenderung bersikap memihak kepada PT Sinarbumi dengan menerbitkan KP tersebut. Apalagi, dalam berbagai kesempatan warga berupaya untuk bertemu dengan Bupati membicarakan persoalan penolakan tersebut. Bahkan, pada 18 Juni lalu, perwakilan warga sempat diundang Bupati. Tapi, justru sebaliknya warga yang diundang malah dicueki Bupati dan tak mau menemui dengan alasan ada undangan selamatan.

“Kami sudah datang ke kantor Bupati sebagaimana undangan, justru Bupati tak ada ditempat. Ini sama saja mempermainkan warga yang sejak semula berniat membicarakan persoalan yang ada. Untuk itu, sejak kini kami tak ada lagi kepentingan dan urusan dengan bupati lagi,” timpal Syahruni, warga Dayak Pitap lainnya.

Sementara itu, Walhi Kalsel menanggapi serius persoalan yang kini dirasakan warga Dayak Pitap ini. Bahkan, Walhi secara tegas menyalahkan Bupati bila nantinya terjadi konflik antar warga.

“Kalau terjadi konflik, orang pertama yang ditangkap adalah Bupati. Bupati-lah yang punya kekuasaan mengatur masyarakat lewat beberapa aturannya, salahnya satunya dengan menerbitkan KP itu,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Berry N Furqon.

Seharusnya, jelas Berry, Bupati bisa melakukan pendekatan-pendekatan dan menyelami permasalahan yang kini dirasakan warga, bukan sebaliknya membuat suasanya semakin memanas. Untuk itu, Walhi akan semaksimal mungkin memfasilitasi warga untuk mempertahankan hak dan kewajiban warga Dayak Pitap. (mul)

Sunday, June 17, 2007

Tarian Dayak Terancam Punah

Sunday, 10 June 2007 01:44

TANJUNG, BPOST - Sejumlah tokoh adat di Desa Warukin, Kecamatan Tanta, Tabalong berharap pemerintah turut campur dalam melestarikan budaya dayak rumpun Manyan, dengan memasukkan tarian adat dayak ke dalam kurikulum tambahan di sekolah-sekolah.

2008 Masuk Muatan Lokal

Ardi Nantau, warga dayak yang masih kuat menganut Kaharingan mengingatkan masyarakat agar memisahkan kesenian dayak dengan kepercayaan kaharingan. Menurutnya, masih banyak kesenian yang bersifat menghibur namun tetap menunjukkan keagungan budaya masyarakat dayak.

"Memang asal budaya ini dimulai dari nenek moyang yang menganut kaharingan. Tapi tidak peduli kepercayaan apa, pelestarian tetap penting. Kalau kita terpaku pada hal itu, kita akan kehilangan budaya kita yang besar," tandasnya.

Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tabalong Abdel Fadillah, mengatakan pihaknya memang sudah merencanakan memasukkan kesenian dayak sebagai pelajaran tambahan baik di sekolah tingkat dasar dan atas. "Sekarang tahap identifikasi kesenian dayak khas yang dapat diajarkan kepada siswa. Target kami 2008 sudah masuk muatan lokal di sekolah-sekolah," tandasnya. nda

Mereka menilai, makin sulit mencari generasi muda yang mahir membawakan tarian dayak warisan leluhur yang sakral. Dikhawatirkan budaya daerah ini hilang karena kalah dengan budaya luar.

"Sekarang banyak anak muda lebih suka hal yang berbau modern seperti band dan musik dangdut," keluh Andreas, tokoh seniman yang juga Ketua Sanggar Tari Mantunen Desa Warukin, akhir pekan tadi.

Dengan menyenangi musik dan tarian modern, ia menilai pemuda dayak Tabalong sulit tampil di even nasional apalagi internasional. Berbeda bila mereka memperdalam kesenian adat warisan leluhur yang selalu mendapat tempat terhormat di kalangan seniman maupun masyarakat umum dalam dan luar negeri.

Ia optimis dijadikannya tarian dayak sebagai salah satu mata pelajaran wajib di sekolah akan membantu pelestarian budaya dayak Manyan di Tabalong.

"Tari adat yang kita kembangkan sudah dimodifikasi agar lebih diterima dan fleksibel penampilannya. Jadi tidak ada lagi hubungannya dengan ritual suku dayak yang dulu menganut Kaharingan," paparnya.

Disebutkan Andreas tarian adat yang kini dalam kondisi kritis pelestariannya seperti tari giring-giring atau tarian menyambut tamu, tari gelang dadas dan bawu, tari selendang, tari bundar dan tari mandau yang biasanya ditarikan saat perang atau saat upacara pendirian baluntang.

Tarian tersebut sulit dikembangkan karena biasanya hanya ditampilkan saat ritual adat. Musik ini konon sarat dengan mistik yang bisa membuat kesurupan. Di Desa Warukin, saat ini relatif sulit mencari anak-anak muda yang mau belajar tarian dayak. Sanggar tari Mantunen yang berubah nama menjadi Batung Mirah Putut Belang San Solokan Lawe merupakan satu-satunya sanggar tari yang masih bertahan dengan anggota cuma 30 orang.nda

Tuesday, June 05, 2007

Balai Adat, Multi Fungsi!

Selasa, 5 Juni 2007

Oleh: Hariyadi*

Radar Banjarmasin- opini- BALAI adat bagi masyarakat Dayak Meratus mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan mereka. Keberadaan balai menjadi begitu penting dikarenakan semenjak masyarakat dayak mengubah kehidupan mereka yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain menjadi kehidupan yang menetap. Ketika masyarakat berpikir untuk menetap pada suatu tempat yang dianggap mereka cocok maka mereka juga berpikir untuk mendirikan bangunan sebagai tempat tinggal bagi keluarga mereka.

Kemudian timbul kebutuhan dari mereka akan suatu tempat tertentu yang digunakan sebagai tempat penyelenggara upacara-upacara adat dan ritual yang berhubungan dengan agama yang mereka anut, dari sinilah tempat itu yang kemudian menjadi tempat upacara yang dikenal dengan rumah adat atau balai adat.

Banyak orang mengira, balai adat hanya digunakan sebagai tempat melaksanakan upacara-upacara adat orang-orang dayak, tapi kalau kita lihat masyarakat Dayak Meratus yang bermukim di daerah Pegunungan Meratus ternyata balai adat atau rumah adat ini mempunyai beberapa fungsi. Bukan hanya sebagai tempat ritual keagamaan yang biasanya rutin mereka gelar dalam beberapa bulan seperti mengadakan upacara mengawali musim tanam, upacara bapalas, upacara panen, perkawinan, kematian dan lain-lain. Dan biasanya dalam upacaranya ini tidak hanya dihadiri oleh komunitas suku Dayak itu sendiri tetapi juga oleh masyarakat luar bahkan turis asing pun terkadang datang untuk menyaksikan upacara adat ini.

Selain sebagai tempat ritual keagamaan ternyata balai adat ini juga mempunyai fungsi sebagai tempat sosialisasi dan interaksi masyarakat Dayak meratus yang bermukim di rumah balai tersebut, baik membicarakan masalah yang bersifat hanya di lingkungan keluarga maupun juga masalah yang bersifat umum, yang biasanya dibahas secara terbuka dengan dihadiri oleh seluruh anggota dan dipimpin oleh ketua adat.

Fungsi lain balai adat adalah sebagai tempat tinggal. Rumah balai dibagi atas beberapa kamar yang setiap kamarnya dihuni oleh satu keluarga. Namun bila seandainya keluarga tersebut ingin menambah kamar mereka dapat melakukan dengan membentuk bangunan baru yang sejajar dengan bangunan atau kamar lama ke arah luar.

Selain fungsinya sebagai tempat melakukan upacara-upacara ritual keagamaan, sebagai tempat sosialisasi dan interaksi antara masyarakat dayak dan juga sebagai tempat tinggal, masih terdapat fungsi yang lain tetapi tidak begitu terlalu menonjol dibandingkan fungsi di atas.***

*) Mahasiswa Sejarah FKIP Unlam

Wednesday, May 30, 2007

TRANSISI ADAT PERKAWINAN WARGA DAYAK Musik Pop Gantikan Giring-giring

Wednesday, 30 May 2007 01:50

LAGU pop bernada ceria membahana dari lokasi hajatan pernikahan salah satu warga Dayak Manyan di Desa Warukin, Kecamatan Tanta Kabupaten Tabalong, Sabtu (26/5).

Dua speaker di sudut kiri halaman rumah mempelai di RT 3 desa itu berdetak kencang seiring tempo lagu. Para tamu yang hadir pun tampak larut dalam alunan lagu-lagu yang sedang ngetop itu.

Ini berbeda dari kebiasaan warga suku itu, yang biasanya menyajikan hiburan saat pesta pernikahan dengan tarian giring-giring. "Sekarang disesuaikan kemampuan yang punya hajatan," kata Ulinawati, Kepala Desa Warukin.

Mencari penari giring-giring di zaman seperti sekarang, menurutnya relatif sulit. Di desa setempat hanya ada satu grup tari yang kini sedang bertolak mengikuti festival tari Dayak ke Jakarta.

Ditambah lagi saat ini banyak warga Desa Warukin bekerja di sektor formal seperti di perusahaan atau pegawai negeri. Karena itu mereka tidak punya banyak waktu dan dana untuk menggelar hajatan sesuai adat yang biasanya berlangsung sampai tiga hari berturut-turut.

Humas Adat warga Dayak Manyan Warukin, Deny Djohn, mengatakan tak hanya pakaian pengantin dan hiburan bagi para tamu yang mulai mengalami pergeseran mengikuti tren zaman. Ada pula sejumlah tahapan adat yang sengaja dipangkas karena bukan keharusan.

"Misalnya, tradisi potong tali banjang sebagai bentuk penerimaan keluarga salah satu mempelai yang berasal dari luar kampung. Sebagian dari kami tidak menyelenggarakan lagi, karena sudah cukup prosesi inti, seperti hukum adat," paparnya.

Menurutnya prosesi potong tali banjang-- berupa tali katun yang digantungi aneka buah-buahan dan janur, kini merepotkan karena harus mengundang balian dari luar kampung.

Di kampung setempat tidak ada lagi balian, karena rata-rata warga telah beragama Kristen.

Dari semua tahapan pernikahan warga Dayak, hanya hukum adat saja yang masih dipertahankan. Biasanya tahapan simbolis ini dilakukan sehari atau sesaat sebelum kedua mempelai dipertemukan dan duduk di pelaminan.

Hukum adat adalah tahapan pembicaraan lebih lanjut yang melibatkan seluruh anggota keluarga besar terhadap lamaran yang diajukan mempelai pria.

Pada kesempatan itu keluarga besar kedua belah pihak juga saling berkenalan, menyampaikan tanggapan dan persetujuan atas pernikahan yang akan dilaksanakan.

Selain hukum adat tradisi yang masih lestari adalah turus tajak atau pembacaan sumbangan para tamu undangan. Pada kesempatan ini jumlah sumbangan dan pesan si penyumbang dibacakan secara langsung oleh penghulu adat atau yang bersangkutan sebagai kenang-kenangan dan ucapan selamat.

Waktu penyelenggaraan pernikahan juga relatif unik, biasanya menjelang Magrib sampai dini hari. Menurut Ulinawati, hal tersebut sudah dilakukan sejak dulu menyiasati kesibukan tetangga dan handai taulan di ladang pada siang hari. nda

Balai Adat Rumain Baru Minta Televisi

Friday, 25 May 2007 22:56

MARTAPURA, BPOST - Balai Adat Rumain Baru, Dusun Terangkin Desa Paramasan Bawah, Kecamatan Paramasan, kekurangan sejumlah fasilitas seperti sarana air bersih dan penerangan.

Untuk mengatasi masalah itu, kepala balai, Ursani pun beberapa hari lalu ‘turun gunung’ memohon bantuan ke DPRD Kabupaten Banjar. Sayangnya, jauh-jauh dari Paramasan Bawah, Ursani yang bermaksud mendatangi Tajuddin, anggota DPRD Banjar yang mewakili masyarakat dari kawasan itu, tidak berhasil menemuinya. Bukan hanya Tajuddin yang tak ada, bahkan seluruh anggota dewan tak berhasil ia jumpai.

"Padahal, saya ingin mengecek sejauh mana, proposal permohonan bantuan dari kami ini ditindaklanjuti oleh anggota dewan," ujarnya yang kemudian ia tahu kalau anggota dewan banyak yang keluar daerah untuk kepentingan diklat atau studi banding.

Tak terhenti di DPRD, Usrani pun mengecek proposal yang telah dikirimnya 2 April ke Bagian Sosial Setda Banjar. Sejumlah staf di situ mengatakan bahwa proposal sudah tak ada lagi dan tak terdata.

Alhasil, Usrani pun diminta supaya meng-copy kembali proposal yang beruntungnya ia bawa saat itu. "Wah, seandainya tidak dicek, entah kapan baru bisa direalisasikan fasilitas vital yang kami butuhkan di balai yang didiami 15 KK itu," ungkapnya.

Sebenarnya, lanjut pria ini, pihaknya mengharapkan ada bantuan sarana air bersih berupa empat unit tandon, generator listrik satu unit dan televisi satu unit.

"Tandon air diperlukan karena kami kesulitan memperoleh air bersih, karena letak balai dengan sungai sangat jauh. Demikian pula generator listrik sangat diperlukan, baik untuk penerangan dan televisi," bebernya.

Di era sekarang, ucapnya, anak-anak Dayak Meratus antusias menyerap informasi dan meningkatkan kualitas pendidikan. "Mereka semakin sadar, untuk meningkatkan taraf kesejahteraan, mesti melalui jalur pendidikan. Nah, listrik termasuk televisi dianggap sangat vital untuk menunjang realisasi cita-cita mereka itu," paparnya. adi

PARAMASAN ATAS, DESA YANG TERKUCILKAN Malaria Diobati Tari Balian

Saturday, 26 May 2007 02:28

Desa Paramasan Atas, Kabupaten Banjar tiba-tiba mencuat. Selama Maret-Mei 2007 sedikitnya 116 warga terjangkit malaria, 14 di antaranya meninggal dunia. Bagaimana pola hidup warga di desa terpencil tersebut?

Desa Paramasan Atas berada paling timur di wilayah Kabupaten Banjar. Sejak awal bulan lalu telah ditetapkan sebagai daerah KLB endemis malaria. Lokasinya yang terisolir mengesankan desa itu tak pernah tersentuh pembangunan.

Untuk mencapainya memang sangat sulit. Dari ibukota Kabupaten Banjar, kita mesti menempuh jarak sekitar 175 km dengan melampaui dua kabupaten, yakni Tapin, Hulu Sungai Selatan (HSS), dan masuk wilayah Tapin lagi.

Jalur Martapura-Simpang Bagandah, Tapin, jalan relatif mulus. Baru dari situlah sebagian besar jalan rusak parah. Meski berjarak 27 kilometer, dengan sepeda motor bisa memakan waktu 3,5-4 jam. Jalurnya meliuk-liuk dan naik turun dengan sisi kiri kanan terdapat jurang yang terjal.

Di bibir hutan itulah tinggal ratusan kepala keluarga. Dengan alat penerangan tradisional, warga umumnya tinggal di rumah berdinding anyaman bambu. Halaman mereka juga terlihat becek dan dikotori aneka sampah yang berceceran. Selain tak dilengkapi riol, saluran pembuangan limbah rumah tangga juga tak ada.

"Kalau mau buang air besar terpaksa ke sungai. Begitu pula untuk keperluan sehari-hari, airnya mengambil ke sungai," ujar HM Husni, warga setempat, pekan lalu.

Meski demikian, warga sebenarnya telah sadar untuk memakai kelambu atau memakai obat nyamuk jika tidur di malam hari. Namun, karena desa itu terletak di tepi hutan lebat, serangan nyamuk hutan penyebar malaria, tetap saja mengancam, terutama ketika warga beraktivitas di luar, misalnya saat bertani atau mendulang.

Sejumlah warga mengaku, akibat parahnya infrastruktur yang ada, maka tenaga-tenaga sosial seperti halnya tenaga medis, bidan maupun guru, sangat minim. Mereka sangat jarang yang ikhlas mengabdi di desanya.

"Sudah empat bupati yang selalu menjanjikan memperbaiki jalan. Namun, ketika sudah tegak berdiri di jabatannya, mereka tak ingat lagi. Kami ini seperti tak merasakan merdeka," keluh Buak, tetangganya.

Kesehatan

Di samping sarana lainnya, proyek-proyek pengadaan fasilitas kesehatan tak pernah menyentuh desa ini. Mobil pun sudah 10 tahun tak bisa sampai ke desa terpencil itu.

"Sampai-sampai kami hanya berharap, ada seorang mantri dan seorang bidan di desa kami. Tapi itu pun sulit," ujar Buak lagi.

Karena ketiadaan tenaga medis itulah mereka tidak berdaya ketika wabah penyakit menyerang. Kalau pun tak ada wabah, warga pun sangat kerepotan ketika akan melahirkan. Selama ini, para ibu hamil yang hendak melahirkan terpaksa ditolong kerabat sendiri. "Ada saja bayi yang lahir di tangan sang ayah. Tali pusar bayi diobati dengan campuran garam dan asam kamal (asam Jawa)," ucap Halidah yang ditemui terpisah.

Ketika wabah malaria (disebut warga dengan istilah wisa) melanda hingga April lalu, mereka pun hanya pasrah, seraya berikhtiar dengan melakukan pangobatan tradisional.

Sasan (26), misalnya, mengaku harus rela ditinggal istrinya, Umik (25) selama-lamanya akibat penyakit malaria yang menjangkitinya tak terobati.

"Tidak ada mantri di sini. Mau keluar mencari pengobatan medis, jalannya sulit. Untuk berjalan sendiri saja susah, bagaimana lagi membawa yang sakit. Makanya kalau ada yang terkena wisa kita hanya mengobatinya dengan ritual balian," ujar Sasan didampingi sesepuh desa yang akrab dipanggil Kai.

Dalam pengobatan tradisional ini si sakit dibaringkan di balai-balai, kemudian seorang dukun memberikan pengobatan dengan menari-nari mengelilingi pasien seraya membaca mantra.

Menurut Kai, penularan penyakit itu sangat cepat dan mematikan. Sudah banyak kejadian hingga penderita tak tertolong lagi.

"Jika menderita sampai tiga hari, ciri kulitnya menguning, panas dan menggigil, langsung meninggal. Sejak awal tahun ini, 14 warga kami meninggal," sesalnya.

Kadinkes Banjar, dr Toto Medyanto, menyatakan pada akhir Maret lalu, telah dikirim lima anggota tim medis. Hasilnya, tim berhasil mengobati 102 warga yang sempat terjangkit malaria. Sejak itu korban tewas bisa ditekan. adi

Tim Seni Dayak Tabalong ke Pontianak

Jumat, 25 Mei 2007

SUATU kebanggaan bagi Kabupaten Tabalong karena komunitas suku Dayak di Bumi Saraba Kawa Tabalong mendapatkan undangan kehormatan dalam kegiatan Gelar Budaya Dayak se-Kalimantan di Pontianak (Kalbar). Di kota berjulukan Bumi Khatulistiwa itu, tim kesenian adat Dayak Tabalong akan berada selama sepekan terhitung Minggu (20/5) hingga Minggu (27/5) lagi.

Utusan masyarakat Dayak Provinsi Kalsel diwakili empat kabupaten, yaitu Tabalong, Balangan, HSS dan Tapin. Apakah yang ditampilkan perwakilan Dayak dari Tabalong? Diinformasikan Ketua Kesenian Tabalong (DKT) Nurdiansyah Nunci yang terlihat turut serta bersama rombongan, Tabalong akan menampilkan sanggar seni tradisi Matunen Jaya Desa Warukin, Kecamatan Tanta, yang berasal dari Dayak Ma’anyan. Sedangkan tarian adat Dayak yang berkenan ditampilkan Matunen Jaya, membawakan Tari Mandi Api.

Beruntung tidak terlalu lama menunggu giliran, Rabu (23/5) malam tadi, sanggar tari pimpinan Andreas Buje ditemani penata tari Ardianto ini mendapatkan kesempatan menampilkan kebolehan diri dengan Tari Mandi Api pada ajang budaya dan seni adat se-Kalimantan tersebut. “Ajang yang digelar mempunyai manfaat besar dan dapat mempererat kebersamaan, melestarikan kesenian dan budaya adat Dayak. Kami harapkan kegiatan ini dapat terus berlanjut sebagai aset budaya dan pariwisata Kalimantan,” katanya.

Selain Nurdiansyah Nunci, tampak pula diantara rombongan selaku pendamping tim kesenian adat Dayak asal Tabalong, adalah Kasubdin Pariwisata Zain Ramali, Kasubdin Budaya dan Seni Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalsel Drs Syarifudin, juga hadir ketua adat Dayak Ma’anyan Desa Warukin, Rumbun (day)

Sunday, May 27, 2007

Haratai Terisolasi

Tuesday, 22 May 2007 03:01

  • Jembatan rusak parah
  • Merugikan pariwisata

KANDANGAN, BPOST - Jembatan gantung menuju air terjun Haratai di wilayah Haratai III Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan rusak parah. Akibatnya, para wisatawan tak bisa mengunjungi objek wisata kebanggaan Kalimantan Selatan itu.

Warga Dayak Kesulitan

AKIBAT rusaknya jembatan gantung menuju air terjun Haratai lebih dirasakan warga Dayak yang mendiami balai adat di dekat lokasi wisata tersebut. Mereka kesulitan mengangkut hasil bumi seperti kayu manis dan kemiri.

Hasil tanaman hutan biasanya mereka jual ke Pasar Loksado, yang jaraknya sekitar delapan kilometer. Sarana paling mudah mencapai Pasar Loksado setiap Rabu adalah lewat jembatan yang rusak itu.

Oleh karena jembatan rusak, warga terpaksa lewat jalan setapak di hutan.

Tokoh masyarakat Loksado, Dana Lumur, mengatakan jembatan itu merupakan sarana vital bagi warga Pegunungan Meratus. "Lewat jalan lain memang bisa tapi memakan waktu dan tenaga ekstra. Yang paling mudah dilewati untuk ke pasar bagi warga di sekitar air terjun, ya... lewat jembatan yang putus itu," tegasnya. ary

Akhir pekan lalu, bertepatan liburan panjang, ratusan wisatawan gagal mengunjungi air terjun. "Wah kita mau lewat mana kalau jembatannya rusak begini," sungut Anto yang datang mengendarai sepeda motor bersama teman-temannya dari Martapura dan Banjarbaru, Sabtu (19/5) siang.

Karena sudah telanjur tiba, Anto dan teman-temannya nekat melewati jembatan. Sedang puluhan wisatawan lain yang juga menggunakan sepeda motor, memilih tidak jadi menuju air terjun. "Banyak papan lantai jembatan yang hilang. Apalagi saat dilewati bergoyang dengan keras. Kami takut jatuh," kata Agus, wisatawan dari Banjarmasin yang datang bersama teman wanitanya.

Tokoh masyarakat Loksado, Dana Lumur SPd, mengatakan jembatan rusak sejak Februari 2007. Ketika itu air jeram meluap setelah hujan tiga hari berturut-turut.

Beberapa pohon di bantaran tumbang akibat tanah longsor. Pohon besar di dekat jembatan juga tumbang dan menimpa jembatan.

"Soal jembatan sudah kita laporkan ke dinas terkait usai banjir," kata Dana.

Menurut Dana, Kepala Dinas Pariwisata HSS, Hj Siti Saniah Bahdar Djoehan, berjanji jembatan segera diperbaiki.

Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Kalsel Hj Armistiany meminta pemerintah merealisasikan perbaikan jembatan menuju air terjun Loksado.

"Wisatawan asing sukanya petualangan. Jadi kalau akses ke Haratai III putus jelas mereka mencari tempat lain di luar Kalsel," kata Armistiany, Senin malam.

Selama ini Asita menjual objek wisata Loksado hingga luar negeri. Langkah tersebut harus didukung infrastruktur dan pemerintah daerah.

"Jangan dibiarkan terlalu lama rusaknya, karena bisa merugikan daerah. Selain itu, kawasan yang sebelumnya potensial bisa menjadi kawasan mati dan tidak menghasilkan PAD bagi daerah," papar Armistiany.ary/tri

Friday, May 18, 2007

Dayak Tolak Tambang Bijih Besi Di Kecamatan Awayan, Balangan

Rabu, 16 Mei 2007
BANJARMASIN,- Rencana penambangan bijih besi di Kecamatan Awayan, Kabupaten Balangan, ditentang oleh warga Dayak Pitap. Mereka memilai, aktivitas pertambangan itu akan mengancam kelangsungan ekosistem serta adat budaya kawasan yang dekat dengan hutan lindung, tempat yang dikeramatkan masyarakat Dayak Pitap.

Penolakan ini disampaikan warga Dayak Pitap yang dipimpin langsung Murdi, Kepala Adat Dayak Pitap, ketika meminta advokasi kepada Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel di Banjarbaru, kemarin.

Berkenaan dengan rencana Pemkab Balangan yang telah memberi izin Kuasa Pertambangan (KP) eksplorasi kepada PT Saribumi Sinar Karya (SSK), para tokoh Dayak Pitap menolak tegas keinginan itu. Apalagi, sejak tahun 2001 masyarakat setempat sudah menolak aktivitas pertambangan di wilayahnya.

PT SSK memang telah mendapat izin perpanjangan dari Bupati Balangan Sefek Effendy, lewat SK bernomor 100 Tahun 2006, di mana wilayah tambangnya seluas 3.500 hektare meliputi wilayah adat Dayak Pitap, Kecamatan Awayan.

Penolakan warga juga telah diputuskan dalam rembug (musyawarah adat) pada Rabu (9/5) di Balai Mawangka. Bahkan, mereka juga bersumpah demi para leluhur dan tempat keramat Dayak Pitap, menolak kehadiran PT SSK dan kebijakan Pemkab Balangan yang memperpanjang masa kuasa pertambangannya. “Apa yang disuarakan masyarakat Adat Dayak Pitap itu merupakan bentuk penolakan. Sebab, selama ini baik pengusaha maupun pemerintah tidak menghargai keberadaan masyarakat adat,” ujar Berry Nahdian Furqon, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel kepada wartawan koran ini, kemarin.

Menurut Berry, aktivitas pertambangan itu juga akan menimbulkan keresahan dan konflik horizontal, terutama masyarakat yang kontra dan pro pertambangan, serta konflik vertikal yakni antara masyarakat dengan pemerintah atau aparat keamanan.

“Selama ini, kajian pertambangan juga tak komprehensif. Artinya, tidak memikirkan dampaknya bagi lingkungan dan sosial budaya,” cetusnya.

Bahkan, papar Berry, warga Dayak Pitap sudah merasakan dampaknya, ketika aktivitas pertambangan itu berlangsung sejak tahun 2001, ketika masih dalam kendali Pemkab Hulu Sungai Utara (sebelum pemekaran menjadi Kabupaten Balangan, red).

Berry menegaskan, sikap warga Dayak Pitap akan tetap konsisten untuk menolak rencana penambangan di wilayahnya. Untuk itu, warga Dayak Pitap mendesak agar KP eksplorasi PT SSK yang dikeluarkan pada 1 Mei 2006 dan berakhir pada 1 Mei 2007 itu tidak diperpanang lagi. “Bagi warga Dayak Pitap, kebijakan semacam ini seharusnya dimusyawarahkan dengan masyarakat,” imbuhnya. (dig)

Tuesday, May 15, 2007

Tambang Rambah Hutan Keramat

Selasa, 15 Mei 2007 03:02

Dayak Pitap protes

BANJARBARU, BPOST - Seribu masyarakat adat Pitap dari tiga desa di Kecamatan Awayan, Balangan, menolak kehadiran PT Sari Bumi Sinar Karya yang akan melakukan penambangan biji besi di kawasan Gunung Tanalang.

Rentan Konflik Horizontal

DIREKTUR Ekesekutif Walhi Kalsel Berry Nahdian Furqan, saat mendampingi masyarakat adat Dayak menyarankan pemerintah segera tanggap akan permintaan warga. Karena jika tidak, konflik horizontal rawan terjadi.

"Tidak hanya antarmasyarakat konfliknya, tapi juga dengan aparat di sana. Kalau ini tak dicermati serius sangat berbahaya," kata Berry.

Selama ini saja, segala aktivitas eksplorasi yang telah dilakukan menimbulkan banyak keresahan warga. Tidak jarang, akibat berselisih paham antarwarga karena masalah sepele di survei pertambangan, aparat turut bersitegang dengan warga.

Menurut Furqan, penyebabnya tak berat, namun dampaknya luar biasa bagi keamanan kampung. Sebagai contoh, saat seorang warga diminta mengawal kedatangan tim survei, sementara warga lain tak diajak ujung-ujungnya konflik fisik.

Belum lagi, dampak lingkungan yang bakal muncul. Lima belas aliran sungai di kawasan ini bisa akan tergadai jika pemerintah tak tanggap. niz

Mereka khawatir aktivitas perusahaan bijihhh besi pada lahan 3.500 hektare itu merusak hutan keramat di Gunung Tanalang yang menjadi hak ulayat warga.

Pemerintah setempat diminta menghentikan akivitas pertambangan di kaki gunung Meratus ini. Perpanjangan izin KP yang dianggap tidak menghormati hak adat Dayak Pitap karena datang tanpa mengindahkan norma di sana.

Masyarakat adat melalui puluhan perwakilannya secara khusus mendatangi markas Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel di Jalan Garuda Banjarbaru, Senin (14/5). Mereka dipimpin Kepala Adat Dayat Pitap, Murdi dan mantan Wakil Kepala Adat Dayak Pitap, Syahruni.

"Demi leluhur dan tempat keramat Dayak Pitap, kami masyarakat adat secara tegas tidak menerima kehadiran PT Sari Bumi Sinar Karya," kata Murdi dengan suara lantang menyuarakan aspirasi yang merupakan hasil musyawarah adat, Rabu (9/5).

Warga, tidak ingin ada penyesalan di kemudian hari. Apalagi, kawasan yang akan digarap oleh perusahaan pemegang KP tersebut adalah sumber mata air dan daerah resapan. Lokasi pertambangan di sebelah Timur Paringin ini kalau dikeruk, bakal menyisakan kesengsaraan berupa kerusakan lingkungan.

Menurutnya, kawasan tersebut masuk ke kawasan hutan lindung yang harus memiliki izin pinjam pakai. Termasuk izin dari masyarakat adat, mengingat ada puluhan kampung dan ribuan warga yang akan terkena imbas dari aktivitas pertambangan di sana.

Masyarakat adat, kata Murdi, hampir habis kesabarannya. Perjuangan penolakan telah berjalan enam tahun. Sejak 2001, ketika wilayah itu masuk dalam Kabupaten Hulu Sungai Utara, warga telah berupaya menyampaikan keberatan mereka ke pemda setempat.

Namun kata Murdi, tak pernah ada tanggapan. Pemerintah, terkesan melegalkan perbuatan pemilik KP. Padahal, jelas sekali kedatangan mereka menuai masalah.

"Kami khawatir, akan ada hukum rimba yang berlaku kalau sampai sikap kami ini tetap tak digubris," timpal seorang pemuda Dayak Pitap lainnya tak kalah bersemangat. niz

Komunitas Adat Terpencil di Hamak Utara Merantau Setiap Selesai Panen

Selasa, 15 Mei 2007 03:02

ASRAN (40) menyusuri jalan sepi kampung rumah komunitas adat terpencil (KAT) Desa Hamak Utara, Kecamatan Telaga Langsat, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Jumat (11/5) petang. Bapak dua anak ini tak menghiraukan gerimis membasahi bajunya yang kotor.

Ia pulang setelah seharian bekerja di ladang, sekitar 2 kilometer dari hutan yang berbukit. Rekannya Hamri yang sedang santai di beranda rumah bersama seorang cucu, mengajaknya mampir.

Hanya dua lelaki itu dari 113 kepala keluarga penghuni rumah KAT yang tampak, saat BPost berkunjung ke desa itu. Selebihnya, pintu-pintu rumah tertutup rapat. Menurut Hamri, petang menjelang malam, warga banyak yang sudah pulang dari ladang.

Mereka sering berkumpul bersama anak dan istrinya di dalam rumah. Apalagi saat itu hujan gerimis tak henti membasahi desa yang berbatasan dengan Kecamatan Haruyan HST tersebut. Namun bukan berarti ratusan rumah yang pintunya tertutup rapat tak ada penghuninya.

Menurut Asran, sekarang ini banyak penghuni merantau keluar daerah. Mereka meninggalkan rumah untuk menjadi buruh tani atau tambang diberbagai kabupaten di Kalsel dan Kalteng. "Biasanya baru pulang setelah tiga bulan," terang Asran. Mayoritas pekerjaan warga yang mendiami rumah KAT di Hamak Utara ini adalah peladang padi berpindah dan penyadap karet. Sebagian dari mereka tak punya lahan sendiri.

Selama di kampung mereka hanya menjadi buruh saat musim panen. Setelah panen, banyak petani yang merantau keluar daerah mencari sumber penghasilan. Alasannya, bila bertahan di kampung, sulit menafkahi anak istri.

Mereka yang mampu bertahan hidup di kampung, karena masih punya kebun karet yang pohonnya bisa disadap setiap hari. Hasil sadapan setiap harinya, berkisar tiga sampai lima kilogram. 1 kilogram karet harganya berkisar Rp4.500.

Jangan heran apabila menemui rumah bantuan pemerintah pusat itu setelah selesai masa panen, bak ditelantarkan. Rumah KAT di Hamak Utara 113 unit. Sebanyak 102 unit dibangun tahun 2005 dari dana bantuan pemerintah pusat.

Sebelas unit lainnya dibangun 2006 oleh pemerintah kabupaten. Rumah berbahan kayu itu berukuran 6 x 5 m. Mereka yang diberi fasilitas ini, petani miskin yang tak memiliki tempat tinggal. Rata-rata berasal dari Hamak Utara dan desa lain di Kecamatan Telaga Langsat. Selain di Hamak Utara, di HSS juga terdapat rumah KAT di Daha Selatan dan Loksado. ahmad arya

Saturday, May 05, 2007

Sopir Truk Batu Bara Trauma Wali kota minta warga tahan diri

Jumat, 04 Mei 2007 01:45


Siswa Dayak Takut Putus Sekolah

  • Harapkan beasiswa dari pemerintah

BARABAI, BPOST - Kondisi ekonomi keluarga yang memprihatinkan memaksa sekelompok anak Suku Dayak Pegunungan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah yang sekolah di SMPN 1 Batang Alai Timur meminta uluran tangan pemerintah.

Mereka sangat berharap diberi beasiswa agar tetap bisa bersekolah. Widiansyah (15), Junaidi (15), dan Abdi Permana (16) siswa kelas tiga sekolah itu sangat khawatir kalau mereka putus sekolah, hanya karena tak punya biaya.

"Kami ingin terus sekolah, kalau bisa sampai sarjana," kata Widiansyah dibenarkan Junaidi dan Abdi. Bayangan putus sekolah karena orang tua tak mampu membiayai, kini terus menjadi beban pikiran mereka.

Masalahnya, untuk bisa bertahan sekolah di SMP ini saja, mereka harus banting tulang, dengan bekerja sebagai penyadap karet buat biaya makan.

Karena itu, selain minta dibebaskan biaya sekolah, mereka juga berharap ada beasiswa untuk biaya hidup. "Bagi kami hidup pas-pasan tak masalah. Yang penting kalau kami sudah selesai sekolah, bisa membantu saudara kami di atas sana (Pegunungan Meratus) yang juga perlu pendidikan," ungkap Junaidi tulus.

Abdi menambahkan, di desa mereka, Juhu, baru tujuh orang termasuk dirinya yang bisa tamat SD, tiga orang masih sekolah di SMPN 1 Batang Alai Timur dan empat orang masih belajar di SMAN 1 Batang Alai Selatan.

Seperti saudara sekampungnya yang sudah duduk di SMA, apabila lulus SMP, Abdi bertekad melanjutkan ke SMA, bahkan di bercita-cita mau kuliah agar bisa menjadi guru.

Minimnya generasi muda dayak bisa bersekolah sampai jenjang pendidikan menengah atas dan sarjana, dibenarkan ketua Persatuan Adat Dayak (Permada) Kalsel, Zonson Maseri. Menurutnya, hal inilah yang membuat suku mereka masih terbelakang.

"Kita sering dianggap orang bodoh sehingga mudah dibodohi, kita juga sering dianggap suku yang tak beradab, padahal itu karena tidak diberi kesempatan dan bantuan untuk tetap bisa mengecap pendidikan," katanya. yud

Program Sekolah Satu Atap

WAKIL Bupati Hulu Sungai Tengah, H Iriansyah mengatakan harapan siswa dari Dayak Meratus agar dibantu pemerintah dengan besiswa supaya tak putus sekolah wajar. Hanya saja, kemampuan daerah saat ini masih terbatas.

"Kita baru bisa mendekatkan lembaga pendidikan ke daerah terpencil. Untuk memberi beasiswa belum," ujarnya. Program beasiswa saat ini masih mengacu ketentuan umum, dimana yang berhak mendapat adalah siswa tidak mampu yang berprestasi, belum mengarah pada siswa yang tinggal di daerah terisolir.

"Untuk sementara pemerintah juga membebaskan biaya SPP dan berbagai iuran mulai SD sampai SMA. Tapi untuk jaminan biaya hidup siswa bagi yang sekolah di pedalaman belum ada," tambahnya.

Program SD-SMP satu atap diyakini Iriansyah juga sebagai alternatif menjawab harapan mereka mendapatkan beasiswa. Dengan dekatnya sekolah dan tempat tinggal, diharapkan kesulitan hidup yang dialami karena harus berpisah dengan orangtua dapat diatasi.

"Kita akan koordinasikan lagi harapan ini dengan Dinas Pendidikan, semoga saja ada solusi alternatif," pungkasnya.yud

Friday, May 04, 2007

Baluntang, Simbol Status Keluarga Dayak

Jumat, 27 April 2007 19:32

SEBUAH patung kayu ulin sederhana seperempat bagiannya menggambarkan rupa manusia, berhias ukiran tampak kokoh berdiri di halaman depan rumah Rumisah (85), warga Dayak Manyan di Desa Warukin, Kecamatan Tanta, Tabalong.

Nuansa magis langsung terasa saat menatap patung setinggi 4-5 meter yang disebut warga setempat Baluntang. Baluntang merupakan batur atau nisan leluhur atau kerabat yang telah meninggal.

Rumisah, satu dari sedikit warga di sana yang masih memiliki benda itu. Selain nisan, baluntang pun dikenal sebagai simbol status dan derajat pemiliknya dalam masyarakat. Setiap baluntang memiliki ciri khas yang menunjukkan status atau pangkat almarhum saat masih hidup.

Ciri khas dilihat dari pose purwarupa manusia pada patung. Menurut Rumisah yang dulu menyandang status balian tetamba (dukun pengobatan), bila rupa manusia itu tampak berdiri dan menyandang tongkat kecil sebagai kiasan giring-giring, berarti baluntang tersebut adalah batur seorang balian.

Sedangkan yang membawa mandau atau tombak, berarti pejuang atau ksatria. "Bila duduk di kursi berarti seorang pejabat seperti penghulu atau pembakal," jelasnya.

Status sosial masyarakat dayak bisa dilihat dari kepemilikan baluntang. Meskipun orang biasa, bila memiliki baluntang bisa dikatakan sebagai orang berpunya, karena mendirikan balutang perlu kerja keras dan kesiapan dana besar mecapai puluhan juta bahkan ratusan juta, bila diukur dengan nilai uang saat ini.

Pelaksanannyapun harus melewati upacara atau aruh adat yang mengundang seluruh kerabat, tetuha bahkan balian atau dukun dari kampung lain. Deny Djohn, tokoh adat warga dayak dari Desa Bajut, Warukin memaparkan pendirian baluntang sangat sakral karena menggambarkan kesempurnaan proses pengantaran arwah ke nirwana.

Karenanya meskipun besar biayanya, tetap diusahakan dilaksanakan. "Bahkan bisa saja satu baluntang dibangun untuk lebih dari satu leluhur, asalkan masih satu garis keturunan," ujarnya.

Meskipun sederhana, baluntang pernah menjadi incaran pencuri sekitar tahun 1970-an karena nilai seninya. Karena itu banyak baluntang milik warga yang hilang dicuri dan dijual keluar negeri. Pemkab Tabalong berupaya melindungi aset budaya daerah ini dengan menjadikan desa itu sebagai kawasan cagar budaya. anjar wulandari

Kepala Adat Dibebaskan Ditangkap Saat Membawa Senapan Rakitan di Pasar Birayang

Jumat, 27 April 2007

Banjarmasin, Kompas - Kepolisian Resor Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, membebaskan Rudiansyah, kepala adat Desa Pambakulan, dan Effendi, warga Desa Mantin, dari tahanan, Kamis (26/4), dengan alasan keduanya sangat diperlukan untuk memimpin upacara adat. Keduanya ditahan karena membawa senjata api tanpa izin.

Rudiansyah dan Effendi sudah mendekam selama 12 hari di Rumah Tahanan Barabai, Hulu Sungai Tengah. Mereka ditahan polisi karena didapati membawa senapan rakitan di Pasar Birayang, Kecamatan Batang Alai Selatan, Sabtu (14/4).

Karena Rudiansyah dan Effendi merupakan tokoh penting bagi masyarakat desa di kaki Pegunungan Meratus itu, Rabu lalu sekitar 100 warga Dayak yang tergabung dalam Persatuan Masyarakat Adat (Permada) Kalsel mendatangi Polres Hulu Sungai Tengah untuk meminta agar penahanan Rudiansyah dan Effendi ditangguhkan.

Menurut warga suku Dayak itu, Rudiansyah dan Effendi sangat diperlukan untuk memimpin upacara adat Mahanyari Banih yang akan digelar 5 Mei mendatang. Dengan alasan itu, polisi akhirnya mengabulkan tuntutan warga.

Kepala Polres Hulu Sungai Tengah Ajun Komisaris Besar Eko Krismianto menjelaskan, penahanan ditangguhkan karena sudah ada surat permohonan dan jaminan dari keluarga kedua tersangka.

Semua kepala adat di Hulu Sungai Tengah juga sudah menyampaikan surat kesediaan untuk menyosialisasikan aturan tentang larangan membawa senjata rakitan untuk berburu ke tempat keramaian, kecuali saat bekerja di rumah ladang atau hutan.

Tidak tahu ada larangan

Karena melanggar aturan itulah, menurut Krismianto, Rudiansyah dan Effendi ditangkap. Apalagi, warga Birayang belum lepas dari kekhawatiran karena beberapa waktu lalu di daerah itu terjadi perampokan dengan menggunakan senapan rakitan.

"Keduanya ditangkap polisi untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan karena mereka berada di tengah keramaian pasar," kata Krismianto.

Ketua Permada Kalsel Zonson Masri menduga Rudiansyah dan Effendi tidak mengetahui adanya larangan membawa senjata api rakitan. Pasalnya, membawa senjata rakitan untuk berburu babi hutan sudah merupakan hal yang lumrah bagi warga di desa mereka.

"Sebaiknya, kalau ada warga yang membawa senjata tidak langsung ditangkap, tetapi diberi peringatan dan perjanjian untuk tidak mengulanginya lagi. Cara seperti itu akan lebih mendidik," kata Zonson. (FUL)

Thursday, May 03, 2007

Dayak Meratus Ingin Desa

Rabu, 25 April 2007 01:32

Kotabaru, BPost
Kondisi geografis di kaki Gunung Meratus, membuat warga Dayak Dusun Hulu Sampanahan, Desa Limbur, Kecamatan Hampang menginginkan membentuk desa sendiri.

Keinginan itu disampaikan perwakilan masyarakat Dayak Dusun Hulu Asransyah saat berupaya menemui Bupati Kotabaru H Sjachrani Mataja beberapa waktu lalu di kantor Pemkab Kotabaru.

Menurutnya, Dayak Dusun Hulu Sampanahan memang harus membentuk desa sendiri agar segala urusan administrasi berjalan cepat dan lancar, sebab untuk menuju Desa Limbur diperlukan waktu lima jam dengan jalan kaki.

"Kita harus menerobos hutan belantara dan mendaki lereng pegunungan Meratus," katanya.

Menurutnya, saat ini dusun dihuni sekitar 105 kepala keluarga atau 315 jiwa.

Mata pencaharian warga, katanya, adalah berladang serta memanfaatkan hasil hutan seperti damar.

Kehidupan warga sangat memprihatinkan. Khususnya di bidang pendidikan, pasalnya di dusun itu tidak ada sekolah dasar dan puskesmas pembantu.

Tidak adanya sarana penunjang kesehatan membuat warga kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan, sehingga memilih menggunakan pengobatan tradisional. dhs


Monday, April 30, 2007

Kongres Masyarakat Adat Penguatan untuk Melawan Kebangkrutan Ekonomi

Sabtu, 17 Maret 2007

Pontianak, Kompas - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara melakukan penguatan organisasi dan penguatan partisipasi politik sebagai bentuk perlawanan atas penindasan politis yang dialami masyarakat adat selama ini.

"Agenda kongres kali ini, ya, dua hal itu, di saat seluruh masyarakat harus menghadapi kebangkrutan ekonomi seperti sekarang ini," kata Wakil Ketua I Kongres Masyarakat Adat Nusantara III Mina Susana Setra, Jumat (16/3) di Pontianak, Kalimantan Barat. Kongres yang berlangsung pada 17-20 Maret 2007 ini merupakan lanjutan dari kongres pertama di Yogyakarta (1999) dan kongres kedua di Lombok (2003). Kongres ketiga akan dihadiri sekitar 1.500 orang perwakilan masyarakat adat di Indonesia.

Menurut Mina, penindasan secara politis bagi masyarakat adat masih terjadi di sejumlah wilayah yang tereksploitasi sumber daya alamnya dan masyarakat adat kurang diperhatikan kepentingannya. Eksploitasi pihak luar itu sering menimbulkan kerusakan alam yang akhirnya merugikan masyarakat adat.

Mina menjelaskan, masyarakat adat yang memperjuangkan kepentingannya selama ini masih menemui kendala ketika pihak yang mengeksploitasi sumber daya alam setempat memanfaatkan kekuasaan secara politis untuk mengesampingkan kepentingan mereka.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR (salah satunya membidangi lingkungan) Sonny Keraf, Jumat malam di Jakarta, menyambut baik kongres tersebut dan menyatakan pelibatan masyarakat adat atau lokal penting agar mereka menerima manfaat langsung. Selama ini mereka lebih sering menjadi korban, termasuk pencemaran lingkungan dari aktivitas usaha.

Menurut Sonny Keraf, kurangnya kepedulian pemerintah terhadap lingkungan hidup tercermin pada lambannya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Sumber Daya Alam. Seretnya penanganan RUU sekaligus cerminan adanya perbedaan sikap tentang masyarakat adat. Pembahasan lebih dari tiga tahun tentang RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang tak kunjung usai, diwarnai tarik ulur pengaturan hak masyarakat adat dan kelembagaannya. Departemen Kehutanan bahkan mempersoalkan pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat adat, sedangkan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral mengkhawatirkan eksploitasi hutan oleh masyarakat adat akan dicampuri pihak lain.

Kasus di lapangan

Pengabaian peran masyarakat adat, menurut Mina, terlihat pada kasus pembukaan perkebunan sawit di Kabupaten Bengkayang, Kalbar, yang akhirnya memicu konflik antara pengusaha dan masyarakat adat setempat.

"Penyelesaian konflik akhirnya tidak berpihak kepada masyarakat adat karena kepentingan pengusaha terus dijalankan dengan pengawalan aparat keamanan. Bentuk penindasan politis semacam ini yang tak bisa dihadapi masyarakat adat selama ini," katanya. (WHY/GSA/NAW)

Wednesday, April 04, 2007

Masyarakat Adat Bentuk Parpol

Rabu, 21 Maret 2007 02:29

Banjarmasin, BPost
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sepakat membentuk partai politik (parpol). Dalam kongresnya di Pontianak, Kalimantan Barat, yang berakhir Selasa (20/3), wacana itu menjadi tema yang paling hangat disambut oleh para utusan.

Salah seorang anggota Dewan Adat AMAN Kalsel, Johnson Maseri mengungkapkan, wacana pembentukan parpol telah mencuat sejak kongres pertama 1999 lalu. Namun pada kongres ketiga pada tahun ini desakan itu semakin kencang.

"Keinginan membentuk partai politik bukan berarti menjadikan AMAN sebagai partai politik, melainkan partai baru yang dibidani kader-kader AMAN dari pusat sampai di daerah," ujarnya saat dihubungi BPost, Selasa (20/3).

Menurut Johnson yang juga Ketua Aliansi Persatuan Masyarakat Adat (Permada) Kalsel ini, sebagian besar perwakilan dari seluruh Indonesia menginginkan pada pemilu 2009, parpol itu sudah tampil.

Namun, dalam kongres yang diikuti 1.500 perwakilan itu belum memastikan waktu persisnya parpol dideklarasikan. Hingga kini masih terjadi perdebatan sengit secara internal.

Diakui, tak semua perwakilan setuju ide pembentukan parpol baru. Ada juga pemikiran yang menyatakan, cukup dengan menempatkan dan mendukung penuh kader-kader AMAN di parpol yang sudah ada.

"Memang perlu pertimbangan matang untuk pembentukan parpol. Apa positifnya dan apa dampak negatifnya masih dikaji lebih jauh," ucapnya.

Ide pembentukan parpol yang mewadai komunitas adat mendapat tanggapan positif dari sejumlah tokoh di daerah. Hal itu dinilai akan menyegarkan kehidupan perpolitikan di daerah.

"Selama ini keberadaan komunitas adat hanya mendapat pengakuan formal, namun belum diberikan kesempatan ikut membangun daerah. Padahal kami pun ingin berpartisipasi di bidang yang lebih luas, baik di pemerintahan maupun politik," cetus, Ulinawati, wanita keturunan Suku Dayak, yang juga Kepala Desa Warukin, Kecamatan Tanta, Tabalong, kemarin.

Selama ini, katanya, prosentase warga Dayak yang duduk di pemerintahan atau kepengurusan partai politik masih sedikit. Padahal dari sisi kualitas sumber daya manusia (SDM) telah ada peningkatan signifikan.

Dipaparkan, di Desa Warukin saja kini setidaknya terdapat 40 warganya bergelar sarjana. Kebanyakan dari disiplin ilmu sosial, keguruan, bahkan kedokteran. Tapi realitasnya, di Tabalong wakil suku Dayak di DPRD hanya satu orang. Sedangkan perwakilan di pemerintahan kabupaten sekitar 3 orang.

Dermi Uly, Ketua Kerukunan Warga Dayak Tanjung-Murung Pudak tak kalah antusiasnya merespons wacana tersebut. Ia berharap parpol tersebut kelak bisa menyuarakan aspirasi warga adat sampai ke tingkat pusat.

Pengamat Politik Unlam Banjarmasin, Apriansyah menilai keinginan masyarakat adat membentuk parpol adalah sesuatu yang wajar. Menurutnya, untuk mengirim utusan golongan di legislatif memang harus melalui partai politik. Namun kans AMAN untuk meraup suara besar dengan mendirikan sebuah parpol pun masih meragukan. Pasalnya, 60 persen suku di pedalaman Indonesia tidak terdata.

"Belum lagi masalah pendidikan politik yang rendah, dan jumlah komunitas masyarakat adat yang tidak terlalu banyak. Terbukti dari beberapa pemilu, suara dari suku pedalaman cukup kecil," tambahnya.

Karena itu, pembentukan parpol sah-sah saja, namun hal itu perlu pertimbangan lebih matang. Jika tidak maka parpol tersebut akan tereliminir.

"Dan itu akan menjadi pekerjaan yang sia-sia. Sementara pembentukan parpol pekerjaan yang besar," tandas Apri, sapaan Apriansyah.ais/nda

Monday, March 26, 2007

Kesenian Dayak Terancam Punah

Jumat, 23 Februari 2007 01:10

Tanjung, BPost
Pemerintah Kabupaten Tabalong harus segera memerhatikan pengembangan dan pembinaan kesenian khas suku Dayak, karena kekayaan budaya ini terancam punah.

Keturunan suku dayak yang masih kuat memegang tradisi sulit ditemukan. Kalaupun ada, mereka umumnya masih tinggal di pedalaman yang sulit dijangkau.

Sementara warga dayak yang bermukim di kota umumnya kurang menguasai budaya asli moyangnya.

Kebanyakan generasi mudanya pun lebih memilih bekerja di sektor formal dari pada menjadi penerus kesenian di bawah binaan Dinas Pariwisata. Kasubdin Objek dan Daya Tarik Wisata Tabalong, Zain Ramali, menyatakan, kesulitan utama pihaknya kesulitan mencari tokoh dayak yang bisa mengajarkan seni dayak asli.

Kesenian itu seperti tari balian bulat, panjat manau serta kegiatan ritual lainnya. "Keterbatasan ekonomi membuat masyarakat adat sering enggan dibina.

Mereka lebih mengedepankan berladang atau bertani untuk menghidupi keluarganya," katanya.

Kalaupun saat ini masih bertahan, mereka yang menguasai kesenian adat terbatas tetuha adat. Mengatasi ancaman kepunahan itu, pemkab setempat berencana memasukkan kesenian dan budaya Dayak ke mata pelajaran lokal di sekolah.

Bahkan, Dinas Pariwisata juga akan digabung ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, agar pembinaan kesenian lebih optimal. Saat ini pariwisata tergabung dengan Dinas Perhubungan, menjadi Dishubpar.

Ketua Kerukunan Warga Dayak Tanjung, Dermi Uly tidak menepis sulitnya pengembangan budaya adat moyangnya itu. Pergeseran sistem dan prinsip hidup yang dianut, dari kaharingan menjadi umat beragama salah satu penyebabnya.

Namun ia berharap pemerintah bisa menyelamatkan budaya leluhur yang bersifat kesenian, seperti tarian atau ritual adat yang umum.

"Kita tidak bisa membendung perubahan itu. Tapi sebenarnya masih ada komunitas yang melestarikan seperti lembaga kesenian dayak di Warukin dan Upao. Jadi pemerintah tinggal membantu dana pengembangannya," tambahnya. nda

Warga Adat Minta Pindah Kabupaten

Rabu, 21 Februari 2007 03:31

Kandangan, BPost
Sebanyak 15 warga dari tiga balai adat di Desa Ulang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) yang bermasalah karena ber-KTP Hulu Sungai Tengah resmi mengajukan pindah menjadi warga Kecamatan Loksado, HSS.

Camat Loksado Eka Agus Surya Selasa (20/2) mengatakan surat keterangan pindah domisili dari HST sudah diterima pihaknya. Namun, belum ada penyerahan resmi dari HST.

Wilayah yang didiami warga di balai Kumuh I, Kumuh II dan Durian Gangan secara batas alam dan geografis masuk wilayah HSS.

Namun data kependudukan berasal dari Desa Kundan Kecamatan Hantakan HST. Batas antara Kecamatan Hantakan HST tepatnya Desa Kundan dengan Desa Ulang Kecamatan Loksado HSS adalah pegunungan Kalangisan yang memanjang memisahkan kedua wilayah.

Selain itu anak sungai yang mengalir di daerah kaki Gunung Malah adalah anak dari Sungai Amandit. Warga di ketiga balai ini mulai ber-KTP HST saat ada proyek perbaikan jalan dan perumahan di Desa Kundan Kecamatan Hantakan pada tahun 1994.

Meski diberi KTP HST, mereka justru tidak pernah ke Desa Kundan karena selain dihalangi Gunung Kalangisan juga faktor jarak, yang lebih dekat ke Desa Ulang. "Untuk menuju Kundan harus naik dan turun gunung dengan kemiringan hampir 180 derajat," terang Arani, Kepala Desa Ulang. ary

MENENGOK KOMUNITAS ADAT TERPENCIL (2-Habis) Mimpi Dapat Rumah Baru

Rabu, 14 Februari 2007 01:18

DINGINNYA rembesan air hujan atau panasnya sinar matahari yang mengintip dari balik atap yang bolong, sekarang tak perlu terjadi lagi. Komunitas adat terpencil (KAT) Desa Riam Adungan Kecamatan Kintap kini sudah bisa tidur nyenyak di rumah barunya.

Masing-masing telah memiliki rumah sederhana yang kokoh. Rumah berukuran 5x6-an meter berkonstruksi kayu itu merupakan bantuan Dinas Sosial (Dinsos) Provinsi, anggaran 2006. Lokasi permukiman menjadi jauh sekitar 300 meter dari jalan desa setempat yang merupakan lahan kosong.

Permukiman baru KAT Riam Adungan itu pemanfaatannya diresmikan Bupati Tala H Adriansyah, Jumat (9/2). Turut hadir Kapolres AKBP Sumarso, Dandim 1009/Plh Letkol Art Zainal Arifin, pejabat Dinsos Provinsi, Ketua Tim PKK Hj Jumini Adriansyah, dan sejumlah pejabat teras Tala.

Senyum sumringah menggurat di bibir KAT Riam Adungan. Mastaniah, misalnya, janda tua ini mengaku seperti mimpi bisa punya rumah baru. "Saya sangat senang dan berterimakasih kepada pemerintah." Jumlah rumah dibangun Dinsos Provinsi tahun 2006 sebanyak 50 unit dari usulan 100 unit.

Sesuai laporan Kades Riam Adungan Bahrani S, sekurangnya ada 100 KK sangat membutuhkan bantuan perumahan. Tidak hanya 50 unit yang dibangun tahun 2006. Lebih dari itu, juga dibangun satu unit balai pertemuan, rumah petugas, dan pos.

Program ini disertai pemberian jaminan hidup (jadup) satu triwulan, peralatan rumah tanggam bibit/benih tanaman, dan bibit ternak (itik japun dan alabio). Tahun ini melanjutkan pemberian jadup selama setahun (empat kali pengedropan) dan penyaluran bibit tanaman keras.

Diharapkan awal 2008 permukiman KAT telah mandiri sehingga pembinaannya bisa diserahkan kepada Pemkab Tala. Menopang kemandirian dan perbaikan taraf hidup KAT, tahun ini Dinsos berencana memberangkatkan beberapa orang ke Bogor guna mengikuti pelatihan budidaya tanaman pertanian, perkebunan, dan kerajinan tangan.

Namun, pembiayaannya diharapkan dari Pemkab Tala. Bupati Tala H Adriansyah berharap Dinsos melanjutkan program itu sehingga seluruh KAT mendapatkan rumah. Sebaliknya kepada KAT Riam Adungan, Aad meminta warga semakin giat bekerja. "Tanah di sini saya lihat subur sekali, jagung di pekarangan tumbuh subur. Nanti,

Distas akan membantu membudidayakan jagung."katanya.

Aad juga mengimbau sejumlah perusahaan penambang di sekitar Riam Adungan agar terus memberikan perhatiannya kepada warga. Tidak hanya membantu secara fisik (rehab/bangun fasilitas umum), tetapi juga bantuan non fisik untuk peningkatan sumberdaya manusia. Warga diminta agar menjaga kemitraan dengan kalangan pengusaha. Tanpa kehadiran pihak lain (pengusaha) kemajuan desa akan berjalan lamban. idda royani

MELONGOK KEHIDUPAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL (1) Jalan Kaki Lima Pal Tiap Hari

Selasa, 13 Februari 2007 01:45

HIRUK PIKUK era milenium boleh terus menggetarkan bumi. Yang pasti, cahaya kemajuan zaman itu nyaris tak menjamah kehidupan komunitas adat terpencil (KAT) di Desa Riam Adungan Kecamatan Kintap Kabupaten Tanah Laut.

Mereka tetap hidup miskin dan terbelakang di tengah kian gemerlapnya dunia. Kayu bakar, lampu teplok, jalanan berlumpur, dan ladang berpindah tetap menjadi bagian dari keseharian KAT di desa itu.

Sejuk dan rindang. Suasana natural ini langsung terasa begitu memasuki Desa Riam Adungan yang berjarak 30-an kilometer dari jalan arteri nasional arah Pelaihari-Kintap. Semak perdu dan hutan menjadi pemandangan di sepanjang jalan menuju desa di bagian paling hulu Kintap itu.

Cukup melelahkan menuju permukiman KAT di Riam Adungan. Driver harus benar-benar cekatan jika tidak ingin mobil slip akibat licinnya jalan atau menubruk pepohonan yang menghiasi kanan-kiri badan jalan.

Rumah kayu kusam beratapkan daun nipah menjadi pemandangan dominan ketika mulai memasuki permukiman KAT. Rumah permanen, bisa dihitung dengan jari. Penuturan Kepala Desa Riam Adungan Bahrani S tercatat 110-an kepala keluarga di desa itu hidup miskin atau termasuk KAT.

Kehidupan mereka umumnya serba kekurangan, baik sandang, pangan, maupun papan. Mastaniah, misalnya. Kepada BPost, Jumat (9/2) pekan tadi, perempuan berusia 65-an tahun ini mengaku kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maklum, wanita tua ini kini hidup sendirian. Suaminya meninggal dunia sejak 30-an tahun silam.

Sementara anak sematawayangnya, Arbayah, sudah berkeluarga dan hidup bersama suami. Meski hidup terasa berat, Mastaniah tak pernah putus asa. Dengan fisiknya yang renta, ia tetap mencari nafkah sebagai buruh tani seperti menyiang (membersihkan) tanaman dengan upah Rp15 ribu sehari.

Itu pun tidak mudah, karena lokasi ladang umumnya cukup jauh dan harus ditempuh dengan berjalan kaki. "Hampir tiap hari saya mengambil upah menyiang. Ladangnya di balik hutan sana, ada lima pal jaraknya," tutur Mastaniah.

Buruh tani dilakoninya saat pasca tugal padi, seperti saat ini. Ia sendiri hingga kini tetap bercocok tanam padi meski hanya beberapa borong yang diperkirakan akan panen tiga bulan lagi.

Namun hasilnya tidak seberapa karena selalu diserang hama babi. Hasil panen tidak cukup untuk dimakan selama setahun sehingga harus menjadi buruh tani. idda royani

Tuesday, March 20, 2007

Dibentuk, Komunitas Saudagar Dayak-Banjar Pelantikannya Disaksikan Wapres Jusuf Kalla

Jumat, 5 Januari 2007 Radar Banjarmasin

BANJARMASIN - Tak lama lagi akan ada komunitas pengusaha baru di Kalsel dan Kalteng. Mereka ini menamakan komunitas tersebut sebagai "Saudagar Dayak-Banjar".

Sesuai namanya, komunitas ini akan beranggotakan orang asli Kalsel dan Kalteng yang bergerak pada usaha perdagangan. Rencananya, Saudagar Dayak-Banjar tersebut akan dilantik oleh Gubernur Kalsel Rudy Ariffin di Mahligai Pancasila Banjarmasin pada 21 Januari nanti. Istimewanya, pelantikan Saudagar Dayak-Banjar akan disaksikan oleh Saudagar Bugis yang juga Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.

Ketua KADIN Kalsel Endang Kesumayardi menepis jika Saudagar Dayak-Banjar merupakan pertanda ego kedaerahan para pengusaha. "Paguyuban para pengusaha daerah ini merupakan upaya bersama-sama untuk menggerakan perekonomian lokal," ujarnya kemarin.

Ketua KADIN Kalteng Ir B Saptanoesa Wenthe pun menjelaskan bahwa sebagian besar pengusaha di Kalteng adalah pada pengusaha kecil. Nah, dengan Saudagar Dayak-Banjar itu, diharapkannya akan saling berbagi pengalaman, mencari peluang, kemudian memanfaatkannya.

Dijelaskan Endang, para pengusaha lokal Kalsel dan Kalteng sudah memiliki komitmen menjadi tuan rumah sendiri di Bumi Kalimantan yang sumber daya alamnya melimpah ruah. Dia menegaskan, tak mau lagi kekayaan alam Kalimantan malah dinikmati pengusaha luar sebagaimana saat usaha kayu menjadi primadona di Kalimantan. Habis kayu maka pengusaha ini meninggalkan Kalimantan tanpa peduli dengan kehidupan masyarakat. "Saat ini, pertambangan batubara lagi booming. Kami tak mau hanya menikmati debunya saja," tegasnya.

Karena itulah pada saat bertatap muka dengan Wapres Jusuf Kalla nanti, Endang akan menitipkan prioritas pembangunan di Kalimantan yang bersandar pada usaha pertambangan, perkebunan, dan infrastruktur. (pur)

Friday, February 16, 2007

Khazanah Pusaka Budaya Banjar

Jumat, 13 Januari 2006 03:02


--------------------------------------------------------------------------------

Adat Sunatan Anak

Oleh:
Anggraini
Pemerhati budaya

Masyarakat kota telah maju. Jika akan menyunat putranya, cukup datang ke Puskesmas atau rumah sakit. Di tempat itu tersedia peralatan dan paramedis, biayanya pun tidak terlalu mahal.

Urang Banjar tempo dulu apalagi yang tinggal di perdesaan terpencil jauh dari RS harus mengeluarkan biaya besar, untuk upacara khusus. Satu atau tiga anak lelaki berusia lima - tujuh tahun disiapkan kakek atau nenek untuk basunat baimbai untuk menghemat biaya.

Sambil berendam di air dingin dalam panai (baskom dari gerabah), anak-anak itu dihibur oleh kakek/neneknya dengan cerita indah. Berendam dilakukan menjelang subuh agar daging kemaluannya keriput, sehingga tidak akan sakit saat disunat.

Pagi harinya, anak-anak itu diberi pakaian bagus, cincin dan gelang emas, dipersolek bagai mempelai dan di lehernya digantungi sebuah azimat penangkal setan. Di depan undangan yang memenuhi rumah, anak-anak itu didudukkan di atas sasanggan terbalik, diselimuti bahalai (kain batik panjang) yang serba mahal.

Keadaan menjadi tegang ketika panyunatan (orang yang menyunat) datang dengan perlengkapannya. Dengan senyum simpul dan keramahannya, panyunatan meyakinkan anak-anak itu bahwa sunatan itu tidak akan sakit dan mengalami cedera

Sunat dilakukan tanpa pembiusan sebagaimana dilakukan ahli kesehatan sekarang. Dengan peralatan tradisional seadanya, pengkhitanan pun dilakukan. Pelaksanaannya cukup cepat. Perawatannya pun tradisional dan dilakukan oleh panyunatan. Usai sunatan, Tuan Guru membaca doa dan melafalkan dua kalimah syahadat, menandakan mereka telah menjadi anak muslim sekaligus memberikan papadah (nasihat) kepada mereka.

Ada beberapa pantangan harus dijalani oleh anak-anak pascakhitanan itu. Di antaranya pamali menyantap ikan baung, tidur miring, melangkah kotoran ayam dan lain. Kepada mereka dianjurkan banyak mengaji/membaca Alquran.

Acara terakhir menghidangkan wadai khusus, yakni nasi lakatan balamak yang ditempa dan dipotong persegi empat, di atasnya dihiasi inti nyiur bagula habang, lengkap dengan kopi atau teh manis. Tuan Guru membacakan doa selamat dan diakhiri makan bersama.

Babaikan

Bilamana terjadi perkelahian antara dua orang atau dua kelompok keluarga, baik karena percekcokan dan caci mencaci atau penganiayaan dan pembunuhan, atau sopir yang menyerempet anak-anak sehingga memicu perkelahian dan dendam khasumat, maka tampil tetuha kampung. Bisa pula pembakal atau tuan guru yang berwibawa di kawasan itu.

Persengketaan dilerai dan selama masih dapat diselesaikan secara kekeluargaan, sengketa ini tidak akan dibawa kepada penguasa atau kepolisian. Kantor polisi adalah tempat pengaduan terakhir, bila adat babaikan (menyelesaikan persengketaan) ini tak bisa ditempuh.

Biasanya tetuha kampung tersebut, segera mendamaikan kedua belah pihak. Adat ini harus ditaati oleh orang yang berkelahi atau mereka yang terlibat dalam persengketaan itu, antarkelompok, antarkeluarga. Mereka diarahkan dan dinasihati oleh tetuha sebagai juru damai itu, sesuai Ajaran Islam bahwa lazimnya manusia selalu khilaf dan telanjur membuat berbagai kesalahan sehingga terjadinya percekcokan dan perkelahian. Maka, semuanya harus sadar dan bertobat, takut kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai firman Nya dan sabda Rasul Nya. Harus saling memaafkan dan tidak boleh menaruh dendam atau membuat perkelahian baru. Pokoknya Ajaran Islam sangat ditekankan dalam adat babaikan ini.

Menjadi kebiasaan pula dalam hal ini, untuk yang muda lebih dahulu mengulurkan tangannya memohon ampun kepada yang tua, dan yang tua meminta maaf kepada yang muda. Hal ini diikuti oleh semua pihak, baik lelaki maupun perempuan dari keluarga yang terlibat. Tuan Guru membacakan doa selamat seraya memercikkan air wewangian ke atas kepala hadirin, sebagai pertanda telah berakhirnya persengketaan.

Mailangi

Jika sebuah keluarga mengalami musibah atau menderita penyakit kronis yang diduga akan lambat sembuhnya, maka para jiran/tetangga mengunjunginya. Selain membawakan buah tangan berupa kue yang lezat, juga biasa memberikan bahan pengobatan tradisional. Mereka datang bukan memberikan obat seperti zaman sekarang. Kalau pun ada, cuman beberapa butir pil Kina yang dibeli di pasar, karena masa itu belum ada dokter atau Puskesmas.

Selain uang sekadarnya, mereka memberikan ramuan obat tradisional berupa daun/umbi jaringau, pirawas dan langgundi. Urang Banjar meyakini, ketiga jenis tumbuhan obat itu memiliki khasiat magis yang erat hubungannya dengan mitos sakralnya Putri Junjung Buih dan Pangeran Surianata di Candi Agung (Nagaradipa) masa lalu.

Urang pintar (dukun) dan Tuan Guru juga datang memberikan banyu tawar untuk diminum dan diuleskan ke seluruh tubuh si sakit. Mereka semua berupaya dan berdoa demi kesembuhan penderita. Keluarga dekat yang rela menginap menemani si sakit, diharuskan bermalam setidaknya dua malam berturut-turut.

Pada malam-malam keprihatinan itu lazimnya dilakukan Shalat Hajat di samping membaca Alquran disertai doa agar si sakit segera pulih kesehatannya. Sikap kebersamaan ini merupakan sugesti dan trapi bagi si sakit demi kesembuhannya.

Kepedulian yang religius begini juga dilakukan keluarga Urang Banjar apabila warganya mengalami musibah kebakaran, kebanjiran, kekaraman perahu di sungai atau bencana alam lainnya. Tanpa diundang, mereka datang sukarela ikut membantu meringankan beban penderitaan warga sejirannya.


--------------------------------------------------------------------------------



Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Balai Adat Jadi Tempat Belajar

Selasa, 02 Januari 2007 01:43


Kandangan, BPost
Kesulitan mengakses sekolah, anak-anak di pedalaman Desa Ulang Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan terpaksa belajar di balai-balai adat. Para guru mendatangi balai adat di saat mereka istirahat bekerja di ladang.

Dengan cara itulah, guru bisa mengumpulkan anak-anak petani. Warga masih tinggal di balai-balai yang menyebar di daerah pegunungan Kalangisan, yang berbatasan dengan Kabupaten Hulu Sungai Tengah.

Kepala Desa Ulang Arani mengatakan, bagi warganya lokasi terdekat sekolah hanya ada di daerah Ulang Pasar. "Di sana memang ada SD dan SMP satu atap," katanya Kamis (4/1), ditemui di Dusun Tataian, Desa Ulang.

Program paket yang selama ini juga dilaksanakan di Loksado belum sampai ke desa itu. Padahal, ratusan kepala keluarga tinggal di sana. Kalaupun ada pendidikan sampai ke sana, bukan dari pihak pemerintah,tapi atas swadaya masyarakat dengan tenaga pendidik pun dari warga Ulang sendiri.ary


Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Thursday, January 11, 2007

Balai Adat Jadi Tempat Belajar

Selasa, 02 Januari 2007 01:43
Kandangan, BPost
Kesulitan mengakses sekolah, anak-anak di pedalaman Desa Ulang Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan terpaksa belajar di balai-balai adat. Para guru mendatangi balai adat di saat mereka istirahat bekerja di ladang.

Dengan cara itulah, guru bisa mengumpulkan anak-anak petani. Warga masih tinggal di balai-balai yang menyebar di daerah pegunungan Kalangisan, yang berbatasan dengan Kabupaten Hulu Sungai Tengah.

Kepala Desa Ulang Arani mengatakan, bagi warganya lokasi terdekat sekolah hanya ada di daerah Ulang Pasar. "Di sana memang ada SD dan SMP satu atap," katanya Kamis (4/1), ditemui di Dusun Tataian, Desa Ulang.

Program paket yang selama ini juga dilaksanakan di Loksado belum sampai ke desa itu. Padahal, ratusan kepala keluarga tinggal di sana. Kalaupun ada pendidikan sampai ke sana, bukan dari pihak pemerintah,tapi atas swadaya masyarakat dengan tenaga pendidik pun dari warga Ulang sendiri.ary

Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Wednesday, January 10, 2007

Tiga Balai Adat Bermasalah

Kamis, 28 Desember 2006 00:29
Kandangan, BPost
Tiga balai adat yaitu Kumuh I, Kumuh II dan Durian Gangan, Desa Ulang Kecamatan Loksado HSS bermasalah. Balai itu secara geografis masuk wilayah HSS, namun ditempati sekitar 30-an kepala keluarga dari Kabupaten Hulu Sungai Tengah.

Status kependudukan warga di tiga balai adat di kaki pegunungan Meratus ini berasal dari Desa Kundan Kecamatan Hantakan HST. Hal ini dipermasalahkan para tetuha masyarakat ketiga balai yang mendatangi pembakal Desa Ulang belum lama tadi. Mereka meminta dimasukkan ke dalam wilayah HSS, sesuai batas alam.

Pembakal Ulang, Arani, ditemui BPost Selasa (27/12) mengakui telah menerima usulan ketiga tetuha adat, balai yang mereka tempati dimasukkan ke wilayah HSS, karena lebih dekat dengan Loksado, bukan Hantakan, di HST.

Menurut Arani, batas antara Kecamatan Hantakan, HST, tepatnya di Desa Kundan dengan Desa Ulang HSS adalah pegunungan Kalangisan yang memisahkan kedua wilayah. Anak sungai yang mengalir di daerah kaki gunung Malah adalah anak sungai Amandit.

Warga di ketiga balai ini, memiliki KTP HST, saat ada dibukanya jalan dan perumahan di Desa Kundan Kecamatan Hantakan tahun 1994. "Waktu itu mereka minta dimasukkan ke wilayah HST agar pembangunan jalan sampai ke Desa Kundan. Selain itu mereka juga ingin proyek perumahan. Pembakal (kades) Ulang terdahulu tak bisa mencegah karena ini keinginan mereka sendiri," jelas Arani lagi.

Kendati sempat diberi KTP HST, mereka justru tidak pernah ke Desa Kundan karena selain dihalangi gunung Kalangisan juga karena lebih dekat ke Desa Ulang.

Warga di ketiga balai ini juga menjual hasil bumi ke Pasar Desa Ulang. Untuk memecahkan persoalan ini. menurut Arani pihaknya meminta pernyataan berupa kesepakatan tertulis pihak balai, soal keseriusan mereka masuk menjadi bagian wilayah HSS. "Ini untuk mencegah mereka kembali menuntut masuk HST," tandas Arani.

Camat Loksado Eka Surya Agus mengatakan, untuk menyelesaikan masalah ini harus ada musyawarah terbuka dengan masyarakat di ketiga balai ini, selain koordinasi dengan pihak HST.ary

Copyright © 2003 Banjarmasin Post