Tuesday, December 16, 2008

Warga Peramasan Nyaris Bentrok Dipicu Aksi Camat Mentewe

Rabu, 17 Desember 2008
MARTAPURA,- Situasi di perbatasan Kabupaten Banjar dan Tanah Bumbu, khususnya Paramasan Bawah kembali memanas. Warga Paramasan Bawah yang masih merasa bagian dari kabupaten Banjar tersulut emosinya, melihat ulah Pemkab Tanbu yang dinilai telah menyalahi ketentuan yang ada.

Bahkan hampir terjadi baku hantam menggunakan senjata tajam antar warga. Untungnya pertumpahan darah dapat dihindari, karena masing-masing pihak masih dapat menahan diri.

Menurut Pambakal Paramasan Bawah Ibun, kejadian kembali memanas saat Camat Mantewe Tanbu Ardiansyah membagi sembako di Balai Ambaturin Rt 05 Paramasan Bawah, Sabtu (13/12) kemarin.

Pembagian ini dilangsungkan tanpa seijin aparat desa. Tak terima dengan hal itu, Arifin Kaur Umum Desa langsung mendatangi lokasi. Tak tahan dengan emosinya, Arifin langsung menjewer telinga sang camat.

Aparat Kecamatan Mantewe pun mencegah Arifin bertindak lebih jauh. Sempat terjadi adu mulut antar keduanya. Karena tak ingin ribut, Camat Mantewe dikabarkan menghentikan pembagian sembako.

Ketika ingin meninggalkan balai, sekitar 19 warga Paramasan Bawah telah bersiap-siap menghadang dengan parang masing-masing. Blokade juga dilakukan dengan lima buah sepeda motor dan satu unit mobil.

Namun warga lain yang mendukung camat berjumlah lebih besar sekitar 30 orang, juga dengan parang yang siap dihunuskan. Mereka adalah warga Paramasan yang berhasil ditarik Pemkab Tanbu, ditambah warga luar.

“Untuk menghindari pertumpahan darah antar sesama warga, saya perintahkan agar blokade dibuka. Sepeda motor yang menghalangi mobil camat pun dipinggirkan,” tutur Ibun saat melapor ke Bupati Banjar Khairul Saleh Selasa (16/12) siang.

Bersama keempat rekannya yang lain, Ibun berencana akan melaporkan hal ini ke Polres maupun Polda Kalsel.

Suwardi, salah seorang tokoh pemuda di Paramasan, mengaku pihaknya merasa sangat terjepit dengan kondisi yang ada. Karena menurutnya Pemkab Tanbu, terus berupaya menarik hati warga Paramasan dengan bantuan-bantuan yang diberikan.

“Pemkab Tanbu datang seolah pahlawan. Menawarkan bantuan ini dan itu. Membuatkan KTP warga dan lain-lainnya. Padahal bukan di wilayah pemerintahannya,” ujarnya.

Dengan nada tinggi, Suwardi yang pernah memimpin aksi ke Pemprov Kalsel dan Polda ini mengingatkan, Jika tidak segera ditangani oleh Pemprov Kalsel, dikhawatirkan konflik horizontal antar warga tak dapat dihindari.

“Yang bisa menyelesaikan hal ini hanya pemerintah provinsi. Jika Pemprov tak segera bertindak, jangan salahkan jika warga bertindak sendiri,” tandasnya.

Sementara Bupati Banjar Khairul Saleh tetap meminta warganya agar tenang. Sebagai Negara Hukum, lanjutnya, semua mesti tetap mematuhi peraturan yang ada. Meski demikian, ia tetap menilai Pemkab Tanbu telah melanggar kewenangannya, sehingga harus diproses secara hukum. “Bila terlihat tindakan pidana, laporkan saja ke polisi,” sarannya. (yut)

Monday, December 15, 2008

Wabup: Harus Ada yang Bertanggung Jawab

Senin, 15 Desember 2008
BATULICIN - Insiden yang menimpa Camat Mantewe Ardiansyah yang dilakukan oknum warga Desa Bancing Kecamatan Paramasan Kabupaten Banjar mendapat reaksi keras dari Wakil Bupati Tanbu H Abdul Hakim G. Menurutnya, insiden tersebut jelas melanggar hukum.

“Pemkab Tanbu hanya ingin memberikan pelayanan kepada warga Tanah Bumbu. Apa itu salah. Siapa saja berhak mendapat pelayanan. Tapi kalau terjadi insiden seperti itu tentunya harus ada yang bertanggung jawab,” katanya, kemarin.

Menurutnya, semua pihak harus legowo (menerima) dengan keputusan MA yang membatalkan SK Gubernur Kalsel Nomor 3 tahun 2006 dan diperkuat dengan putusan MK yang tidak menerima gugatan uji materil Bupati Banjar.

“Persoalan tapal batas antara Kabupaten Tanbu dan Banjar sudah final dengan adanya putusan MA dan diperkuat dengan putusan MK. Jika dalam 3 bulan Gubernur tidak mencabut SK tersebut, maka batal demi hukum. Itu artinya wilayah Desa Persiapan Gunung Hatalau Meratus Raya Kecamatan Mantewe masuk wilayah Kabupaten Tanbu. Jadi kalau Pemkab Tanbu ingin memberikan pelayanan, tentu tidak ada yang salah,” tegasnya.

Persoalan perbatasan muncuat karena adanya SK No 3 tahun 2006 yang diterbitkan Gubernur Kalsel H Rudy Ariffin. Padahal, SK tersebut jelas bertentangan dengan kesepakatan No 15 A tentang Trayek Batas Antara Kabupaten Tanah Bumbu dengan Kabupaten Banjar. Kesepakatan itu dibuat atas dasar 5 produk hukum.

Yakni Perda Provinsi Nomor 9 tahun 2001 tentang Tata Ruang Wilayah, Perda Kabupaten Banjar. Kemudian Perda Kabupaten Kotabaru sebagai dasar yang digunakan oleh Kabupaten Tanbu. Selanjutnya, UU Pembentukan Daerah Tingkat I Kalsel dan UU No 2 tentang Pembentukan Kabupaten Balangan dan Tanah Bumbu. (kry)

Warga Desa Bancing Anarkis Rombongan Pembawa Bantuan Diusir Paksa

Senin, 15 Desember 2008
BATULICIN - Rencana Pemkab Tanbu memberikan bantuan bahan makanan kepada warga Dusun Danau Huling Desa Persiapan Gunung Hatalau Meratus Raya, Sabtu (13/12), pekan tadi, menuai protes warga Desa Bancing Kecamatan Paramasan Kabupaten Banjar.

Rombongan Pemkab Tanbu diusir paksa karena mereka mengklaim Dusun Danau Huling masuk wilayah Kabupaten Banjar. Camat Mantewe Ardiansyah sempat dijambak rambutnya oleh salah satu warga Desa Bancing bernama Ipin.

Untuk mencari aman, Camat langsung dilarikan menuju kediaman salah satu warga Desa Persiapan Gunung Hatalau Meratus Raya yang berjarak 5 km dari lokasi tersebut. Namun, dipersimpangan jalan, mobil mereka (termasuk mobil yang ditumpangi wartawan) dicegat oleh sejumlah warga Desa Bancing. Jalan sengaja ditutup.

Awalnya, salah satu warga menanyakan maksud kunjungan rombongan Pemkab Tanbu. Setelah mendapat penjelasan dari salah satu wartawan elektronik yang juga ikut meliput, lelaki yang diketahui bernama Ibun itu langsung meminta rombongan balik kanan.

“Jangan pernah datang lagi untuk memberikan bantuan kalau surat dari Mendagri belum keluar,” ancamnya.

Mendapat ancaman seperti itu, rombongan kami mencari aman. Setibanya di salah satu rumah warga, Asisten I Bidang Pemerintahan Drs H Akhmad Sumardi yang datang terlambat langsung menyerahkan bantuan bahan makanan kepada warga yang diwakili oleh Kepala Desa Persiapan Gunung Hatalau Meratus Raya Amat Supiyadi.

Sebelumnya saat bertatap muka langsung dengan warga, Sumardi yang mewakili Bupati Tanbu H M Zairullah Azhar, mengimbau kepada warga agar jangan mudah terprovokasi oleh tindakan-tindakan yang melanggar hukum.

“Persoalan di perbatasan jangan sampai dibesar-besarkan. Seperti insiden tadi, kita lebih baik mengalah. Jangan sampai diambil hati,” pesannya kepada warga.

Sementara itu, terkait dengan bantuan tersebut, menurut Sumardi, itu merupakan suatu bentuk tanggung jawab moral Pemkab Tanbu terhadap warga perbatasan. Dan pelayanan tersebut akan terus dilakukan. “Pelayanan kepada masyarakat tidak boleh berhenti,” katanya. (kry)

Monday, November 03, 2008

Warga Dayak Halong Gelar Aruh Baharin

Selasa, 07 Oktober 2008 11:09 redaksi

PARINGIN - Masyarakat Desa Kapul, Kecamatan Halong menyelenggarakan Aruh Baharin sejak Kamis (2/10). Upacara adat ini digelar sebagai ungkapan rasa syukur atas panen dan hasil usaha selama beberapa tahun terakhir. Sesuai rencana, Aruh Baharin diadakan selama tujuh hari tujuh malam, hingga Kamis (8/10).

Kurnaeni, pembakal Desa Kapul menjelaskan, Aruh Baharin sebenarnya merupakan tradisi penganut Kaharingan. Namun dalam perkembangannya, warga yang memeluk agama apapun juga turut terlibat dalam ritual ini.

"Di Kapul ini ada Budha, Kristen, Hindu dan Islam. Hampir semuanya ikut gotong-royong mempersiapkan upacara ini. Tak ada bayaran untuk mereka," terang Kurnaeni.

Aruh Baharin diadakan oleh kelompok-kelompok masyarakat adat. Di Desa Kapul, terdapat 3 (tiga) kelompok penyelenggara Aruh, yakni Kelompok Pak Ayi, Kelompok Pak Cana dan Kelompok Balai.

Masing-masing kelompok beranggotakan antara 25 hingga 30 kepala keluarga. Dana yang dibutuhkan untuk mengadakan Aruh Baharin ditanggung oleh setiap anggota kelompok, sesuai kemampuan dan hasil usaha yang diperoleh.

Aruh Baharin kali ini, kata Kurnaeni, diadakan oleh Kelompok Pak Ayi, yang memiliki 26 anggota. Dana yang dikeluarkan tidak kurang dari Rp.125 juta. Sebagian besar biaya terpakai untuk menyediakan hadangan (hewan kurban) yang berupa lima kerbau, 11 kambing dan dua kuintal ayam.

Khusus untuk hadangan kerbau, penyelenggara mendatangkannya dari Kotabaru dan Pelaihari, Tanah Laut. Harga tiap kerbau mencapai Rp.15 juta.

Secara keseluruhan, urut-urutan acara dalam Aruh Baharin yakni pengambilan dan pembuatan perlengkapan upacara dari janur kelapa (bedadaunan), pemasangan ornamen dan perlengkapan upacara (iwewe), pelaksanaan acara puncak dan pemotongan binatang hadangan, lalu diakhiri dengan pengantaran sesaji ke ladang yang merupakan sumber mata pencaharian utama warga Dayak Halong di Desa Kapul.

Tradisi

Selain acara-acara "resmi" itu, ada pula kegiatan yang sebenarnya dilarang oleh hukum, namun tetap dilakukan selama Aruh Baharin karena telah dianggap sebagai "tradisi", yaitu berjudi. Bentuk judi yang paling sering terlihat di luar Balai Adat pada saat pelaksanaan Aruh Baharin adalah sabung ayam dan judi dadu.

Rusliansyah, tokoh adat Desa Kapul menuturkan, selama ini teguran aparat kepolisian terkait perjudian tersebut hanya dianggap angin lalu. "Waktu di Halong ini belum ada kantor polisi, judi seperti ini sudah ada jauh hari sebelumnya. Jadi, judi di sini tidak bisa disamakan dengan judi di kota-kota. Ini tradisi," katanya.

Namun Rusliansyah mengakui, diantara masyarakat Dayak sendiri sudah lama timbul pro dan kontra mengenai "tradisi" adu nasib itu. "Karena sebagian beranggapan, secara tidak langsung judi mendorong tindakan kriminal, seperti perampokan dan perkelahian," imbuh dia.

{[Acara Puncak]}

Acara puncak Aruh Baharin dilaksanakan pada Minggu (5/10). Dalam acara puncak itu, beberapa prosesi yang dilakukan antara lain, mencuci beras ketan di Sungai Balangan oleh tamu undangan wanita, tari-tarian, bakapur dan bamamang yang dilakukan oleh para balian (ahli pengobatan tradisional Dayak Halong) serta penyembelihan binatang hadangan.

"Pada malam harinya, makan bersama yang diikuti oleh seluruh tamu undangan," ujar Kurnaeni. Dia memperkirakan, jumlah tamu undangan yang hadir pada malam tersebut sebanyak dua ribuan orang.

Aruh Baharin yang diadakan Kelompok Pak Ayik tak hanya diikuti oleh warga Kapul dan beberapa desa sekitar di Kecamatan Halong. Sejumlah petinggi adat dari luar daerah terlihat hadir, antara lain dari Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.

"Kami juga punya acara adat seperti ini, yang bernama Bontang dan Marabia. Itu sama dengan Aruh ini," ucap S. Larai, Demang Adat Dayak dari Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah.

Kepala Polres Balangan AKBP Ebet Gunandar beserta Kepala Polsek Halong AKP Jatmiko, mendadak hadir di lokasi acara pada Minggu sore. Mereka berdialog dengan warga, kemudian menyaksikan proses penyembelihan binatang hadangan yang dilakukan di halaman Balai Adat.

Warga juga memberikan cindera mata berupa parang kepada Kapolres, yang diserahkan oleh seorang gadis Dayak Halong yang baru saja diterima menjadi Polisi Wanita, Bripda Lena. "Sampai sekarang, baru Lena wanita Dayak di sini yang jadi Polwan," sela Kurnaeni, yang memandu penyerahan cindera mata tersebut.

Thursday, September 25, 2008

Bupati Banjar Lapor ke Kapolda Terkait Tindakan Hukum Aparat Polres Tanbu

Jumat, 26 September 2008
Martapura,- Kegelisahan warga Kabupaten Banjar di Dusun Dadap, Dusun Temunih Belimbing Lama Kecamatan Sungai Pinang mendapat perhatian serius Pemkab Banjar. Lebih dari itu, laporan tertulis warga setempat kepada Bupati Banjar Khairul Shaleh dan Surat Kapolres Tanah Bumbu Agustus lalu, dijadikan dasar Pemkab Banjar untuk melaporkannya kepada Kapolda Kalsel.

Dalam surat bernomor 100/00/54 /Tapem dan berkepala surat Bupati Banjar tersebut Khairul Shaleh melaporkan jika Polres Tanah Bumbu telah melakukan pelanggaran batas daerah Kabupaten Banjar. Yaitu telah melakukan kegiatan-kegiatan dalam wilayah hukum dan administrasi Kabupaten Banjar di Dusun Dadap dan Dusun Temunih Desa Belimbing Lama.

“Jenis-jenis kegiatan tersebut adalah menempatkan personil di daerah itu. Kemudian anggota mereka (Polres Tanbu) telah melakukan penangkapan, penyitaan, pemukulan warga dengan tempat kejadian perkara di Dusun Dadap. Ditambah lagi Kapolres Tanbu teah melakukan pemanggilan H Makmur Pembakal setempat sebagai saksi,” jelas Kabag Tapem Ali Hanapiah seraya memerlihatkan surat yang ditembuskan ke Mendagri, Kapolri, Gubernur Kalsel, Ketua DPRD Kalsel, Ketua DPRD Banjar dan Kapolres Banjar tersebut.

Selain membeberkan hal tersebut, Ali juga mengatakan dalam surat tersebut Bupati Banjar kembali mengingatkan jika tempat kejadian perkara berlokasi di Dusun Dadap dan Dusun Temunih. Dimana berdasarkan fakta bahwa daerah tersebut adanya nyata termasuk dalam daerah Kabupaten Banjar. Ketegasan itu sebagaimana hasil penegasan batas daerah Kabupaten Banjar dan Tanah Bumbu yang difasilitasi Pemprov Kalsel.

“Itu kemudian didukung dengan fakta hukum. Diantaranya pelayanan publik Dusun Dadap dan Dusun Temunih sejak dulu sampai sekarang dilaksanakan oleh Pemkab Banjar,” katanya.

Pelayanan publik tersebut diantaranya meliputi bidang pendidikan. Bukti konkritnya di sana telah dibangun gedung SDN dan proses belajar mengajar juga sudah berlangsung sejak lama.

Lebih konkritnya lagi, sejak Tahun 1971 jauh sebelum Kabupaten Tanah Bumbu terbentuk sampai Pilkada 2004 warga Dusun Dadap terdaftar sebagai pemilih di Kabupaten Banjar. Demikian juga dengan pembinaan Kamtibmas. Sejak dulu hingga sekarang dilakukan oleh Polres Banjar dan Polsek Sungai Pinang baik yang bersifat pembinaan maupun penegakan hukum.

“Dalam surat tersebut, kami pada akhirnya memohon agar Kapolda Kalsel dapat menghentikan kegiatan Polres Tanah Bumbu dalam daerah Kabupaten Banjar. Permohonan itu lengkap dengan pertimbanganpertimbangan,” katanya.

Pertimbangan tersebut aadalah, jika sampai saat ini keputusan Mendagri belum ada. Nah untuk itu kedua kepala daerah sudah bersekapat, sambil menunggu keputusan itu kedua daerah untuk cooling down. (yan)

Monday, September 08, 2008

Dusun Dadap Memanas

Selasa, 9 September 2008

Martapura – Tokoh masyarakat Desa Belimbing Lama Kecamatan Sungai Pinang Kabupaten Banjar, memprotes keras ulah anggota Polsek Tanah Bumbu (Tanbu) yang melakukan tindakan hukum di wilayah Belimbing Lama. Protes para tokoh masyarakat setempat disampaikan kepada Kapolsek Sungai Pinang melalui sebuah surat yang ditandatangi tokoh masyarakat Adat Dayak Sei Dadap Saladeri dan Pembakal Belimbing Lama. Dalam surat protes tersebut, Saladeri melaporkan jika ada tindakan dari anggota polisi Tanbu yang menghentikan kegiatan warga dalam mengolah lahan pertanian.

“Bukan hanya menghentikan saja, polisi juga mengambil dua unit kendaraan milik warga yang sedang mancing. Kebetulan kendaraan itu diletakkan di dekat kawasan perladangan. Selain kendaraan, bahan-bahan bangunan untuk rehab majid, langgar dan madrasah juga diangkut,” tulis Saladeri.

Lebih lanjut, Saladeri juga melaporkan tindakan Polisi Tanbu juga sudah jauh masuk ke wilayah Kabupaten Banjar di Dusun Dadap. Peralatan pertanian, chaishaw untuk memperbaiki jembatan juga dirampas.

“Yang paling menyakitkan, warga menjadi terpecah belah. Karena ada warga yang mengadakan kegiatan penebasan di lokasi Sungai Dadap. Dalam aksinya tersebut, tanah kebun milik warga Dayak Sungai Dadap dirampas dan dirusak. Dalam melakukan pengrusakan tersebut, ada yang membayar warga sebanyak 105 orang dengan upah Rp50 rbu per hari,” ujarnya dalam surat yang ditembuskan ke Bupati Banjar.

Masih dalam surat tersebut, diungkapkan juga jika dana yang digunakan untuk melakukan pembabatan tersebut diduga berasal dari salah satu Camat di Kabupaten Tanbu. Dengan banyaknya aktivitas yang membuat masyarakat setempat semakin terdesak, para tokoh masyarakat setempat memohon kepada Kapolsek Sungai Pinang untuk segera menindaklanjuti kejadian-kejadian tersebut.

Pada alenia terakhir, kedua tokoh penting ini mengingatkan jika persoalan tersebut tidak sesegera mungkin diselesaikan, dikhawatirkan amarah warga yang selama ini memilih diam tidak akan terbendung lagi. Salah satu caranya adalah mengundang masyarakat Dayak Peramasan untuk membantu mengusir aparat dari Pemkab Tanbu yang ditempatkan di Sungai Dadap. (yan)

Ali: Surat Kapolda Telah Diabaikan

Sementara itu, Pemkab Banjar melalui Kabag Pembangunan Sekretariat Pemkab Banjar Ali Hanafiah, menuding apapun tindakan yang dilakukan Pemkab Tanbu di wilayah Kabupaten Banjar jelas sangat keliru.

“Dusun Dadap adalah bagian dari Desa Belimbing Lama Kabupaten Banjar. Jadi jika apa yang dilaporkan warga itu benar, Pemkab Tanbu sudah melakukan tindakan yang sangat keliru,” tuding Ali.

Lebih tajam lagi, Ali kembali menuding jika Pemkab Tanah Bumbu telah melecehkan Kapolda Kalsel. Yakni dengan melakukan aktivitas yang meresahkan, di kawasan yang ditunjuk Kapolda Kalsel melalui Surat No B/648/IV/2007 tanggal 20 April 2007. Dimana disebutkan Dusun Dadap merupakan kawasan dengan status quo. Di kawasan tersebut baik Pemkab Banjar maupun Pemkab Tanbu dilarang melakukan aktivitas yang bisa memperkeruh keadaan.

“Apapun dalihnya jelas tindakan hukum yang dilakukan polisi Tanah Bumbu di wilayah Kabupaten Banjar tidak bisa dibenarkan. Sekalipun tindakan hukum tersebut karena aktivitas masyarakat di dalam kawasan hutan lindung di sana,” katanya.

Bupati Banjar tegas Ali, tidak akan menghalang-halangi warganya untuk diproses secara hukum jika melakukan aktivitas terlarang d dalam kawasan hutan lindung. Namun yang harus melakukan tindakan hukum terhadap warga Kabupaten Banjar tentu saja aparat kepolisian yang bertugas di jajaran Polres Banjar.

Di bagian lain, Ali mengatakan persoalan klaim Pemkab Tanah Bumbu terhadap wilayah Kabupaten Banjar di Desa Belimbing dan Peramasan Atas belum ada keputusan. Bahkan dalam waktu dekat ini persoalan tersebut akan kembali dibicarakan antara kedua bupati.

“Apa yang terjadi di daerah Dusun Dadap itu sudah sangat keterlaluan. Masyarakat setempat menjadi teradudomba. Padahal, sejak dulu kawasan itu sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari Kabupaten Banjar,” katanya.

Salah satu bukti konkritnya menurut dia, sejak Pemilu 1971 lalu masyarakat di sana ikut proses pemilihan umum dengan Kabupaten Banjar.

“Terakhir Pilkada Bupati Banjar yang memenangkan GH Khairul Shaleh menjadi Bupati Banjar, masyarakat di sana seluruhnya terlibat dalam pemberian suara. Semuanya hidup dengan tenang. Namun karena klaim membabibuta dari Pemkab Tanbu, kini masyarakat hidup dalam keresahan,” katanya. (yan)


  [ Kembali ]  [ Atas ]

Pencarian Berita
AllAny
Kategori
Semua Kategori Utama RadarKota Metropolis Banjarbaru Martapura Olahraga Ekonomi Opini Redaksi Esai Tapin Batola TanahLaut Tabalong Kotabaru Nanang Klelepon Tanah Bumbu Amuntai Guru Favorit Kesehatan radar peduli Budaya/Sastra

Berita yang Lain


Sehatkan Masyarakat dengan Olahraga


DPRD Provinsi Inspeksi KPN BMM


Puasa, Warga Minta Toleransi


Saluran Irigasi Terlantar


BUMDes Banjar yang Mulai Menggeliat


Truk Batubara tetap Melintas


Tetangga Jembatan Bongkar Bangunan


Tiga Tahun Kepemimpinan Khairul Saleh

Friday, August 22, 2008

Desa Tamunih Dapat Prioritas

Jumat, 22 Agustus 2008
BATULICIN - Desa Tamunih, Kecamatan Kusan Hulu, yang berada di wilayah perbatasan antara Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Banjar ini memang jauh dari ibukota Kabupaten. Awalnya penduduk desa ini hanya dihuni tiga kepala keluarga (KK) dan mereka berpencar-pencar. Desa tersebut boleh dibilang terisolir. Arus informasi dan komunikasi buntu. Jangankan televisi, penerangan listrik saat itupun, tidak ada.

Sejak lima tahun lalu, desa ini mengalami perubahan. Dimana ketika Tanah Bumbu resmi menjadi kabupaten pemekaran dari Kabupaten Kotabaru, Pemkab Tanbu menjadikan Desa Tamunih sebagai desa prioritas untuk mendapatkan pelayanan dan pembinaan, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan dan sosial kemasyarakatan lainnya.

Dan hasilnya tentu menakjubkan. Pasalnya, desa ini mulai mengalami kemajuan yang cukup pesat. Baik dari pertambahan jumlah penduduknya maupun tersedianya fasilitas pelayanan yang memadai. Salah satunya, telah tersedia Puskesmas Pembantu (Pustu). Meski baru bisa direalisasikan pembangunannya beberapa bulan lalu, namun dengan tersedianya Pustu ini, maka warga setempat sudah mulai mendapat pelayanan kesehatan yang mamadai.

Puskesmas Pembantu ini, juga dilengkapi dengan peralatan medis, serta didukung oleh dua orang tenaga medis yang akan melayani masyarakat setempat.

“Alhamdulillah, kami sudah memiliki Pustu, sehingga kalau ada warga yang sakit, mereka sudah bisa mendapat pelayanan kesehatan dengan mudah dan dekat,” kata Dayat, warga desa setempat.

Dikatakanya, dulu apabila ada warga setempat yang sakit dan ingin berobat, mereka terpaksa menggunakan pengobatan alternatif berupa ramuan-ramuan melalui tenaga dukun atau tabib. Begitu juga jika ada yang ingin melahirkan, mereka hanya dibantu oleh bidan kampung.

Selain ketersediaan Puskesmas Pembantu, jumlah penduduk juga mulai bertambah. Dan setelah direlokasi tinggalnyapun sudah terkumpul dalam satu kompleks, sehingga mereka tidak lagi saling berjauhan.

Begitu juga penerangan listrik. Jika sebelumnya Desa Tamunih hanya ada lampu tembok yang berbahan bakar minyak tanah (mitan). Maka desa ini kini sudah tersedia listrik. Meski listrik tersebut masih swadaya warga dengan menggunakan mesin diesel.

Akses jalan menuju ibukota Batulicin yang bebrjarak 78 kilometer juga mulai bagus. Meski belum ditutup aspal. Tetapi kendaraan roda empat mulai bisa menembus desa yang paling jauh dari ibukota Batulicin ini.

Tak terkecuali pembangunan fasilitas pendidikan. Di Desa Tamunih ini, juga tersedia bangunan sekolah dasar (SD). Sehingga anak-anak setempat bisa mendapatakan pendidikan yang layak.

“Sekolah yang tersedia baru SDN, Pemkab Tanbu belum membangun SMPN atau sederajat sebab jumlah penduduk belum memenuhi syarat,” katanya. (kry)

Thursday, August 14, 2008

Kongres Masyarakat Adat Se-Kalsel, "Lindungi Hak Ulayat Kami"

Kamis, 14-08-2008 | 00:30:32

BARABAI, BPOST - Permasalahan terhadap hak pemilikan atas tanah dalam masyarakat adat di Indonesia telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Pada zaman itu sistem hukum pertanahan yang dijalankan pemerintah berorientasi pada sistem hukum Belanda dan Eropa.

Hukum tersebut mengabaikan keberadaan hukum adat termasuk hak kepemilikan tanah adat (ulayat). Atas dasar itu pula klaim adat atas sebuah kawasan hutan kadang berbenturan dengan status hutan yang diterapkan pemerintah.

Masyarakat adat memandang hutan sebagai lumbung kehidupan dalam mencari dan menjaga keseimbangan alam. Karena itu mereka menganggap pemerintah daerah tidak mengakomodasi kepentingan adat mereka.

Hal tersebut dibahas dalam kongres Persatuan Masyarakat Adat (Permada) se Kalimantan Selatan yang digelar di Desa Atiran Kecamatan Batang Alai Timur (BAT), Senin (11/8).

Ketua Permada Kalsel Jonson Masri mengatakan dalam kongres ini mereka akan merumuskan mengenai hak ulayat, agar pemerintah mengakuinya sebagai bagian dari kelangsungan hidup mereka yang tinggal di kawasan pegunungan Meratus.

"Banyak contoh hak adat tidak dipedulikan pemerintah. Seperti pemanfaatan sarang walet, batu bara dan sawit," sebutnya. Dalam kasus tersebut, kata Jonson, pemerintah dengan mudah memberikan izin pembukaan lahan kepada investor untuk memanfaatkan hutan yang di dalamnya terdapat tanah hak ulayat.

"Kami kadang menjadi penonton saat tanah kami dieksploitasi. Dalam kongres ini kami ingin rekomendasi hasil kesepakatan masyarakat adat diperhatikan pemerintah," katanya.

Sementara Gubernur Kalsel, Rudy Ariffin yang kemarin membuka kongres di Desa Atiran berjanji akan lebih memperhatikan keberadaan masyarakat adat."Masyarakat adat bagian dari rakyat yang harus mendapat perhatian dari pemerintah. Saya berharap hasil kongres ini bisa membuat program kerja yang realitis yang bisa disampaikan kepada pemerintah," katanya. (arl)

Wednesday, August 13, 2008

Masyarakat Adat Rambah Dunia Politik

13 August, 2008 08:04:00

BARABAI - Masyarakat adat sudah lebih dulu ada. Mereka hidup dalam tatanan yang rapi, damai dan sejahtera dengan nilai-nilai kultural dan ritual masing-masing.

Pasca kemeredekaan RI masyarakat adat menghendaki agar negara menghormati, mengakui dan melindungi hak-hak mereka termasuk hak tradisional yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 18 tentang sikap negara terhadap masyarakat adat.

Selain UUD, pengakuan terhadap masyarakat adat juga terkoordinir dalam struktur organisasi Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) yang merupakan lembaga dunia. Dimana PBB berupaya mengakomodir hak-hak dan semua pemenuhan kebutuhan serta kepentingan masyarakat adat.

Bahkan semua itu telah pula dideklarasikan PBB pada 9 Agustus yang ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Masyarakat Adat sedunia.

Hal itu terungkap dalam sambutan Kamardi utusan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang berkantor pusat di Jakarta pada Kongres Persatuan Masyarakat Adat (Permada) Kalsel di Balai Atiran, Desa Atiran Kecamatan Batang Alai Timur HST.

"Sampai saat ini AMAN beranggotakan 1.280 komunitas masyarakat adat seluruh Indonesia, dengan total 60-65 juta jiwa. Ini sungguh signifikan bila masyarakat adat terlibat dan memberi warna dalam dunia perpolitikan," ujarnya.

Pada Kongres III AMAN di Kalimantan Barat 2007 lalu seluruh masyarakat adat didorong untuk ikut dalam ranah politik melalui bidang Direktorat Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat.

Hingga saat ini sudah 15 kantor cabang AMAN yang masuk keranah politik. Tujuh diantaranya masuk dalam daftar calon bupati dan wakil bupati dan 2 diantaranya masuk dalam daftar calon gubernur.

Menilik Budaya Warga Lereng Pengunungan Meratus

06 August, 2008 08:45:00

RANTAU-Kabupaten Tapin memiliki banyak budaya yang sangat menarik untuk diteliti, atau bahkan mungkin dijual untuk sebuah wisata petualangan, salah satunya tentang kehidupan masyarakat yang menghuni di lereng pengunungan meratus.

Menurut Kabid Seni Budaya Ibnu Mas'ud SIP, budaya yang terdapat pada suatu daerah sebenarnya adalah gambaran jati diri suatu komunitas, bahkan suatu bangsa yang didalamnya terdapat tatanan aturan yang menyatu dengan pola kehidupan masyarakat pendukungnya, aturan tersebut meliputi kultur, politik, sosial bahkan pendidikan bagi generasi mereka.

Masyarakat lereng pengunungan meratus yang selama ini di kenal sebagai masyarakat yang teresolir, umumnya dianggap sebagai masyarakat yang primitif, tetapi kenyataan dari semua itu sangatlah bertolak belakang dari yang mereka perkirakan, ucapnya. Keterbelakangan mereka justru disebabkan oleh akses jalan sulit hingga hubungan dengan dunia luarpun jadi terhalangi, walaupun demikian mereka tetap menjalani hidupnya dan keinginan yang kuat, untuk hidup yang lebih layak seperti masyarakat di dataran yang sudah mempunyai fasilitas umum seperti jalan yang memadai, kata Ibnu Mas'ud.

Menjaga hubungan baik satu sama lainnya, tetap mereka perhatikan dan merupakan ciri budaya mereka dengan pola kebersamaannya yang sangat kental, seperti halnya gontong royong. Hal ini terlihat jelas disaat mereka melaksanakan upacara aruh di balai-balai adat yang ada disetiap desa,lereng pegunungan meratus.

Kecamatan Piani adalah satu Kecamatan yang terdapat di Kabupaten Tapin, mempunyai jarak tempuh sekitar 16 KM dari Kota Rantau, merupakan kecamatan yang terletak di kaki lereng Meratus, Kecamatan ini terdapat delapan buah balai adat.

Misalnya, Balai Adat Batung, Balai Adat Danau Darah, Balai Adat Bagandah, Balai Adat Ranai Baru (Lahung Kipung), Balai Adat Balawaian hilir, Balai Adat Harakit 1 dan Harakit 2.

Kemudian Balai Adat Mancabung (Pipitak Jaya). Uniknya dari tatanan delapan buah adat diatur oleh Kepala adat. Sedangkan untuk tatanan hukum di masyarakat diatur oleh penghulu adat. Pada dasarnya, apapun yang diatur oleh Kepala adat, apabila dilanggar oleh masyarakat maka akan memberikan hukuman/sanksi oleh Penghulu adat, jelas Ibnu Mas,ud.rul/mb03

Wednesday, July 16, 2008

Kebakaran di Kampung Dayak

Selasa, 20-05-2008 | 00:52:04

TANJUNG, BPOST - Warga kampung Dayak Manyan di Desa Warukin tepatnya RT 03 Bajut, Kecamatan Tanta, Kabupaten Tabalong, Minggu (18/5) Pukul 21.30 Wita geger. Mereka dikejutkan teriakan salah satu warga, Paulina Lirim yang menjerit karena rumahnya terbakar.

Sontak warga malam itu berhamburan keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata api sudah melalap bagian belakang rumah nenek berusia 65 tahun itu.

“Saya kaget waktu mendengar teriakan saat mau makan malam. Saya langsung keluar dan melihat api mulai membesar. Pertamanya di bagian dapur saja,” kata Deny Djohn, warga yang rumahnya persis di seberang rumah terbakar.

Ketua BKPM Desa Warukin itu mengatakan, upaya warga memadamkan api tidak berhasil bahkan api makin membesar saat menyambar peralatan memasak di dapur. Sambil menunggu kedatangan pemadam, mereka memilih membantu menyelamatkan harta benda warga yang rumahnya berada dekat dengan sumber api.

Tiga buah rumah terbakar, saat kejadian itu. Kerugian ditaksir mencapai ratusan juta rupiah. Selain rumah Paulina, api menghanguskan rumah menantunya Matias alias Inung yang terletak di belakang dan rumah tetangganya Aris Rentak yang terletak di sisi kanan.

Kini para korban tinggal seadanya seperti di pelataran rumah yang terbakar, sebagian menumpang di rumah sanak saudara yang dekat. Kebakaran itu adalah terbesar yang pernah terjadi di desa tersebut. Tahun lalu, di desa itu juga ada sebuah gereja terbakar dengan kerugian puluhan juta.

Kepala UPT BPK Tabalong, Sukono, mengatakan, tindakan pengamanan dilakukan dengan menurunkan dua unit BPK milik Pemkab Tabalong, satu uni BPK Kecamatan Tanta, Kreamsakt, Ujung Murung dan dari daerah tetangga Balangan, Lampihong serta dari perusahaan seperti PT SIS dan PAMA.

Paginya, Bupati Tabalong Rachman Ramsyi dan Kapolres AKPB Taufik Supriyadi langsung meninjau lokasi. Saat itu Rachman memberikan bantuan sembako untuk korban kebakaran. (nda)

Tuesday, June 17, 2008

Ritual Perceraian Warga Dayak Warukin (2-Habis) : Penggugat Harus Serahkan Hantaran

Minggu, 30-03-2008 | 00:35:05

SEBELUM prosesi perceraian, biasanya si penggugat menyerahkan hantaran sebagai syarat membuka musyawarah berupa beras dan seekor ayam jantan yang telah disembelih. Itu sebagai simbol permintaan diuruskan hajat gugatan cerai.

Kemarin, Sari lah yang menyerahkan hantaran itu ke Ketua Lembaga Adat Rumbun. Ia yang berinisiatif menggugat cerai secara adat.

Menurut Rumbun, bila dalam musyawarah pertama kedua pasangan memilih rujuk, maka mereka harus menyerahkan hantaran tahap kedua berupa beras dan ayam hidup sebagai pertanda diberikan lagi kesempatan membina rumah tangga. Selain itu akan dibuatkan surat perjanjian bermaterai di antara pasangan agar jadi pegangan jika suatu hari bermasalah lagi.

Namun bila dipilih bercerai maka dibahas ketentuan hak dan kewajiban masing-masing.

"Tahap ini merupakan tahap pertama. Bisa saja terjadi rujuk. Bila tidak bisa juga maka akan diperhitungkan dan ditetapkan soal pembagian harta, hak asuh anak dan lain-lain. Tapi harus jelas alasan bercerai," kata Rumbun.

Bila sidang adat memutuskan pasangan resmi bercerai, maka akan diterbitkan surat bermaterai yang jadi rekomendasi pengurusan berkas perceraian di catatan sipil. Namun meskipun berkas resmi yang diakui pemerintah belum terbit, kedua pasangan sudah dianggap cerai oleh masyarakat.

Dalam sidang kemarin, pasangan Sari dan Ardi masih diberikan waktu untuk melakukan instrospeksi diri dan perenungan. Sidang lanjutan akan diagendakan lagi untuk mengambil keputusan. Bila tetap ngotot bercerai, maka keduanya diminta membuat kesepakatan tentang harta gono gini dan hak asuh anak. (nda)

Siswa Dayak Minta SMA

Selasa, 10-06-2008 | 00:41:10

BARABAI, BPOST - Puluhan siswa yang berasal dari sejumlah desa terpencil di Kecamatan Batang Alai Timur, Hulu Sungai Tengah (HST), belum lama ini berkumpul di Balai Adat Batu Kembar, Desa Hinas Kiri. Mereka menggelar dialog seputar permasalahan sekolah dan nasib siswa terpencil agar tetap bisa bersekolah.

Sebagai generasi suku Dayak yang tidak ingin melihat komunitasnya dianggap terbelakang, mereka bertekad untuk tetap bersekolah hingga jenjang pendidikan atas dan kalau memungkinkan hingga perguruan tinggi.

Beberapa permintaan mereka adalah dibangunkan asrama di Desa Hinas Kiri, dibangunkan sekolah setingkat SMA di desa yang sama dan minta beasiswa bagi para siswa pedalaman yang selama menempuh pendidikan terpisah jauh dari orangtua.

Alasan yang mendasari mereka memilih Desa Hinas Kiri sebagai lokasi penempatan sekolah dan asrama, mengingat akses terdekat untuk mereka bisa melanjutkan pendidikan adalah desa tersebut. Terlebih lagi, di sana telah berdiri SD/SMP satu atap yang berarti untuk wajib belajar sembilan tahun sudah memungkinkan.

“Kita berharap ada SMA di desa ini agar tidak terlalu jauh melanjutkan sekolah setelah lulus SD/SMP. Selain itu, di sini masih memungkinkan untuk bekerja sambil sekolah,” tutur Sahdi, salah seorang siswa SMP satu atap.

Pilihan bekerja sambil sekolah bagi siswa Dayak bukanlah hal yang asing mengingat pekerjaan seperti itu sudah biasa mereka lakukan sejak masih SD. “Kami sekeluarga sudah terbiasa mencari uang sendiri apabila ingin beli sesuatu, makanya kalau ingin tetap sekolah pun kami dituntut untuk tidak membebani orangtua, mulai dari keperluan baju seragam hingga uang jajan,” tutur Wana, siswa kelas enam dari SDN Batu Perahu.

Atas dasar pertimbangan itu, mereka sangat berharap ada SMA di desa tersebut. Pasalnya, kalau harus melanjutkan SMA ke ibukota Kecamatan Batang Alai Selatan yang merupakan SMA terdekat dari Desa Hinas Kiri (sekitar 24 kilometer), mereka tidak ada bayangan pekerjaan.

“Kalau di sini kami masih bisa sambil mangambil upah menyadap karet, memotong kayu atau pekerjaan-pekerjaan lainnya, sementara di sana belum pasti,” kata siswa yang lain.(yud)
Menunggu Giliran

Harapan siswa Dayak memiliki SMA dan asrama di Hinas Kiri, ditanggapi positif oleh Dinas Pendidikan HST. Hanya saja pemkab setempat terkendala anggaran.

Saat ini, pemkab setempat masih fokus pada penuntasan wajib belajar sembilan tahun melalui penambahan ruang belajar SD yang masih kurang, rehabilitasi ruang sekolah atau gedung SD yang rusak parah, termasuk rehabilitasi rumah-rumah dinas guru.

Kabid Prasarana Dinas Pendidikan HST, H Noor Asyikin mengatakan, jika prioritas tersebut telah terwujud, asrama akan segera menyusul, termasuk pembangunan SMA di Batang Alai Timur.

“Kita kembali dulu ke skala prioritas, jika sekarang sudah ada SD/SMP satu atap, selanjutnya pemerintah akan memikirkan jenjang selanjutnya, SMA sederajat,” lanjut Asyikin. (yud)

Kebakaran di Kampung Dayak

Selasa, 20-05-2008 | 00:45:10

TANJUNG, BPOST - Warga kampung Dayak Manyan di Desa Warukin tepatnya RT 03 Bajut, Kecamatan Tanta, Kabupaten Tabalong, Minggu (18/5) Pukul 21.30 Wita geger. Mereka dikejutkan teriakan salah satu warga, Paulina Lirim yang menjerit karena rumahnya terbakar.

Sontak warga malam itu berhamburan keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata api sudah melalap bagian belakang rumah nenek berusia 65 tahun itu.

"Saya kaget waktu mendengar teriakan saat mau makan malam. Saya langsung keluar dan melihat api mulai membesar. Pertamanya di bagian dapur saja," kata Deny Djohn, warga yang rumahnya persis di seberang rumah terbakar.

Ketua BKPM Desa Warukin itu mengatakan, upaya warga memadamkan api tidak berhasil bahkan api makin membesar saat menyambar peralatan memasak di dapur. Sambil menunggu kedatangan pemadam, mereka memilih membantu menyelamatkan harta benda warga yang rumahnya berada dekat dengan sumber api.

Tiga buah rumah terbakar, saat kejadian itu. Kerugian ditaksir mencapai ratusan juta rupiah. Selain rumah Paulina, api menghanguskan rumah menantunya Matias alias Inung yang terletak di belakang dan rumah tetangganya Aris Rentak yang terletak di sisi kanan.

Kini para korban tinggal seadanya seperti di pelataran rumah yang terbakar, sebagian menumpang di rumah sanak saudara yang dekat. Kebakaran itu adalah terbesar yang pernah terjadi di desa tersebut. Tahun lalu, di desa itu juga ada sebuah gereja terbakar dengan kerugian puluhan juta.

Kepala UPT BPK Tabalong, Sukono, mengatakan, tindakan pengamanan dilakukan dengan menurunkan dua unit BPK milik Pemkab Tabalong, satu uni BPK Kecamatan Tanta, Kreamsakt, Ujung Murung dan dari daerah tetangga Balangan, Lampihong serta dari perusahaan seperti PT SIS dan PAMA.

Paginya, Bupati Tabalong Rachman Ramsyi dan Kapolres AKPB Taufik Supriyadi langsung meninjau lokasi. Saat itu Rachman memberikan bantuan sembako untuk korban kebakaran. (nda)

Ritual Bapalas Rumah Warga Dayak, Berharap Roh Jahat Enyah

 
Minggu, 27-04-2008 | 00:59:01

Menghuni rumah atau bangunan baru bagi warga Dayak Manyaan seperti di Desa Warukin tak bisa sembarangan. Agar dapat hidup tenteram dan kerasan, rumah atau bangunan baru tersebut harus dipalas atau diselamati.

Karena itu, saat ada rencana menggelar aruh besar yakni perkawinan bagunung perak, Minggu (27/4), para tetuha adat, tokoh desa serta warga setempat lebih dulu menggelar upacara bapalas balai adat. Maklum, balai adat yang dipakai tempat acara masih baru dan belum pernah dipalas.

Ritual bapalas balai digelar, Jumat (25/4) malam. Prosesi dipimpin dua balian bawo atau balian laki-laki dan satu balian dadas atau balian wanita. Para balian di kalangan masyarakat Dayak diyakini sebagai orang pintar dan sakti yang dapat menghubungkan dunia atas (alam gaib) dengan dunia manusia.

Mereka memandu pelaksanaan palas yang terbagi dalam beberapa tahapan ritual dengan sejumlah sesaji seperti beras, gula merah, telur, ayam, kelapa serta aneka kue tradisional seperti lamang, apam dan pais. Aneka sesaji itu menggambarkan hantaran yang akan diberikan sebagai bekal kepada roh jahat penunggu balai yang akan diusir ke alam lain.

Mula-mula tetuha adat, Rumbun memberikan sambutan dalam Bahasa Manyaan perihal tujuan dilakukannya palas balai. Selanjutnya tiga balian mulai menembangkan mamang atau mantra dalam Bahasa Mulung atau sanskerta yang cuma dimengerti kalangan balian.

Mereka cuma memakai kain sarung penutup setengah badan pada balian bawo dan tapih yang menutup sampai dada untuk balian dadas. Sebagai pelengkap balian bawo memakai ikat kepala dan kalung gigi binatang buas. Semua balian menghiasi tubuh dengan kapur sirih dan membasuh muka dengan asap dupa.

Sambil bamamang, para balian juga mengitari tumpukan sesaji di tengah ruangan dan sejumlah penjuru balai secara bergantian.   

Sesekali mereka menggerak-gerakkan kedua tangannya yang berhias gelang kuningan berbentuk khusus sehingga menimbulkan suara gemericing khas.

“Ritual ini untuk menyampaikan kepada dewa atau roh suci bahwa rumah atau bangunan ini mohon permisi ditempati, juga supaya penghuninya terhindar dari roh jahat dan malapetaka,” papar Ardinanto, salah satu balian yang juga tokoh adat di Warukin.

Menurut Ardinanto ritual itu lahir karena masyarakat Dayak percaya keberadaan roh penunggu pohon-pohon besar. Padahal setiap mendirikan rumah pasti menebang kayu, sehingga kemungkinan tertebang pohon yang ada penunggunya.

Pelaksanaan ritual sebenarnya sekitar dua jam saja. Namun bisa berlangsung semalaman karena sebelum acara dimulai sejumlah tamu undangan disuguhi hidangan untuk disantap bersama. Selanjutnya saat ritual akan dimulai, sejumlah penabuh gendang, kenong dan gong akan memainkan musik Dayak memanggil warga desa.

Biaya palas balai kemarin ditanggung PT Adaro Indonesia yang bekerja sama dengan Bagian Pariwisata Kabupaten Tabalong. Selama ini masyarakat Dayak mulai jarang menggelar ritual tersebut karena terbentur biaya yang bisa mencapai puluhan juta rupiah. (anjar wulandari)

KUNJUNGAN GUBERNUR KE AJUNG (2-HABIS), Pertama Datang, Gubernur Dihadiahi Mandau

Senin, 14-04-2008 | 00:59:14

SEBAGAI desa terpencil, Desa Ajung di Kecamatan Tebing Kabupaten Balangan sangat minim fasilitas. Selain kondisi jalan masih memprihatinkan, desa setempat juga belum teraliri listrik dari PLN.

Agar warga desa yang masih melestarikan adat sebagai komunitas Dayak itu tidak ketinggalan informasi dan bisa maju lebih cepat, pemerintah berupaya memberikan fasilitas ekstra. Sejak akhir tahun 2007 lalu, 100 kepala keluarga (KK) di desa setempat rumahnya dipasangi modul pembangkit listrik tenaga surya. Modul atau alat yang mirip antena parabola berbentuk segi empat itu terpasang di hampir tiap rumah di desa setempat.

Sebelumnya, warga desa sudah bisa menikmati tontonan di televisi dengan menggunakan genset. Namun, penggunaannya terbatas karena bahan bakar yang harus dibeli dari kota dan relatif boros.

Dengan modul pembangkit listrik tenaga matahari itu, warga tidak lagi mengeluarkan uang. Mereka cukup merawat dan membersihkan perangkat modul yang terdiri dari lempengan penangkap panas sinar matahari yang dihubungan dengan kabel dan kotak khusus seperti tabung aki untuk menampung arus listrik.

Modul berdaya 100 watt itu bisa digunakan semalaman jika sekadar menyalakan lampu penerangan. Tapi bila menyalakan televisi harus menambah daya dengan menggabungkan dua modul.

“Ya sekarang kada kadap (gelap) lagi. Dahulu kadada listrik terpaksa pakai lampu minyak. Tapi setelah ada alat itu, bisa menghidupi lampu,” kata Bi’ih, warga Pitap.

Penggunaan 100 modul pembangkit listrik tenaga surya untuk 100 KK di desa setempat, Kamis lalu diresmikan Gubernur Kalsel, HM Rudy Arifin. Menurut Rudy, modul tersebut bantuan dari Dinas Pertambangan dan Energi dalam rangka pengentasan masyarakat desa terpencil.

Selain modul listrik, Rudy juga meresmikan permukiman Komunitas Adat Terpencil (KAT) Dayak Pitap. Sebanyak 100 unit rumah kayu berukuran 5x6 meter persegi dibangun di sebelah barat desa untuk menampung warga yang tidak memiliki rumah.

Selama ini masih ada sebagian warga dayak yang tinggal di hutan atau di kebun karet dan tanah pertanian yang digarapnya sekaligus untuk menjaga kebun dari serangan binatang hutan. Kondisi itu membuat kehidupan mereka kurang layak.

Dengan dibangunnya permukiman yang semi permanen, setidaknya diharapkan warga punya rumah untuk pulang. Hal itu sekaligus untuk mengurangi aktivitas warga pedalaman yang suka berpindah-pindah sehingga berdampak terhadap lingkungan, khususnya hutan.

“Dengan bantuan ini bukan berarti menghilangkan kelestarian seni budaya warga yang terbiasa hidup di hutan. Seni budaya itu tetap ada, tapi taraf kehidupan warganya lebih baik,” kata Rudy.

Pada kesempatan itu Gubernur Kalsel Rudy Ariffin ditahbiskan sebagai warga kehormatan suku dayak Pitap Ajung. Itu sebagai penghargaan karena dia satu-satunya gubernur Kalsel yang pernah datang dan melihat kondisi perkampungan dayak setempat yang terpencil. Untuk itu Kepala Adat, Rahmadi menyerahkan sebilah mandau dan lanjung--tas warga dayak, serta ikat kepala dari kain. (anjar wulandari)

Ritual Perceraian Warga Dayak Warukin (1) : Keluarga Besar Ikut Beri Nasihat

 
Sabtu, 29-03-2008 | 00:40:10

SEKITAR 20 pria dan perempuan dewasa duduk bersila membentuk lingkaran, bermusyawarah. Di hadapannya tampak empat piring kaca dan uang Rp 9.000 dalam sebuah mangkuk tembaga.

Meskipun sesekali melontarkan guyonan segar mencairkan suasana, mereka terlihat serius. Maklum, musyawarah yang digelar itu membahas gugatan cerai salah satu warga desa setempat kepada pasangannya.

Di kalangan warga Dayak Manyaan, Desa Warukin, Kecamatan Tanta Kabupaten Tabalong, Minggu (23/3), pukul 21.00 Wita, pasangan yang sedang dibicarakan nasib perkawinannya itu adalah, Sari dan Ardi (keduanya nama samaran).

Sari sudah sekitar dua tahun menikah dengan Ardi. Ia menggugat cerai karena tidak tahan dengan perilaku kasar suaminya itu. Karena pernikahannya dulu dilakukan secara adat, maka perceraiannya pun secara adat pula.

Keduanya didampingi beberapa perwakilan keluarga besar masing-masing. Mulai dari orangtua, paman, bibi, bahkan saudara sepupu. Mereka dipertemukan dalam forum adat yang dihadiri tetua, tokoh masyarakat, tokoh agama dan aparat pemerintahan.

Maksud kehadiran keluarga besar pasangan, kata Kepala Lembaga Adat Warukin, Rumbun, sebagai simbol penyelesaian masalah secara kekeluargaan. Sebab, bagi warga dayak di Warukin yang sebagian besar telah menganut agama, perkawinan merupakan pertalian sakral yang harus dipertahankan.

Di sana tiap orang yang hadir diberikan kesempatan menyampaikan pandangan atau pendapatnya terhadap perkawinan pasangan yang sedang bermasalah.

Selain nasihat, biasanya disertai paparan untung rugi bila berpisah. Semuanya dikatakan dalam bahasa dayak.

Kalaupun tidak bisa dipertahankan, setiap pihak diingatkan kewajibannya agar tidak ada yang dirugikan apalagi teraniaya. Sehingga saat sudah bercerai, hubungan kekeluargaan tetap terjaga. (nda)

Wednesday, May 21, 2008

Ritual Perceraian Warga Dayak Warukin (2-Habis) : Penggugat Harus Serahkan Hantaran

Minggu, 30-03-2008 | 00:35:05

SEBELUM prosesi perceraian, biasanya si penggugat menyerahkan hantaran sebagai syarat membuka musyawarah berupa beras dan seekor ayam jantan yang telah disembelih. Itu sebagai simbol permintaan diuruskan hajat gugatan cerai.

Kemarin, Sari lah yang menyerahkan hantaran itu ke Ketua Lembaga Adat Rumbun. Ia yang berinisiatif menggugat cerai secara adat.

Menurut Rumbun, bila dalam musyawarah pertama kedua pasangan memilih rujuk, maka mereka harus menyerahkan hantaran tahap kedua berupa beras dan ayam hidup sebagai pertanda diberikan lagi kesempatan membina rumah tangga. Selain itu akan dibuatkan surat perjanjian bermaterai di antara pasangan agar jadi pegangan jika suatu hari bermasalah lagi.

Namun bila dipilih bercerai maka dibahas ketentuan hak dan kewajiban masing-masing.

"Tahap ini merupakan tahap pertama. Bisa saja terjadi rujuk. Bila tidak bisa juga maka akan diperhitungkan dan ditetapkan soal pembagian harta, hak asuh anak dan lain-lain. Tapi harus jelas alasan bercerai," kata Rumbun.

Bila sidang adat memutuskan pasangan resmi bercerai, maka akan diterbitkan surat bermaterai yang jadi rekomendasi pengurusan berkas perceraian di catatan sipil. Namun meskipun berkas resmi yang diakui pemerintah belum terbit, kedua pasangan sudah dianggap cerai oleh masyarakat.

Dalam sidang kemarin, pasangan Sari dan Ardi masih diberikan waktu untuk melakukan instrospeksi diri dan perenungan. Sidang lanjutan akan diagendakan lagi untuk mengambil keputusan. Bila tetap ngotot bercerai, maka keduanya diminta membuat kesepakatan tentang harta gono gini dan hak asuh anak. (nda)

Sunday, March 23, 2008

Loksado Belum Layak Jual

Jumat, 29-02-2008 | 00:55:10

Kalsel Tak Siap Laksanakan VIY 2008

BANJARMASIN, BPOST - Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan menyatakan belum siap melaksanakan program Visit Indonesia Year (VIY) 2008, karena keterbatasan sarana dan prasarana serta manajamen pariwisata.

Sekretaris Daerah (Sekda) Kalsel Mukhlis Gafuri, di Banjarmasin, Kamis (28/2, mengatakan, pemprov tak mungkin menjual pariwisata kalau kondisinya masih banyak yang harus dibenahi, termasuk koordinasi antara pemerintah provinsi dan daerah.

"Dinas pariwisata selama ini gembar-gembor Kalsel memiliki potensi wisata alam cukup besar, kenyataannya mana," ucapnya.

Meskipun objek wisata Loksado di Kabupaten Hulu Sungai Selatan telah dibenahi, tapi pembenahan yang dilakukan belum layak untuk dijual kepada wisatawan mancangera.

Untuk menerima wisatawan asing, seharusnya didukung paket-paket pariwisata menarik antar daerah, sehingga wisatawan asing yang datang tidak kecewa sepulang dari Kalsel.

"Tidak mungkin Kalsel hanya menjual Loksado, kalau daerah lain tak membenahi potensi wisata unggulannya,"imbuhnya.

Pemprov Kalsel segera mengundang pakar pariwisata untuk membenahi wisata alam. Kalsel cukup dikenal dengan potensi wisata alam dan budaya suku dayak dengan berbagai adat dan istiadat yang sulit ditemukan di daerah lain.

Alam Loksado yang eksotis dan suku dayak yang masih bertahan hidup di hutan dan pegunungan, berpotensi memikat wisatasan datang ke Kalsel.

Kepala Dinas Pariwisata Kalsel, Bihman Villa, saat ini pihaknya bekerjasama dengan pemerintah kota dan kabupaten, sedang memperbaiki infrastruktur pariwisata. (ant)

Tuesday, January 08, 2008

BALAI ADAT MERATUS Oleh: HE. Benyamine *)

Kamis, 6 Desember 2007
Radar Banjarmasin

Masyarakat adat Pegunungan Meratus minta sumbangan seng untuk atap Balai Adat. Ada apa dengan masyarakat adat tersebut, sehingga untuk merenovasi balai adat mereka harus meminta sumbangan dengan pihak lain. Bagaimana jika mereka harus membangun balai adat baru, mungkin lebih tidak sanggup lagi. Masyarakat minta sumbangan, apalagi kepada pemerintah, bukanlah perbuatan yang dilarang ataupun merendahkan masyarakat tersebut. Tapi, sumbangan untuk sesuatu yang menjadi bagian dari budaya masyarakat itu terasa menyedihkan. Apalagi keberadaan balai adat tersebut termasuk bagian budaya yang sangat vital dan penting.

Masyarakat adat Maratus, dengan asumsi masih dalam budaya mereka, tetapi sudah tidak mampu lagi menopang balai adat mereka, yang sebenarnya memberikan pesan bahwa keberadaan mereka sendiri yang sedang terancam dan terpinggirkan. Balai adat merupakan bagian dari simbol keberadaan masyarakat adat Meratus, sebagian ritual mereka dilakukan di tempat ini.

Permintaan bantuan dana untuk renovasi balai adat kepada pemerintah oleh masyarakat adat Meratus, tidak selayaknya hanya direspon dengan menyatakan mengusulkan segera dianggarkan dana rehab balai tersebut dalam APBD 2008, yang terkesan kunjungan anggota dewan tersebut hanya dapat melihat ketidaklayakan balai saja. Hal ini memberikan gambaran bagaimana kalangan elit dalam berpikir dan bertindak, yang mengesampingkan pertanyaan mengapa masyarakat adat Meratus tidak mampu memperbaiki balai adat yang sangat penting tersebut. Apa yang sedang terjadi dalam kehidupan mereka? Apakah sumberdaya alam, khususnya hutan, di mana mereka tinggal sudah tidak cukup lagi memenuhi keperluan kehidupan mereka.

Penyebab mengapa masyarakat adat Meratus perlu bantuan dalam memperbaiki balai adat mereka yang seharusnya menjadi perhatian dan pemikiran anggota dewan yang berkunjung tersebut. Permohonan bantuan ini secara tidak langsung menyatakan ada yang salah dalam pengelolaan kawasan hutan, khususnya Pegunungan Meratus. Pengelolaan kawasan hutan yang tidak memperhatikan keberadaan manusia di dalam dan sekitar hutan yang sebenarnya memprihatinkan. Mereka membutuhkan hutan dalam melanjutkan kehidupan dan tradisi, namun nyatanya hutan tersebut yang dirampas dan dirusak untuk mendapatkan kayunya saja.

Masyarakat adat Meratus sebenarnya tidak mempunyai mental “pengemis”, tetapi mereka memang tergantung dengan keberadaan hutan. Apabila kawasan hutan dimana mereka bergantung mengalami gangguan, maka gangguan tersebut bisa menjadi bencana dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, pemerintah dan kalangan elit politik sudah sepatutnya berbuat dalam membenahi pengelolaan kawasan hutan, tidak seenaknya saja mengeluarkan perizinan hak pemanfaatan hutan dengan mengabaikan dan tidak memperdulikan keberadaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan.

Apalagi, masyarakat adat Meratus sangat mempunyai ikatan yang sangat kuat dengan hutan dan kawasannya. Sehingga, kebijakan yang berkenaan dengan kehutanan sudah seharusnya memperhatikan eksistensi budaya di kawasan hutan tersebut dan menjadikannya acuan dalam pemanfaatannya. Masyarakat adat Meratus memberikan isyarat yang cukup bijaksana dengan mempertunjukkan balai adat mereka yang rusak; yang memerlukan bantuan, sebagai isyarat semakin menyusutnya kawasan hutan. Mereka membutuhkan kebijakan yang memihak terhadap eksistensi budaya dalam pengelolaan hutan, dibandingkan dana perbaikan balai adat mereka.

Hutan Kalimantan Selatan yang tersisa terus mengalami gangguan, tanpa dibarengi pembenahan pengelolaan saat ini yang sangat beroreintasi kepentingan ekonomi dengan mengabaikan kepentingan ekologi dan sosial/budaya. Sehingga menempatkan sebagian besar masyarakat Kalsel berada dalam keadaan yang rentan terhadap bencana alam, termasuk bencana budaya bagi masyarakat adat Meratus. ***

*) Alumni SMAN I Rantau

Dayak Dusun Siap Gelar Pawanangan

Senin, 26 November 2007
Radar Banjarmasin

KOTABARU – Salah satu khasanah budaya yang dimiliki Kotabaru adalah acara adat yang dimiliki oleh suku Dayak Dusun yang tinggal di kecamatan Sungai Durian. Biasanya upacara adat tersebut dilaksanakan setiap menjelang musim panen dan biasanya disebut upacara Pawanangan oleh suku dayak yang tinggal di kaki gunung Meratus.

Dalam acara tersebut setiap kali memasuki puncak acara selalu ditampilkan tarian khas suku dayak tarian Babalian.

Musian, tokoh adat masyarakat Dayak Dusun di sana akrab dipanggil Pa Ida, mengungkapkan upacara adat dilaksanakan tiga kali dalam setahun. Saat pelaksanaan ritual dipersiapkan kue-kue dan wewangian, juga beberapa jenis makanan seperti Lamang, Dodol, Wajik, Cucur, serta Pais yang dibungkus dengan daun aren.

Selanjutnya, pelengkap ritual wewangian di siapkan di saat sudah dekat menjelang puncak pesta adat, seperti bawang, jahe, dan jenis-jenis wewangian lainnya lainnya.

Sedangkan hewan yang dipotong dalam upacara itu, tahun pertama menjelang musim panen akan di potong seekor ayam, tahun kedua kambing, dan tahun ketiga kerbau. Ritual ini terus dilaksanakan secara berurutan dari musim panen pertama, kedua, dan ketiga dalam setahun.

Apabila hasil panen melimpah upacara adat yang diwarnai tarian Babalian adat suku Dayak Dusun, pemotongan hewan bisa lebih dari satu. Tapi kalau musim panen kurang atau gagal upacara adat Pawanangan tetap dilaksanakan, namun disesuaikan kemampuan.

“Hasil panen melimpah atau tidak acara adat ini tetap dilaksanakan. Karena bagi masyarakat kami upacara adat Pawanangan ini wajib dilaksanakan setiap tahunnya,” jelas Pa Ida.

Untuk persiapan upacara adat tahun ini 208 kaleng padi dibagikan kepada fakir miskin, dengan biaya sebesar Rp13 juta. (ins)