Friday, May 04, 2007

Baluntang, Simbol Status Keluarga Dayak

Jumat, 27 April 2007 19:32

SEBUAH patung kayu ulin sederhana seperempat bagiannya menggambarkan rupa manusia, berhias ukiran tampak kokoh berdiri di halaman depan rumah Rumisah (85), warga Dayak Manyan di Desa Warukin, Kecamatan Tanta, Tabalong.

Nuansa magis langsung terasa saat menatap patung setinggi 4-5 meter yang disebut warga setempat Baluntang. Baluntang merupakan batur atau nisan leluhur atau kerabat yang telah meninggal.

Rumisah, satu dari sedikit warga di sana yang masih memiliki benda itu. Selain nisan, baluntang pun dikenal sebagai simbol status dan derajat pemiliknya dalam masyarakat. Setiap baluntang memiliki ciri khas yang menunjukkan status atau pangkat almarhum saat masih hidup.

Ciri khas dilihat dari pose purwarupa manusia pada patung. Menurut Rumisah yang dulu menyandang status balian tetamba (dukun pengobatan), bila rupa manusia itu tampak berdiri dan menyandang tongkat kecil sebagai kiasan giring-giring, berarti baluntang tersebut adalah batur seorang balian.

Sedangkan yang membawa mandau atau tombak, berarti pejuang atau ksatria. "Bila duduk di kursi berarti seorang pejabat seperti penghulu atau pembakal," jelasnya.

Status sosial masyarakat dayak bisa dilihat dari kepemilikan baluntang. Meskipun orang biasa, bila memiliki baluntang bisa dikatakan sebagai orang berpunya, karena mendirikan balutang perlu kerja keras dan kesiapan dana besar mecapai puluhan juta bahkan ratusan juta, bila diukur dengan nilai uang saat ini.

Pelaksanannyapun harus melewati upacara atau aruh adat yang mengundang seluruh kerabat, tetuha bahkan balian atau dukun dari kampung lain. Deny Djohn, tokoh adat warga dayak dari Desa Bajut, Warukin memaparkan pendirian baluntang sangat sakral karena menggambarkan kesempurnaan proses pengantaran arwah ke nirwana.

Karenanya meskipun besar biayanya, tetap diusahakan dilaksanakan. "Bahkan bisa saja satu baluntang dibangun untuk lebih dari satu leluhur, asalkan masih satu garis keturunan," ujarnya.

Meskipun sederhana, baluntang pernah menjadi incaran pencuri sekitar tahun 1970-an karena nilai seninya. Karena itu banyak baluntang milik warga yang hilang dicuri dan dijual keluar negeri. Pemkab Tabalong berupaya melindungi aset budaya daerah ini dengan menjadikan desa itu sebagai kawasan cagar budaya. anjar wulandari

No comments: