Radar Banjarmasin ; Selasa, 28 Agustus 2007
Ritual adat keagamaan Dayak Pitap yang biasa mereka sebut Boanang itu, selain hanya dilakukan setahun 3 kali, ternyata juga mengandung kepercayaan akan datangnya bala bencana bila ritual tersebut gagal dilaksanakan.
Karena itulah, selain menuntut aparat kepolisian untuk meminta maaf dan menindak tegas aparat yang diduga melakukan kesalahan, para tetuta adat Dayak Pitap juga meminta aparat kepolisian untuk melaksanakan sanksi adat, yaitu membayar uang dan memberikan peralatan pesta adat.
Dikatakan Wakil Kelembagaan Dayak Pitap, Sahruni, pembayaran sanksi adat itu sifatnya wajib. Untuk pembayaran sanksi adat berupa uang nilainya sebesarRp240 ribu. Uang itu diberikan kepada tetuta adat setempat. Sedangkan untuk pembayaran sanksi kebendaan, yang terkena sanksi adat wajib menyediakan peralatan seperti agung (gong) sebanyak 2 buah, bokor, talam, sasanggan, gelang, gendang, laung, kancup, dan selendang. “Kalau tidak dapat mencari benda tersebut, maka sebagai gantinya adalah uang sebesar nilai jual alat tersebut,” katanya.
Dikatakan Sahruni lagi, ulah oknum aparat kepolisian yang main selonong di saat masyarakat sedang melaksanakan ritual adat keagamaan sangat menyakitkan hati masyarakat. “Kan di sana ada kepala desa, ada kepala adat, dan lain-lain. Dengan kejadian ini kami merasa sangat dilecehkan,” tandasnya.
Sementara itu, Kepala Adat Dayak Pitap, Murdi menyatakan, bubarnya ritual adat Dayak Pitap itu bisa dikategorikan sebagai peristiwa besar dan sangat meresahkan warganya. Sebab, lanjut pria ini, sepanjang sejarah pelaksanaannya ritual adat tersebut belum pernah mengalami kegagalan yang diakibatkan oleh ulah manusia. “Ini belum pernah terjadi, baru tahun inilah ritual adat tersebut bubar. Padahal kami melaksanakanya sudah tiga hari lamanya,” ujarnya.(gsr)
No comments:
Post a Comment