Wednesday, May 30, 2007

TRANSISI ADAT PERKAWINAN WARGA DAYAK Musik Pop Gantikan Giring-giring

Wednesday, 30 May 2007 01:50

LAGU pop bernada ceria membahana dari lokasi hajatan pernikahan salah satu warga Dayak Manyan di Desa Warukin, Kecamatan Tanta Kabupaten Tabalong, Sabtu (26/5).

Dua speaker di sudut kiri halaman rumah mempelai di RT 3 desa itu berdetak kencang seiring tempo lagu. Para tamu yang hadir pun tampak larut dalam alunan lagu-lagu yang sedang ngetop itu.

Ini berbeda dari kebiasaan warga suku itu, yang biasanya menyajikan hiburan saat pesta pernikahan dengan tarian giring-giring. "Sekarang disesuaikan kemampuan yang punya hajatan," kata Ulinawati, Kepala Desa Warukin.

Mencari penari giring-giring di zaman seperti sekarang, menurutnya relatif sulit. Di desa setempat hanya ada satu grup tari yang kini sedang bertolak mengikuti festival tari Dayak ke Jakarta.

Ditambah lagi saat ini banyak warga Desa Warukin bekerja di sektor formal seperti di perusahaan atau pegawai negeri. Karena itu mereka tidak punya banyak waktu dan dana untuk menggelar hajatan sesuai adat yang biasanya berlangsung sampai tiga hari berturut-turut.

Humas Adat warga Dayak Manyan Warukin, Deny Djohn, mengatakan tak hanya pakaian pengantin dan hiburan bagi para tamu yang mulai mengalami pergeseran mengikuti tren zaman. Ada pula sejumlah tahapan adat yang sengaja dipangkas karena bukan keharusan.

"Misalnya, tradisi potong tali banjang sebagai bentuk penerimaan keluarga salah satu mempelai yang berasal dari luar kampung. Sebagian dari kami tidak menyelenggarakan lagi, karena sudah cukup prosesi inti, seperti hukum adat," paparnya.

Menurutnya prosesi potong tali banjang-- berupa tali katun yang digantungi aneka buah-buahan dan janur, kini merepotkan karena harus mengundang balian dari luar kampung.

Di kampung setempat tidak ada lagi balian, karena rata-rata warga telah beragama Kristen.

Dari semua tahapan pernikahan warga Dayak, hanya hukum adat saja yang masih dipertahankan. Biasanya tahapan simbolis ini dilakukan sehari atau sesaat sebelum kedua mempelai dipertemukan dan duduk di pelaminan.

Hukum adat adalah tahapan pembicaraan lebih lanjut yang melibatkan seluruh anggota keluarga besar terhadap lamaran yang diajukan mempelai pria.

Pada kesempatan itu keluarga besar kedua belah pihak juga saling berkenalan, menyampaikan tanggapan dan persetujuan atas pernikahan yang akan dilaksanakan.

Selain hukum adat tradisi yang masih lestari adalah turus tajak atau pembacaan sumbangan para tamu undangan. Pada kesempatan ini jumlah sumbangan dan pesan si penyumbang dibacakan secara langsung oleh penghulu adat atau yang bersangkutan sebagai kenang-kenangan dan ucapan selamat.

Waktu penyelenggaraan pernikahan juga relatif unik, biasanya menjelang Magrib sampai dini hari. Menurut Ulinawati, hal tersebut sudah dilakukan sejak dulu menyiasati kesibukan tetangga dan handai taulan di ladang pada siang hari. nda

Balai Adat Rumain Baru Minta Televisi

Friday, 25 May 2007 22:56

MARTAPURA, BPOST - Balai Adat Rumain Baru, Dusun Terangkin Desa Paramasan Bawah, Kecamatan Paramasan, kekurangan sejumlah fasilitas seperti sarana air bersih dan penerangan.

Untuk mengatasi masalah itu, kepala balai, Ursani pun beberapa hari lalu ‘turun gunung’ memohon bantuan ke DPRD Kabupaten Banjar. Sayangnya, jauh-jauh dari Paramasan Bawah, Ursani yang bermaksud mendatangi Tajuddin, anggota DPRD Banjar yang mewakili masyarakat dari kawasan itu, tidak berhasil menemuinya. Bukan hanya Tajuddin yang tak ada, bahkan seluruh anggota dewan tak berhasil ia jumpai.

"Padahal, saya ingin mengecek sejauh mana, proposal permohonan bantuan dari kami ini ditindaklanjuti oleh anggota dewan," ujarnya yang kemudian ia tahu kalau anggota dewan banyak yang keluar daerah untuk kepentingan diklat atau studi banding.

Tak terhenti di DPRD, Usrani pun mengecek proposal yang telah dikirimnya 2 April ke Bagian Sosial Setda Banjar. Sejumlah staf di situ mengatakan bahwa proposal sudah tak ada lagi dan tak terdata.

Alhasil, Usrani pun diminta supaya meng-copy kembali proposal yang beruntungnya ia bawa saat itu. "Wah, seandainya tidak dicek, entah kapan baru bisa direalisasikan fasilitas vital yang kami butuhkan di balai yang didiami 15 KK itu," ungkapnya.

Sebenarnya, lanjut pria ini, pihaknya mengharapkan ada bantuan sarana air bersih berupa empat unit tandon, generator listrik satu unit dan televisi satu unit.

"Tandon air diperlukan karena kami kesulitan memperoleh air bersih, karena letak balai dengan sungai sangat jauh. Demikian pula generator listrik sangat diperlukan, baik untuk penerangan dan televisi," bebernya.

Di era sekarang, ucapnya, anak-anak Dayak Meratus antusias menyerap informasi dan meningkatkan kualitas pendidikan. "Mereka semakin sadar, untuk meningkatkan taraf kesejahteraan, mesti melalui jalur pendidikan. Nah, listrik termasuk televisi dianggap sangat vital untuk menunjang realisasi cita-cita mereka itu," paparnya. adi

PARAMASAN ATAS, DESA YANG TERKUCILKAN Malaria Diobati Tari Balian

Saturday, 26 May 2007 02:28

Desa Paramasan Atas, Kabupaten Banjar tiba-tiba mencuat. Selama Maret-Mei 2007 sedikitnya 116 warga terjangkit malaria, 14 di antaranya meninggal dunia. Bagaimana pola hidup warga di desa terpencil tersebut?

Desa Paramasan Atas berada paling timur di wilayah Kabupaten Banjar. Sejak awal bulan lalu telah ditetapkan sebagai daerah KLB endemis malaria. Lokasinya yang terisolir mengesankan desa itu tak pernah tersentuh pembangunan.

Untuk mencapainya memang sangat sulit. Dari ibukota Kabupaten Banjar, kita mesti menempuh jarak sekitar 175 km dengan melampaui dua kabupaten, yakni Tapin, Hulu Sungai Selatan (HSS), dan masuk wilayah Tapin lagi.

Jalur Martapura-Simpang Bagandah, Tapin, jalan relatif mulus. Baru dari situlah sebagian besar jalan rusak parah. Meski berjarak 27 kilometer, dengan sepeda motor bisa memakan waktu 3,5-4 jam. Jalurnya meliuk-liuk dan naik turun dengan sisi kiri kanan terdapat jurang yang terjal.

Di bibir hutan itulah tinggal ratusan kepala keluarga. Dengan alat penerangan tradisional, warga umumnya tinggal di rumah berdinding anyaman bambu. Halaman mereka juga terlihat becek dan dikotori aneka sampah yang berceceran. Selain tak dilengkapi riol, saluran pembuangan limbah rumah tangga juga tak ada.

"Kalau mau buang air besar terpaksa ke sungai. Begitu pula untuk keperluan sehari-hari, airnya mengambil ke sungai," ujar HM Husni, warga setempat, pekan lalu.

Meski demikian, warga sebenarnya telah sadar untuk memakai kelambu atau memakai obat nyamuk jika tidur di malam hari. Namun, karena desa itu terletak di tepi hutan lebat, serangan nyamuk hutan penyebar malaria, tetap saja mengancam, terutama ketika warga beraktivitas di luar, misalnya saat bertani atau mendulang.

Sejumlah warga mengaku, akibat parahnya infrastruktur yang ada, maka tenaga-tenaga sosial seperti halnya tenaga medis, bidan maupun guru, sangat minim. Mereka sangat jarang yang ikhlas mengabdi di desanya.

"Sudah empat bupati yang selalu menjanjikan memperbaiki jalan. Namun, ketika sudah tegak berdiri di jabatannya, mereka tak ingat lagi. Kami ini seperti tak merasakan merdeka," keluh Buak, tetangganya.

Kesehatan

Di samping sarana lainnya, proyek-proyek pengadaan fasilitas kesehatan tak pernah menyentuh desa ini. Mobil pun sudah 10 tahun tak bisa sampai ke desa terpencil itu.

"Sampai-sampai kami hanya berharap, ada seorang mantri dan seorang bidan di desa kami. Tapi itu pun sulit," ujar Buak lagi.

Karena ketiadaan tenaga medis itulah mereka tidak berdaya ketika wabah penyakit menyerang. Kalau pun tak ada wabah, warga pun sangat kerepotan ketika akan melahirkan. Selama ini, para ibu hamil yang hendak melahirkan terpaksa ditolong kerabat sendiri. "Ada saja bayi yang lahir di tangan sang ayah. Tali pusar bayi diobati dengan campuran garam dan asam kamal (asam Jawa)," ucap Halidah yang ditemui terpisah.

Ketika wabah malaria (disebut warga dengan istilah wisa) melanda hingga April lalu, mereka pun hanya pasrah, seraya berikhtiar dengan melakukan pangobatan tradisional.

Sasan (26), misalnya, mengaku harus rela ditinggal istrinya, Umik (25) selama-lamanya akibat penyakit malaria yang menjangkitinya tak terobati.

"Tidak ada mantri di sini. Mau keluar mencari pengobatan medis, jalannya sulit. Untuk berjalan sendiri saja susah, bagaimana lagi membawa yang sakit. Makanya kalau ada yang terkena wisa kita hanya mengobatinya dengan ritual balian," ujar Sasan didampingi sesepuh desa yang akrab dipanggil Kai.

Dalam pengobatan tradisional ini si sakit dibaringkan di balai-balai, kemudian seorang dukun memberikan pengobatan dengan menari-nari mengelilingi pasien seraya membaca mantra.

Menurut Kai, penularan penyakit itu sangat cepat dan mematikan. Sudah banyak kejadian hingga penderita tak tertolong lagi.

"Jika menderita sampai tiga hari, ciri kulitnya menguning, panas dan menggigil, langsung meninggal. Sejak awal tahun ini, 14 warga kami meninggal," sesalnya.

Kadinkes Banjar, dr Toto Medyanto, menyatakan pada akhir Maret lalu, telah dikirim lima anggota tim medis. Hasilnya, tim berhasil mengobati 102 warga yang sempat terjangkit malaria. Sejak itu korban tewas bisa ditekan. adi

Tim Seni Dayak Tabalong ke Pontianak

Jumat, 25 Mei 2007

SUATU kebanggaan bagi Kabupaten Tabalong karena komunitas suku Dayak di Bumi Saraba Kawa Tabalong mendapatkan undangan kehormatan dalam kegiatan Gelar Budaya Dayak se-Kalimantan di Pontianak (Kalbar). Di kota berjulukan Bumi Khatulistiwa itu, tim kesenian adat Dayak Tabalong akan berada selama sepekan terhitung Minggu (20/5) hingga Minggu (27/5) lagi.

Utusan masyarakat Dayak Provinsi Kalsel diwakili empat kabupaten, yaitu Tabalong, Balangan, HSS dan Tapin. Apakah yang ditampilkan perwakilan Dayak dari Tabalong? Diinformasikan Ketua Kesenian Tabalong (DKT) Nurdiansyah Nunci yang terlihat turut serta bersama rombongan, Tabalong akan menampilkan sanggar seni tradisi Matunen Jaya Desa Warukin, Kecamatan Tanta, yang berasal dari Dayak Ma’anyan. Sedangkan tarian adat Dayak yang berkenan ditampilkan Matunen Jaya, membawakan Tari Mandi Api.

Beruntung tidak terlalu lama menunggu giliran, Rabu (23/5) malam tadi, sanggar tari pimpinan Andreas Buje ditemani penata tari Ardianto ini mendapatkan kesempatan menampilkan kebolehan diri dengan Tari Mandi Api pada ajang budaya dan seni adat se-Kalimantan tersebut. “Ajang yang digelar mempunyai manfaat besar dan dapat mempererat kebersamaan, melestarikan kesenian dan budaya adat Dayak. Kami harapkan kegiatan ini dapat terus berlanjut sebagai aset budaya dan pariwisata Kalimantan,” katanya.

Selain Nurdiansyah Nunci, tampak pula diantara rombongan selaku pendamping tim kesenian adat Dayak asal Tabalong, adalah Kasubdin Pariwisata Zain Ramali, Kasubdin Budaya dan Seni Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalsel Drs Syarifudin, juga hadir ketua adat Dayak Ma’anyan Desa Warukin, Rumbun (day)

Sunday, May 27, 2007

Haratai Terisolasi

Tuesday, 22 May 2007 03:01

  • Jembatan rusak parah
  • Merugikan pariwisata

KANDANGAN, BPOST - Jembatan gantung menuju air terjun Haratai di wilayah Haratai III Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan rusak parah. Akibatnya, para wisatawan tak bisa mengunjungi objek wisata kebanggaan Kalimantan Selatan itu.

Warga Dayak Kesulitan

AKIBAT rusaknya jembatan gantung menuju air terjun Haratai lebih dirasakan warga Dayak yang mendiami balai adat di dekat lokasi wisata tersebut. Mereka kesulitan mengangkut hasil bumi seperti kayu manis dan kemiri.

Hasil tanaman hutan biasanya mereka jual ke Pasar Loksado, yang jaraknya sekitar delapan kilometer. Sarana paling mudah mencapai Pasar Loksado setiap Rabu adalah lewat jembatan yang rusak itu.

Oleh karena jembatan rusak, warga terpaksa lewat jalan setapak di hutan.

Tokoh masyarakat Loksado, Dana Lumur, mengatakan jembatan itu merupakan sarana vital bagi warga Pegunungan Meratus. "Lewat jalan lain memang bisa tapi memakan waktu dan tenaga ekstra. Yang paling mudah dilewati untuk ke pasar bagi warga di sekitar air terjun, ya... lewat jembatan yang putus itu," tegasnya. ary

Akhir pekan lalu, bertepatan liburan panjang, ratusan wisatawan gagal mengunjungi air terjun. "Wah kita mau lewat mana kalau jembatannya rusak begini," sungut Anto yang datang mengendarai sepeda motor bersama teman-temannya dari Martapura dan Banjarbaru, Sabtu (19/5) siang.

Karena sudah telanjur tiba, Anto dan teman-temannya nekat melewati jembatan. Sedang puluhan wisatawan lain yang juga menggunakan sepeda motor, memilih tidak jadi menuju air terjun. "Banyak papan lantai jembatan yang hilang. Apalagi saat dilewati bergoyang dengan keras. Kami takut jatuh," kata Agus, wisatawan dari Banjarmasin yang datang bersama teman wanitanya.

Tokoh masyarakat Loksado, Dana Lumur SPd, mengatakan jembatan rusak sejak Februari 2007. Ketika itu air jeram meluap setelah hujan tiga hari berturut-turut.

Beberapa pohon di bantaran tumbang akibat tanah longsor. Pohon besar di dekat jembatan juga tumbang dan menimpa jembatan.

"Soal jembatan sudah kita laporkan ke dinas terkait usai banjir," kata Dana.

Menurut Dana, Kepala Dinas Pariwisata HSS, Hj Siti Saniah Bahdar Djoehan, berjanji jembatan segera diperbaiki.

Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Kalsel Hj Armistiany meminta pemerintah merealisasikan perbaikan jembatan menuju air terjun Loksado.

"Wisatawan asing sukanya petualangan. Jadi kalau akses ke Haratai III putus jelas mereka mencari tempat lain di luar Kalsel," kata Armistiany, Senin malam.

Selama ini Asita menjual objek wisata Loksado hingga luar negeri. Langkah tersebut harus didukung infrastruktur dan pemerintah daerah.

"Jangan dibiarkan terlalu lama rusaknya, karena bisa merugikan daerah. Selain itu, kawasan yang sebelumnya potensial bisa menjadi kawasan mati dan tidak menghasilkan PAD bagi daerah," papar Armistiany.ary/tri

Friday, May 18, 2007

Dayak Tolak Tambang Bijih Besi Di Kecamatan Awayan, Balangan

Rabu, 16 Mei 2007
BANJARMASIN,- Rencana penambangan bijih besi di Kecamatan Awayan, Kabupaten Balangan, ditentang oleh warga Dayak Pitap. Mereka memilai, aktivitas pertambangan itu akan mengancam kelangsungan ekosistem serta adat budaya kawasan yang dekat dengan hutan lindung, tempat yang dikeramatkan masyarakat Dayak Pitap.

Penolakan ini disampaikan warga Dayak Pitap yang dipimpin langsung Murdi, Kepala Adat Dayak Pitap, ketika meminta advokasi kepada Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel di Banjarbaru, kemarin.

Berkenaan dengan rencana Pemkab Balangan yang telah memberi izin Kuasa Pertambangan (KP) eksplorasi kepada PT Saribumi Sinar Karya (SSK), para tokoh Dayak Pitap menolak tegas keinginan itu. Apalagi, sejak tahun 2001 masyarakat setempat sudah menolak aktivitas pertambangan di wilayahnya.

PT SSK memang telah mendapat izin perpanjangan dari Bupati Balangan Sefek Effendy, lewat SK bernomor 100 Tahun 2006, di mana wilayah tambangnya seluas 3.500 hektare meliputi wilayah adat Dayak Pitap, Kecamatan Awayan.

Penolakan warga juga telah diputuskan dalam rembug (musyawarah adat) pada Rabu (9/5) di Balai Mawangka. Bahkan, mereka juga bersumpah demi para leluhur dan tempat keramat Dayak Pitap, menolak kehadiran PT SSK dan kebijakan Pemkab Balangan yang memperpanjang masa kuasa pertambangannya. “Apa yang disuarakan masyarakat Adat Dayak Pitap itu merupakan bentuk penolakan. Sebab, selama ini baik pengusaha maupun pemerintah tidak menghargai keberadaan masyarakat adat,” ujar Berry Nahdian Furqon, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel kepada wartawan koran ini, kemarin.

Menurut Berry, aktivitas pertambangan itu juga akan menimbulkan keresahan dan konflik horizontal, terutama masyarakat yang kontra dan pro pertambangan, serta konflik vertikal yakni antara masyarakat dengan pemerintah atau aparat keamanan.

“Selama ini, kajian pertambangan juga tak komprehensif. Artinya, tidak memikirkan dampaknya bagi lingkungan dan sosial budaya,” cetusnya.

Bahkan, papar Berry, warga Dayak Pitap sudah merasakan dampaknya, ketika aktivitas pertambangan itu berlangsung sejak tahun 2001, ketika masih dalam kendali Pemkab Hulu Sungai Utara (sebelum pemekaran menjadi Kabupaten Balangan, red).

Berry menegaskan, sikap warga Dayak Pitap akan tetap konsisten untuk menolak rencana penambangan di wilayahnya. Untuk itu, warga Dayak Pitap mendesak agar KP eksplorasi PT SSK yang dikeluarkan pada 1 Mei 2006 dan berakhir pada 1 Mei 2007 itu tidak diperpanang lagi. “Bagi warga Dayak Pitap, kebijakan semacam ini seharusnya dimusyawarahkan dengan masyarakat,” imbuhnya. (dig)

Tuesday, May 15, 2007

Tambang Rambah Hutan Keramat

Selasa, 15 Mei 2007 03:02

Dayak Pitap protes

BANJARBARU, BPOST - Seribu masyarakat adat Pitap dari tiga desa di Kecamatan Awayan, Balangan, menolak kehadiran PT Sari Bumi Sinar Karya yang akan melakukan penambangan biji besi di kawasan Gunung Tanalang.

Rentan Konflik Horizontal

DIREKTUR Ekesekutif Walhi Kalsel Berry Nahdian Furqan, saat mendampingi masyarakat adat Dayak menyarankan pemerintah segera tanggap akan permintaan warga. Karena jika tidak, konflik horizontal rawan terjadi.

"Tidak hanya antarmasyarakat konfliknya, tapi juga dengan aparat di sana. Kalau ini tak dicermati serius sangat berbahaya," kata Berry.

Selama ini saja, segala aktivitas eksplorasi yang telah dilakukan menimbulkan banyak keresahan warga. Tidak jarang, akibat berselisih paham antarwarga karena masalah sepele di survei pertambangan, aparat turut bersitegang dengan warga.

Menurut Furqan, penyebabnya tak berat, namun dampaknya luar biasa bagi keamanan kampung. Sebagai contoh, saat seorang warga diminta mengawal kedatangan tim survei, sementara warga lain tak diajak ujung-ujungnya konflik fisik.

Belum lagi, dampak lingkungan yang bakal muncul. Lima belas aliran sungai di kawasan ini bisa akan tergadai jika pemerintah tak tanggap. niz

Mereka khawatir aktivitas perusahaan bijihhh besi pada lahan 3.500 hektare itu merusak hutan keramat di Gunung Tanalang yang menjadi hak ulayat warga.

Pemerintah setempat diminta menghentikan akivitas pertambangan di kaki gunung Meratus ini. Perpanjangan izin KP yang dianggap tidak menghormati hak adat Dayak Pitap karena datang tanpa mengindahkan norma di sana.

Masyarakat adat melalui puluhan perwakilannya secara khusus mendatangi markas Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel di Jalan Garuda Banjarbaru, Senin (14/5). Mereka dipimpin Kepala Adat Dayat Pitap, Murdi dan mantan Wakil Kepala Adat Dayak Pitap, Syahruni.

"Demi leluhur dan tempat keramat Dayak Pitap, kami masyarakat adat secara tegas tidak menerima kehadiran PT Sari Bumi Sinar Karya," kata Murdi dengan suara lantang menyuarakan aspirasi yang merupakan hasil musyawarah adat, Rabu (9/5).

Warga, tidak ingin ada penyesalan di kemudian hari. Apalagi, kawasan yang akan digarap oleh perusahaan pemegang KP tersebut adalah sumber mata air dan daerah resapan. Lokasi pertambangan di sebelah Timur Paringin ini kalau dikeruk, bakal menyisakan kesengsaraan berupa kerusakan lingkungan.

Menurutnya, kawasan tersebut masuk ke kawasan hutan lindung yang harus memiliki izin pinjam pakai. Termasuk izin dari masyarakat adat, mengingat ada puluhan kampung dan ribuan warga yang akan terkena imbas dari aktivitas pertambangan di sana.

Masyarakat adat, kata Murdi, hampir habis kesabarannya. Perjuangan penolakan telah berjalan enam tahun. Sejak 2001, ketika wilayah itu masuk dalam Kabupaten Hulu Sungai Utara, warga telah berupaya menyampaikan keberatan mereka ke pemda setempat.

Namun kata Murdi, tak pernah ada tanggapan. Pemerintah, terkesan melegalkan perbuatan pemilik KP. Padahal, jelas sekali kedatangan mereka menuai masalah.

"Kami khawatir, akan ada hukum rimba yang berlaku kalau sampai sikap kami ini tetap tak digubris," timpal seorang pemuda Dayak Pitap lainnya tak kalah bersemangat. niz

Komunitas Adat Terpencil di Hamak Utara Merantau Setiap Selesai Panen

Selasa, 15 Mei 2007 03:02

ASRAN (40) menyusuri jalan sepi kampung rumah komunitas adat terpencil (KAT) Desa Hamak Utara, Kecamatan Telaga Langsat, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Jumat (11/5) petang. Bapak dua anak ini tak menghiraukan gerimis membasahi bajunya yang kotor.

Ia pulang setelah seharian bekerja di ladang, sekitar 2 kilometer dari hutan yang berbukit. Rekannya Hamri yang sedang santai di beranda rumah bersama seorang cucu, mengajaknya mampir.

Hanya dua lelaki itu dari 113 kepala keluarga penghuni rumah KAT yang tampak, saat BPost berkunjung ke desa itu. Selebihnya, pintu-pintu rumah tertutup rapat. Menurut Hamri, petang menjelang malam, warga banyak yang sudah pulang dari ladang.

Mereka sering berkumpul bersama anak dan istrinya di dalam rumah. Apalagi saat itu hujan gerimis tak henti membasahi desa yang berbatasan dengan Kecamatan Haruyan HST tersebut. Namun bukan berarti ratusan rumah yang pintunya tertutup rapat tak ada penghuninya.

Menurut Asran, sekarang ini banyak penghuni merantau keluar daerah. Mereka meninggalkan rumah untuk menjadi buruh tani atau tambang diberbagai kabupaten di Kalsel dan Kalteng. "Biasanya baru pulang setelah tiga bulan," terang Asran. Mayoritas pekerjaan warga yang mendiami rumah KAT di Hamak Utara ini adalah peladang padi berpindah dan penyadap karet. Sebagian dari mereka tak punya lahan sendiri.

Selama di kampung mereka hanya menjadi buruh saat musim panen. Setelah panen, banyak petani yang merantau keluar daerah mencari sumber penghasilan. Alasannya, bila bertahan di kampung, sulit menafkahi anak istri.

Mereka yang mampu bertahan hidup di kampung, karena masih punya kebun karet yang pohonnya bisa disadap setiap hari. Hasil sadapan setiap harinya, berkisar tiga sampai lima kilogram. 1 kilogram karet harganya berkisar Rp4.500.

Jangan heran apabila menemui rumah bantuan pemerintah pusat itu setelah selesai masa panen, bak ditelantarkan. Rumah KAT di Hamak Utara 113 unit. Sebanyak 102 unit dibangun tahun 2005 dari dana bantuan pemerintah pusat.

Sebelas unit lainnya dibangun 2006 oleh pemerintah kabupaten. Rumah berbahan kayu itu berukuran 6 x 5 m. Mereka yang diberi fasilitas ini, petani miskin yang tak memiliki tempat tinggal. Rata-rata berasal dari Hamak Utara dan desa lain di Kecamatan Telaga Langsat. Selain di Hamak Utara, di HSS juga terdapat rumah KAT di Daha Selatan dan Loksado. ahmad arya

Saturday, May 05, 2007

Sopir Truk Batu Bara Trauma Wali kota minta warga tahan diri

Jumat, 04 Mei 2007 01:45


Siswa Dayak Takut Putus Sekolah

  • Harapkan beasiswa dari pemerintah

BARABAI, BPOST - Kondisi ekonomi keluarga yang memprihatinkan memaksa sekelompok anak Suku Dayak Pegunungan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah yang sekolah di SMPN 1 Batang Alai Timur meminta uluran tangan pemerintah.

Mereka sangat berharap diberi beasiswa agar tetap bisa bersekolah. Widiansyah (15), Junaidi (15), dan Abdi Permana (16) siswa kelas tiga sekolah itu sangat khawatir kalau mereka putus sekolah, hanya karena tak punya biaya.

"Kami ingin terus sekolah, kalau bisa sampai sarjana," kata Widiansyah dibenarkan Junaidi dan Abdi. Bayangan putus sekolah karena orang tua tak mampu membiayai, kini terus menjadi beban pikiran mereka.

Masalahnya, untuk bisa bertahan sekolah di SMP ini saja, mereka harus banting tulang, dengan bekerja sebagai penyadap karet buat biaya makan.

Karena itu, selain minta dibebaskan biaya sekolah, mereka juga berharap ada beasiswa untuk biaya hidup. "Bagi kami hidup pas-pasan tak masalah. Yang penting kalau kami sudah selesai sekolah, bisa membantu saudara kami di atas sana (Pegunungan Meratus) yang juga perlu pendidikan," ungkap Junaidi tulus.

Abdi menambahkan, di desa mereka, Juhu, baru tujuh orang termasuk dirinya yang bisa tamat SD, tiga orang masih sekolah di SMPN 1 Batang Alai Timur dan empat orang masih belajar di SMAN 1 Batang Alai Selatan.

Seperti saudara sekampungnya yang sudah duduk di SMA, apabila lulus SMP, Abdi bertekad melanjutkan ke SMA, bahkan di bercita-cita mau kuliah agar bisa menjadi guru.

Minimnya generasi muda dayak bisa bersekolah sampai jenjang pendidikan menengah atas dan sarjana, dibenarkan ketua Persatuan Adat Dayak (Permada) Kalsel, Zonson Maseri. Menurutnya, hal inilah yang membuat suku mereka masih terbelakang.

"Kita sering dianggap orang bodoh sehingga mudah dibodohi, kita juga sering dianggap suku yang tak beradab, padahal itu karena tidak diberi kesempatan dan bantuan untuk tetap bisa mengecap pendidikan," katanya. yud

Program Sekolah Satu Atap

WAKIL Bupati Hulu Sungai Tengah, H Iriansyah mengatakan harapan siswa dari Dayak Meratus agar dibantu pemerintah dengan besiswa supaya tak putus sekolah wajar. Hanya saja, kemampuan daerah saat ini masih terbatas.

"Kita baru bisa mendekatkan lembaga pendidikan ke daerah terpencil. Untuk memberi beasiswa belum," ujarnya. Program beasiswa saat ini masih mengacu ketentuan umum, dimana yang berhak mendapat adalah siswa tidak mampu yang berprestasi, belum mengarah pada siswa yang tinggal di daerah terisolir.

"Untuk sementara pemerintah juga membebaskan biaya SPP dan berbagai iuran mulai SD sampai SMA. Tapi untuk jaminan biaya hidup siswa bagi yang sekolah di pedalaman belum ada," tambahnya.

Program SD-SMP satu atap diyakini Iriansyah juga sebagai alternatif menjawab harapan mereka mendapatkan beasiswa. Dengan dekatnya sekolah dan tempat tinggal, diharapkan kesulitan hidup yang dialami karena harus berpisah dengan orangtua dapat diatasi.

"Kita akan koordinasikan lagi harapan ini dengan Dinas Pendidikan, semoga saja ada solusi alternatif," pungkasnya.yud

Friday, May 04, 2007

Baluntang, Simbol Status Keluarga Dayak

Jumat, 27 April 2007 19:32

SEBUAH patung kayu ulin sederhana seperempat bagiannya menggambarkan rupa manusia, berhias ukiran tampak kokoh berdiri di halaman depan rumah Rumisah (85), warga Dayak Manyan di Desa Warukin, Kecamatan Tanta, Tabalong.

Nuansa magis langsung terasa saat menatap patung setinggi 4-5 meter yang disebut warga setempat Baluntang. Baluntang merupakan batur atau nisan leluhur atau kerabat yang telah meninggal.

Rumisah, satu dari sedikit warga di sana yang masih memiliki benda itu. Selain nisan, baluntang pun dikenal sebagai simbol status dan derajat pemiliknya dalam masyarakat. Setiap baluntang memiliki ciri khas yang menunjukkan status atau pangkat almarhum saat masih hidup.

Ciri khas dilihat dari pose purwarupa manusia pada patung. Menurut Rumisah yang dulu menyandang status balian tetamba (dukun pengobatan), bila rupa manusia itu tampak berdiri dan menyandang tongkat kecil sebagai kiasan giring-giring, berarti baluntang tersebut adalah batur seorang balian.

Sedangkan yang membawa mandau atau tombak, berarti pejuang atau ksatria. "Bila duduk di kursi berarti seorang pejabat seperti penghulu atau pembakal," jelasnya.

Status sosial masyarakat dayak bisa dilihat dari kepemilikan baluntang. Meskipun orang biasa, bila memiliki baluntang bisa dikatakan sebagai orang berpunya, karena mendirikan balutang perlu kerja keras dan kesiapan dana besar mecapai puluhan juta bahkan ratusan juta, bila diukur dengan nilai uang saat ini.

Pelaksanannyapun harus melewati upacara atau aruh adat yang mengundang seluruh kerabat, tetuha bahkan balian atau dukun dari kampung lain. Deny Djohn, tokoh adat warga dayak dari Desa Bajut, Warukin memaparkan pendirian baluntang sangat sakral karena menggambarkan kesempurnaan proses pengantaran arwah ke nirwana.

Karenanya meskipun besar biayanya, tetap diusahakan dilaksanakan. "Bahkan bisa saja satu baluntang dibangun untuk lebih dari satu leluhur, asalkan masih satu garis keturunan," ujarnya.

Meskipun sederhana, baluntang pernah menjadi incaran pencuri sekitar tahun 1970-an karena nilai seninya. Karena itu banyak baluntang milik warga yang hilang dicuri dan dijual keluar negeri. Pemkab Tabalong berupaya melindungi aset budaya daerah ini dengan menjadikan desa itu sebagai kawasan cagar budaya. anjar wulandari

Kepala Adat Dibebaskan Ditangkap Saat Membawa Senapan Rakitan di Pasar Birayang

Jumat, 27 April 2007

Banjarmasin, Kompas - Kepolisian Resor Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, membebaskan Rudiansyah, kepala adat Desa Pambakulan, dan Effendi, warga Desa Mantin, dari tahanan, Kamis (26/4), dengan alasan keduanya sangat diperlukan untuk memimpin upacara adat. Keduanya ditahan karena membawa senjata api tanpa izin.

Rudiansyah dan Effendi sudah mendekam selama 12 hari di Rumah Tahanan Barabai, Hulu Sungai Tengah. Mereka ditahan polisi karena didapati membawa senapan rakitan di Pasar Birayang, Kecamatan Batang Alai Selatan, Sabtu (14/4).

Karena Rudiansyah dan Effendi merupakan tokoh penting bagi masyarakat desa di kaki Pegunungan Meratus itu, Rabu lalu sekitar 100 warga Dayak yang tergabung dalam Persatuan Masyarakat Adat (Permada) Kalsel mendatangi Polres Hulu Sungai Tengah untuk meminta agar penahanan Rudiansyah dan Effendi ditangguhkan.

Menurut warga suku Dayak itu, Rudiansyah dan Effendi sangat diperlukan untuk memimpin upacara adat Mahanyari Banih yang akan digelar 5 Mei mendatang. Dengan alasan itu, polisi akhirnya mengabulkan tuntutan warga.

Kepala Polres Hulu Sungai Tengah Ajun Komisaris Besar Eko Krismianto menjelaskan, penahanan ditangguhkan karena sudah ada surat permohonan dan jaminan dari keluarga kedua tersangka.

Semua kepala adat di Hulu Sungai Tengah juga sudah menyampaikan surat kesediaan untuk menyosialisasikan aturan tentang larangan membawa senjata rakitan untuk berburu ke tempat keramaian, kecuali saat bekerja di rumah ladang atau hutan.

Tidak tahu ada larangan

Karena melanggar aturan itulah, menurut Krismianto, Rudiansyah dan Effendi ditangkap. Apalagi, warga Birayang belum lepas dari kekhawatiran karena beberapa waktu lalu di daerah itu terjadi perampokan dengan menggunakan senapan rakitan.

"Keduanya ditangkap polisi untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan karena mereka berada di tengah keramaian pasar," kata Krismianto.

Ketua Permada Kalsel Zonson Masri menduga Rudiansyah dan Effendi tidak mengetahui adanya larangan membawa senjata api rakitan. Pasalnya, membawa senjata rakitan untuk berburu babi hutan sudah merupakan hal yang lumrah bagi warga di desa mereka.

"Sebaiknya, kalau ada warga yang membawa senjata tidak langsung ditangkap, tetapi diberi peringatan dan perjanjian untuk tidak mengulanginya lagi. Cara seperti itu akan lebih mendidik," kata Zonson. (FUL)

Thursday, May 03, 2007

Dayak Meratus Ingin Desa

Rabu, 25 April 2007 01:32

Kotabaru, BPost
Kondisi geografis di kaki Gunung Meratus, membuat warga Dayak Dusun Hulu Sampanahan, Desa Limbur, Kecamatan Hampang menginginkan membentuk desa sendiri.

Keinginan itu disampaikan perwakilan masyarakat Dayak Dusun Hulu Asransyah saat berupaya menemui Bupati Kotabaru H Sjachrani Mataja beberapa waktu lalu di kantor Pemkab Kotabaru.

Menurutnya, Dayak Dusun Hulu Sampanahan memang harus membentuk desa sendiri agar segala urusan administrasi berjalan cepat dan lancar, sebab untuk menuju Desa Limbur diperlukan waktu lima jam dengan jalan kaki.

"Kita harus menerobos hutan belantara dan mendaki lereng pegunungan Meratus," katanya.

Menurutnya, saat ini dusun dihuni sekitar 105 kepala keluarga atau 315 jiwa.

Mata pencaharian warga, katanya, adalah berladang serta memanfaatkan hasil hutan seperti damar.

Kehidupan warga sangat memprihatinkan. Khususnya di bidang pendidikan, pasalnya di dusun itu tidak ada sekolah dasar dan puskesmas pembantu.

Tidak adanya sarana penunjang kesehatan membuat warga kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan, sehingga memilih menggunakan pengobatan tradisional. dhs