Sunday, July 08, 2007

Masyarakat Adat dan Pembakaran Lahan Oleh: Ir Mahrus Aryadi MSc Dosen Fahutan Unlam

Thursday, 05 July 2007 01:59

Opini ini saya mulai dengan mengutip kata bijak Ted Perry: "Hutan dan manusia merupakan satu kesatuan dari sebuah keseluruhan. Dan, manusia hanyalah secarik benang dari jaring khidupan. Apa pun yang dilakukannya di jaring itu, akan mengena pada dirinya." Makna yang dalam dari pernyataan itu, menjadi kenyataan dalam kehidupan kita sehari-hari. Salah satunya adalah pembakaran lahan dan hutan yang terjadi setiap tahun dengan memunculkan berbagai permasalahan beserta turunannya seperti meningkatnya penyakit ISPA, kecelakaan lalu lintas di darat-air-udara, penundaan dan pembatalan penerbangan dan seterusnya.

Membicarakan masyarakat adat --ada yang menyebutnya masyarakat lokal-- menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai masyarakat yang mempunyai sistem ekonomi sederhana, lebih banyak dikuasai adat istiadat lama. Jika dikaitkan dengan keberadaan masyarakat Dayak di Kalimantan, maka pengertian di atas masih sejalan. Khususnya dalam pemenuhan kebutuhan hidup, yaitu berladang berpindah.

Bagi peladang, pembakaran ladang merupakan strategi paling sesuai dengan keadaan mereka baik teknologi, ketersediaan tenaga kerja dan waktu yang tersedia. Di samping itu, pada fase pembakaran terlaksana kegiatan sosial-budaya yang turun-menurun mereka ikuti. Dalam kegiatan pembakaran lahan, peladang umumnya telah mengetahui hari dan waktu yang baik sesuai perhitungan mereka. Jadi secara normatif dan empiris, pembakaran lahan oleh peladang bukan sebagai kesalahan apalagi untuk dijadikan kambing hitam! Bagaimana dengan perusahaan perkebunan? HPHTI?

Siapa bertanggungjawab?

Menurut saya, sumber utama permasalahan bencana kabut asap adalah kebijakan pemerintah (pusat dan daerah): yaitu negara menguasai sumberdaya alam yang diartikan sebagai pemilik satu-satunya yang berhak mengatur penggunaan dan pemanfaatannya, khususnya hutan dan lahan. Jika memang negara menguasai, mestinya mampu mengelolanya. Dalam kenyataannya, negara (pemerintah) tidak mampu mengelolanya sehingga SDA yang seharusnya sebagai sumber kemakmuran menjadi sumber bencana yang tiada henti.

Jika masyarakat diposisikan hanya sebagai objek dalam negara ini, mengapa ketika terjadi bencana mereka yang harus bertanggungjawab? Mengapa masyarakat yang menanggung penderitaan? Bagaimana mungkin masyarakat berpartisipasi (aktif) kalau mereka ‘dibuat’ untuk tidak merasa memiliki. Semestinya pemerintah semakin sadar, tanpa partisipasi masyarakat tidak mungkin dapat mengelola lahan dan hutan ini dengan baik.

Adanya inisiatif pembuatan Raperda Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan oleh DPRD Kalsel, patut kita dukung dan saling sumbang saran untuk menyempurnakannya. Namun selayaknya, raperda disesuaikan dengan sumber permasalahan (objek, tempat dan waktu) yang terjadi. Untuk itu, materinya melingkupi semua objek seperti perkebunan, HPHTI maupun masyarakat.

Khusus untuk masyarakat peladang, perda sebaiknya berisi aturan yang menggunakan pendekatan partisipatif berbasis desa. Sebagai contoh, dalam perda perlu adanya fasilitas tersusunnya Peraturan Desa (Perdes) tentang pengaturan pembakaran lahan berikut sanksinya yang ditentukan oleh masyarakat sendiri, mekanisme hubungan semua pihak yang terlibat dan peran yang diembannya. Termasuk penghargaan dari pemerintah bagi desa yang dinilai mampu menekan terjadinya ke(pem)bakaran hutan dan lahan. Untuk mempercepat proses ini, pemda dan DPRD tidak perlu sungkan meminta dukungan pihak ketiga. Misalnya, NGO yang peduli lingkungan baik dari luar maupun dalam negeri.

e-mail: m_aryadi@hotmail.com


Copyright © 2003 Banjarmasin Post

No comments: