Jumat, 13 Januari 2006 03:02
--------------------------------------------------------------------------------
Adat Sunatan Anak
Oleh:
Anggraini
Pemerhati budaya
Masyarakat kota telah maju. Jika akan menyunat putranya, cukup datang ke Puskesmas atau rumah sakit. Di tempat itu tersedia peralatan dan paramedis, biayanya pun tidak terlalu mahal.
Urang Banjar tempo dulu apalagi yang tinggal di perdesaan terpencil jauh dari RS harus mengeluarkan biaya besar, untuk upacara khusus. Satu atau tiga anak lelaki berusia lima - tujuh tahun disiapkan kakek atau nenek untuk basunat baimbai untuk menghemat biaya.
Sambil berendam di air dingin dalam panai (baskom dari gerabah), anak-anak itu dihibur oleh kakek/neneknya dengan cerita indah. Berendam dilakukan menjelang subuh agar daging kemaluannya keriput, sehingga tidak akan sakit saat disunat.
Pagi harinya, anak-anak itu diberi pakaian bagus, cincin dan gelang emas, dipersolek bagai mempelai dan di lehernya digantungi sebuah azimat penangkal setan. Di depan undangan yang memenuhi rumah, anak-anak itu didudukkan di atas sasanggan terbalik, diselimuti bahalai (kain batik panjang) yang serba mahal.
Keadaan menjadi tegang ketika panyunatan (orang yang menyunat) datang dengan perlengkapannya. Dengan senyum simpul dan keramahannya, panyunatan meyakinkan anak-anak itu bahwa sunatan itu tidak akan sakit dan mengalami cedera
Sunat dilakukan tanpa pembiusan sebagaimana dilakukan ahli kesehatan sekarang. Dengan peralatan tradisional seadanya, pengkhitanan pun dilakukan. Pelaksanaannya cukup cepat. Perawatannya pun tradisional dan dilakukan oleh panyunatan. Usai sunatan, Tuan Guru membaca doa dan melafalkan dua kalimah syahadat, menandakan mereka telah menjadi anak muslim sekaligus memberikan papadah (nasihat) kepada mereka.
Ada beberapa pantangan harus dijalani oleh anak-anak pascakhitanan itu. Di antaranya pamali menyantap ikan baung, tidur miring, melangkah kotoran ayam dan lain. Kepada mereka dianjurkan banyak mengaji/membaca Alquran.
Acara terakhir menghidangkan wadai khusus, yakni nasi lakatan balamak yang ditempa dan dipotong persegi empat, di atasnya dihiasi inti nyiur bagula habang, lengkap dengan kopi atau teh manis. Tuan Guru membacakan doa selamat dan diakhiri makan bersama.
Babaikan
Bilamana terjadi perkelahian antara dua orang atau dua kelompok keluarga, baik karena percekcokan dan caci mencaci atau penganiayaan dan pembunuhan, atau sopir yang menyerempet anak-anak sehingga memicu perkelahian dan dendam khasumat, maka tampil tetuha kampung. Bisa pula pembakal atau tuan guru yang berwibawa di kawasan itu.
Persengketaan dilerai dan selama masih dapat diselesaikan secara kekeluargaan, sengketa ini tidak akan dibawa kepada penguasa atau kepolisian. Kantor polisi adalah tempat pengaduan terakhir, bila adat babaikan (menyelesaikan persengketaan) ini tak bisa ditempuh.
Biasanya tetuha kampung tersebut, segera mendamaikan kedua belah pihak. Adat ini harus ditaati oleh orang yang berkelahi atau mereka yang terlibat dalam persengketaan itu, antarkelompok, antarkeluarga. Mereka diarahkan dan dinasihati oleh tetuha sebagai juru damai itu, sesuai Ajaran Islam bahwa lazimnya manusia selalu khilaf dan telanjur membuat berbagai kesalahan sehingga terjadinya percekcokan dan perkelahian. Maka, semuanya harus sadar dan bertobat, takut kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai firman Nya dan sabda Rasul Nya. Harus saling memaafkan dan tidak boleh menaruh dendam atau membuat perkelahian baru. Pokoknya Ajaran Islam sangat ditekankan dalam adat babaikan ini.
Menjadi kebiasaan pula dalam hal ini, untuk yang muda lebih dahulu mengulurkan tangannya memohon ampun kepada yang tua, dan yang tua meminta maaf kepada yang muda. Hal ini diikuti oleh semua pihak, baik lelaki maupun perempuan dari keluarga yang terlibat. Tuan Guru membacakan doa selamat seraya memercikkan air wewangian ke atas kepala hadirin, sebagai pertanda telah berakhirnya persengketaan.
Mailangi
Jika sebuah keluarga mengalami musibah atau menderita penyakit kronis yang diduga akan lambat sembuhnya, maka para jiran/tetangga mengunjunginya. Selain membawakan buah tangan berupa kue yang lezat, juga biasa memberikan bahan pengobatan tradisional. Mereka datang bukan memberikan obat seperti zaman sekarang. Kalau pun ada, cuman beberapa butir pil Kina yang dibeli di pasar, karena masa itu belum ada dokter atau Puskesmas.
Selain uang sekadarnya, mereka memberikan ramuan obat tradisional berupa daun/umbi jaringau, pirawas dan langgundi. Urang Banjar meyakini, ketiga jenis tumbuhan obat itu memiliki khasiat magis yang erat hubungannya dengan mitos sakralnya Putri Junjung Buih dan Pangeran Surianata di Candi Agung (Nagaradipa) masa lalu.
Urang pintar (dukun) dan Tuan Guru juga datang memberikan banyu tawar untuk diminum dan diuleskan ke seluruh tubuh si sakit. Mereka semua berupaya dan berdoa demi kesembuhan penderita. Keluarga dekat yang rela menginap menemani si sakit, diharuskan bermalam setidaknya dua malam berturut-turut.
Pada malam-malam keprihatinan itu lazimnya dilakukan Shalat Hajat di samping membaca Alquran disertai doa agar si sakit segera pulih kesehatannya. Sikap kebersamaan ini merupakan sugesti dan trapi bagi si sakit demi kesembuhannya.
Kepedulian yang religius begini juga dilakukan keluarga Urang Banjar apabila warganya mengalami musibah kebakaran, kebanjiran, kekaraman perahu di sungai atau bencana alam lainnya. Tanpa diundang, mereka datang sukarela ikut membantu meringankan beban penderitaan warga sejirannya.
--------------------------------------------------------------------------------
Copyright © 2003 Banjarmasin Post
Friday, February 16, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment