Sabtu, 17 Maret 2007
Pontianak, Kompas - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara melakukan penguatan organisasi dan penguatan partisipasi politik sebagai bentuk perlawanan atas penindasan politis yang dialami masyarakat adat selama ini.
"Agenda kongres kali ini, ya, dua hal itu, di saat seluruh masyarakat harus menghadapi kebangkrutan ekonomi seperti sekarang ini," kata Wakil Ketua I Kongres Masyarakat Adat Nusantara III Mina Susana Setra, Jumat (16/3) di Pontianak, Kalimantan Barat. Kongres yang berlangsung pada 17-20 Maret 2007 ini merupakan lanjutan dari kongres pertama di Yogyakarta (1999) dan kongres kedua di Lombok (2003). Kongres ketiga akan dihadiri sekitar 1.500 orang perwakilan masyarakat adat di Indonesia.
Menurut Mina, penindasan secara politis bagi masyarakat adat masih terjadi di sejumlah wilayah yang tereksploitasi sumber daya alamnya dan masyarakat adat kurang diperhatikan kepentingannya. Eksploitasi pihak luar itu sering menimbulkan kerusakan alam yang akhirnya merugikan masyarakat adat.
Mina menjelaskan, masyarakat adat yang memperjuangkan kepentingannya selama ini masih menemui kendala ketika pihak yang mengeksploitasi sumber daya alam setempat memanfaatkan kekuasaan secara politis untuk mengesampingkan kepentingan mereka.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR (salah satunya membidangi lingkungan) Sonny Keraf, Jumat malam di Jakarta, menyambut baik kongres tersebut dan menyatakan pelibatan masyarakat adat atau lokal penting agar mereka menerima manfaat langsung. Selama ini mereka lebih sering menjadi korban, termasuk pencemaran lingkungan dari aktivitas usaha.
Menurut Sonny Keraf, kurangnya kepedulian pemerintah terhadap lingkungan hidup tercermin pada lambannya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Sumber Daya Alam. Seretnya penanganan RUU sekaligus cerminan adanya perbedaan sikap tentang masyarakat adat. Pembahasan lebih dari tiga tahun tentang RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang tak kunjung usai, diwarnai tarik ulur pengaturan hak masyarakat adat dan kelembagaannya. Departemen Kehutanan bahkan mempersoalkan pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat adat, sedangkan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral mengkhawatirkan eksploitasi hutan oleh masyarakat adat akan dicampuri pihak lain.
Kasus di lapangan
Pengabaian peran masyarakat adat, menurut Mina, terlihat pada kasus pembukaan perkebunan sawit di Kabupaten Bengkayang, Kalbar, yang akhirnya memicu konflik antara pengusaha dan masyarakat adat setempat.
"Penyelesaian konflik akhirnya tidak berpihak kepada masyarakat adat karena kepentingan pengusaha terus dijalankan dengan pengawalan aparat keamanan. Bentuk penindasan politis semacam ini yang tak bisa dihadapi masyarakat adat selama ini," katanya. (WHY/GSA/NAW)