Minggu, 05 Nopember 2006 00:18
PALANGKA - Rapat Pimpinan II Pengurus Besar Badan Agama Kaharingan Dayak Indonesia Pusat dan Kongres I Pengurus Besar Lembaga Tertinggi Majelis Agama Kaharingan Republik Indonesia (PBLT-MAKRI) di Palangka Raya, Jumat (3/11), menjadikan Kalteng sebagai pusat Kaharingan di Indonesia.
Ketua Umum PBLT-MAKRI Lubis mengatakan, hanya Kalteng pula yang mempertahankan kemurnian ajaran Kaharingan.
Menurutnya, tujuan dua kegiatan itu untuk menyatukan visi, misi umat Kaharingan dan meningkatkan peran PBLT MAKRI, sebagai salah satu lembaga keagamaan yang perlu didukung maupun ditingkatkan peranannya oleh Pemerintah RI demi keutuhan nega Republik Indonesia. "Sebab, penganut Kaharingan tidak ingin suatu saat nanti memilih perjuangan seperti saudara-saudara kita di Papua, apalagi sampai memimpikan Negara Republik Borneo Merdeka," kata Lubis.
Asisten III Setwilda Kalteng Abdi Unjung menyampaikan permohonan maaf Gubernur Agustin Teras Narang yang tak bisa hadir dalam acara tersebut. sut
Copyright © 2003 Banjarmasin Post
Friday, November 24, 2006
Sekolah Warga Adat Terkendala Akta Nikah
Jumat, 03 Nopember 2006 00:38:23
Ratusan pasangan suami istri di permukiman Balai Adat Loksado belum memiliki akta nikah resmi dari badan kependudukan dan catatan sipil (Badukcapil) setempat. Akibatnya, mereka terkendala mengurus berbagai pelayanan publik yang diberikan Pemerintah Daerah Hulu Sungai Selatan.
Menurut Mindri, Pembakal Desa Tumingki, sebagian besar pasangan suami istri balai adat di Loksado belum terdaftar di catatan sipil karena menikah hanya secara adat.
Hal itu ternyata berdampak sulitnya warga adat memasukkan anak mereka bersekolah atau membuat kartu keluarga atau bahkan mengurus pinjaman di bank.
"Untuk mengurus kartu keluarga kadang ditanyakan akta nikah oleh petugas, untuk membuktikan resmi tidaknya pasangan suami istri tersebut," ujar Mindri didampingi Rahmad Iriadi, Pembina masyarakat adat Loksado, Kamis (2/11).
Apalagi, imbuhnya, saat ini ada program santunan kematian kepada warga dengan syarat ber-KTP HSS.
Rahmad menimpali, seharusnya pemkab proaktif mengatasi masalah dialami warga pedalaman ini, khususnya yang menganut Kaharingan.
"Jangan sampai ada perbedaan, adakan penyuluhan ke balai-balai adat," katanya
Pada 2005 lalu Pemkab HSS memang pernah menggelar nikah massal dan diberikan akta nikah. Namun warga adat tidak diikutsertakan.
Kepala Badukcapil HSS, Rahman Farisi, mengakui masyarakat adat Kaharingan belum punya akta nikah. Kendalanya, Badukcapil tak punya dasar untuk memberikan akta nikah kepada mereka.
Sebab, hanya beberapa agama yang punya dasar untuk diberikan akta nikah yakni Kristen Protestan, Katholik, Buddha dan Hindu. Terakhir Kong Hu Chu juga masuk sebagai agama yang diakui untuk mendapatkan akta nikah oleh catatan sipil.
"Ini persoalan yang dihadapi secara nasional di daerah lain yang ada masyarakat adatnya juga mengalami hal serupa," kata Rahman.
Pihaknya sempat membawa masalah ini ke tingkat nasional, yang ternyata juga dialami daerah lain. Namun sampai kini belum terpecahkan.
Rahman membantah akta nikah dikaitkan dengan pengurusan KK atau KTP. "Kalau KK dan KTP itu hak sebagai penduduk, tak ada kaitan dengan akta nikah. ary
Copyright © 2003 Banjarmasin Post
Ratusan pasangan suami istri di permukiman Balai Adat Loksado belum memiliki akta nikah resmi dari badan kependudukan dan catatan sipil (Badukcapil) setempat. Akibatnya, mereka terkendala mengurus berbagai pelayanan publik yang diberikan Pemerintah Daerah Hulu Sungai Selatan.
Menurut Mindri, Pembakal Desa Tumingki, sebagian besar pasangan suami istri balai adat di Loksado belum terdaftar di catatan sipil karena menikah hanya secara adat.
Hal itu ternyata berdampak sulitnya warga adat memasukkan anak mereka bersekolah atau membuat kartu keluarga atau bahkan mengurus pinjaman di bank.
"Untuk mengurus kartu keluarga kadang ditanyakan akta nikah oleh petugas, untuk membuktikan resmi tidaknya pasangan suami istri tersebut," ujar Mindri didampingi Rahmad Iriadi, Pembina masyarakat adat Loksado, Kamis (2/11).
Apalagi, imbuhnya, saat ini ada program santunan kematian kepada warga dengan syarat ber-KTP HSS.
Rahmad menimpali, seharusnya pemkab proaktif mengatasi masalah dialami warga pedalaman ini, khususnya yang menganut Kaharingan.
"Jangan sampai ada perbedaan, adakan penyuluhan ke balai-balai adat," katanya
Pada 2005 lalu Pemkab HSS memang pernah menggelar nikah massal dan diberikan akta nikah. Namun warga adat tidak diikutsertakan.
Kepala Badukcapil HSS, Rahman Farisi, mengakui masyarakat adat Kaharingan belum punya akta nikah. Kendalanya, Badukcapil tak punya dasar untuk memberikan akta nikah kepada mereka.
Sebab, hanya beberapa agama yang punya dasar untuk diberikan akta nikah yakni Kristen Protestan, Katholik, Buddha dan Hindu. Terakhir Kong Hu Chu juga masuk sebagai agama yang diakui untuk mendapatkan akta nikah oleh catatan sipil.
"Ini persoalan yang dihadapi secara nasional di daerah lain yang ada masyarakat adatnya juga mengalami hal serupa," kata Rahman.
Pihaknya sempat membawa masalah ini ke tingkat nasional, yang ternyata juga dialami daerah lain. Namun sampai kini belum terpecahkan.
Rahman membantah akta nikah dikaitkan dengan pengurusan KK atau KTP. "Kalau KK dan KTP itu hak sebagai penduduk, tak ada kaitan dengan akta nikah. ary
Copyright © 2003 Banjarmasin Post
Friday, November 10, 2006
TRADISI RAMADHAN
Jumat, 20 Oktober 2006
M Syaifullah
Pada bulan suci Ramadhan ini, warga Kalimantan Selatan tidak hanya berjuang melawan hawa nafsu, rasa lapar, dan haus. Mereka juga terpaksa menghirup asap pekat.
Bencana asap akibat hebatnya kebakaran hutan, semak belukar, dan lahan di berbagai bagian provinsi itu memang sudah berlangsung sejak awal Ramadhan hingga beberapa hari menjelang Lebaran ini.
Sejak bulan suci tiba, aktivitas dan kegiatan ibadah yang banyak dilakukan bersama-sama di masjid atau tempat umum lainnya selalu diawali dengan usaha menerobos kabut asap sejak dari halaman rumah. Dampaknya, banyak yang terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Namun, memasuki 10 hari terakhir puasa, warga sepertinya tak peduli lagi dengan udara yang tercemar. Di tengah serbuan asap pekat, banyak yang nekat keluar rumah malam hari hingga menjelang subuh.
Mereka bersikeras keluar rumah karena tidak ingin melepaskan sejumlah tradisi dalam bulan puasa. Salah satunya adalah perayaan malam salikuran—malam kedua puluh satu—yang berlangsung hingga akhir Ramadhan.
Masyarakat Banjar punya kegiatan yang khas pada malam salikuran, yakni bagarakan (berkarnaval atau pawai) di jalan-jalan utama di daerah mereka masing-masing. Pada masa lalu, kegiatan ini bahkan dilakukan dengan cara keliling dari kampung ke kampung.
Kini, acara salikuran juga jadi agenda wisata. Yang terbesar berlangsung di Lapangan Murdjani yang terletak di depan Kantor Wali Kota Banjarbaru pada Sabtu (14/10) malam hingga Minggu dini hari.
Dalam karnaval ada dua kegiatan yang paling menonjol, yakni tradisi bagarakan tanglong (karnaval lampion) berukuran besar dan bagarakan sahur (membangunkan warga untuk sahur). Di Banjarbaru, karnaval itu sudah dilombakan dalam enam tahun terakhir.
Bertabur warna
Tidak seperti biasa, malam itu Lapangan Murdjani bertabur cahaya. Atmosfer itu dibangun oleh puluhan tanglong yang memendarkan pijar api minyak tanah aneka warna.
Lampion-lampion berukuran besar itu juga beragam bentuknya. Ada yang berbentuk masjid, bentuk pria yang tengah duduk membaca Al Quran, atau unta dan pohon kurma.
Namun, ada juga yang berkreasi dengan tidak merujuk pada simbol peribadatan. Ada lampion berbentuk pohon angker, hantu pocong, dan ada juga lampion tokoh kartun idola anak-anak, Spongebob.
Kegiatan ini memang bukan kelas kampung lagi. Tradisi warga Banjar tersebut diikuti 86 peserta dari berbagai kelompok remaja, kampung, atau kecamatan se-Kalimantan Selatan.
Selain beraksi di Lapangan Murdjani, para peserta juga berpawai di sepanjang jalan sejauh lebih dari 10 kilometer hingga Bundaran Tugu Intan di perbatasan Martapura. Pawai berlangsung lebih dari tiga jam. Ribuan warga pun memadati tepian jalan, setia menunggu arak-arakan.
Seperti di Banjarbaru, kedua tradisi itu juga berlangsung di kabupaten lainnya, seperti di Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Hulu Sungai Selatan. Bahkan, Kandangan, ibu kota Hulu Sungai Selatan, memiliki tradisi bagarakan dengan mengarak sepasang naga, bagarak naga laki dan naga bini.
Tradisi ini berawal dari legenda sepasang naga yang oleh sebagian warga Kalimantan Selatan dipercaya punya kaitan dengan keutuhan dan keharmonisan keluarga. Untuk mengingat kembali legenda itu, bagarakan sepasang naga ini ditampilkan setiap malam salikuran.
Kertas bekas
Tanglong biasanya dibuat dari kertas bekas atau kertas minyak berwarna. Di suatu kampung, pembuatannya biasanya dilakukan beramai-ramai oleh warga.
Satu tanglong memerlukan biaya Rp 500.000 hingga Rp 3 juta. "Kami bisa membuat tanglong berbeda-beda setiap tahun karena terus didukung warga," kata Anto, pembuat tanglong tadarusan Al Quran dari Kelompok Remaja Muslim Intan Amaco, Banjarbaru.
Tanglong diperkirakan bukan produk asli budaya Banjar. Dia diserap dari bentuk atau model lampu hias bangsa atau suku lain, seperti dari masyarakat China. Bagi masyarakat Banjar, tanglong semata-mata merupakan aksesori beranda dan halaman rumah.
Biasanya di halaman juga diletakkan barisan lampu suluh selama bulan Ramadhan, yang membuat kampung-kampung warga Banjar menjadi semarak.
"Tadinya warga lebih mengenal kegiatan memasang lampu damar atau badadamaran di depan rumah mereka. Kegiatan itu kemudian berubah menjadi pemasangan lampu-lampu tanglong berbahan bakar minyak tanah," kata M Syafri Kadir, budayawan Banjar, di Banjarbaru.
Setelah jaringan listrik dan kemudian televisi menyebar ke kampung-kampung, kebiasaan itu banyak ditinggalkan. Warga tidak lagi perlu dibangunkan karena mereka banyak yang menonton televisi hingga jadwal makan sahur tiba.
Tanglong dan bagarakan sahur kembali menemukan "rohnya" setelah dijadikan kegiatan seni dan budaya tahunan yang bernapaskan keagamaan. Kegiatan itu juga jadi ajang silaturahmi sesama warga dan memperkaya wisata budaya Banjar.
Tradisi tanglong ini bukan sekadar keramaian, melainkan sarat dengan pesan moral agama dan kemasyarakatan dalam kreasi-kreasinya. Harapannya tentu bencana kabut asap tidak menjadi "tradisi" tahunan yang menyiksa.
M Syaifullah
Pada bulan suci Ramadhan ini, warga Kalimantan Selatan tidak hanya berjuang melawan hawa nafsu, rasa lapar, dan haus. Mereka juga terpaksa menghirup asap pekat.
Bencana asap akibat hebatnya kebakaran hutan, semak belukar, dan lahan di berbagai bagian provinsi itu memang sudah berlangsung sejak awal Ramadhan hingga beberapa hari menjelang Lebaran ini.
Sejak bulan suci tiba, aktivitas dan kegiatan ibadah yang banyak dilakukan bersama-sama di masjid atau tempat umum lainnya selalu diawali dengan usaha menerobos kabut asap sejak dari halaman rumah. Dampaknya, banyak yang terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Namun, memasuki 10 hari terakhir puasa, warga sepertinya tak peduli lagi dengan udara yang tercemar. Di tengah serbuan asap pekat, banyak yang nekat keluar rumah malam hari hingga menjelang subuh.
Mereka bersikeras keluar rumah karena tidak ingin melepaskan sejumlah tradisi dalam bulan puasa. Salah satunya adalah perayaan malam salikuran—malam kedua puluh satu—yang berlangsung hingga akhir Ramadhan.
Masyarakat Banjar punya kegiatan yang khas pada malam salikuran, yakni bagarakan (berkarnaval atau pawai) di jalan-jalan utama di daerah mereka masing-masing. Pada masa lalu, kegiatan ini bahkan dilakukan dengan cara keliling dari kampung ke kampung.
Kini, acara salikuran juga jadi agenda wisata. Yang terbesar berlangsung di Lapangan Murdjani yang terletak di depan Kantor Wali Kota Banjarbaru pada Sabtu (14/10) malam hingga Minggu dini hari.
Dalam karnaval ada dua kegiatan yang paling menonjol, yakni tradisi bagarakan tanglong (karnaval lampion) berukuran besar dan bagarakan sahur (membangunkan warga untuk sahur). Di Banjarbaru, karnaval itu sudah dilombakan dalam enam tahun terakhir.
Bertabur warna
Tidak seperti biasa, malam itu Lapangan Murdjani bertabur cahaya. Atmosfer itu dibangun oleh puluhan tanglong yang memendarkan pijar api minyak tanah aneka warna.
Lampion-lampion berukuran besar itu juga beragam bentuknya. Ada yang berbentuk masjid, bentuk pria yang tengah duduk membaca Al Quran, atau unta dan pohon kurma.
Namun, ada juga yang berkreasi dengan tidak merujuk pada simbol peribadatan. Ada lampion berbentuk pohon angker, hantu pocong, dan ada juga lampion tokoh kartun idola anak-anak, Spongebob.
Kegiatan ini memang bukan kelas kampung lagi. Tradisi warga Banjar tersebut diikuti 86 peserta dari berbagai kelompok remaja, kampung, atau kecamatan se-Kalimantan Selatan.
Selain beraksi di Lapangan Murdjani, para peserta juga berpawai di sepanjang jalan sejauh lebih dari 10 kilometer hingga Bundaran Tugu Intan di perbatasan Martapura. Pawai berlangsung lebih dari tiga jam. Ribuan warga pun memadati tepian jalan, setia menunggu arak-arakan.
Seperti di Banjarbaru, kedua tradisi itu juga berlangsung di kabupaten lainnya, seperti di Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Hulu Sungai Selatan. Bahkan, Kandangan, ibu kota Hulu Sungai Selatan, memiliki tradisi bagarakan dengan mengarak sepasang naga, bagarak naga laki dan naga bini.
Tradisi ini berawal dari legenda sepasang naga yang oleh sebagian warga Kalimantan Selatan dipercaya punya kaitan dengan keutuhan dan keharmonisan keluarga. Untuk mengingat kembali legenda itu, bagarakan sepasang naga ini ditampilkan setiap malam salikuran.
Kertas bekas
Tanglong biasanya dibuat dari kertas bekas atau kertas minyak berwarna. Di suatu kampung, pembuatannya biasanya dilakukan beramai-ramai oleh warga.
Satu tanglong memerlukan biaya Rp 500.000 hingga Rp 3 juta. "Kami bisa membuat tanglong berbeda-beda setiap tahun karena terus didukung warga," kata Anto, pembuat tanglong tadarusan Al Quran dari Kelompok Remaja Muslim Intan Amaco, Banjarbaru.
Tanglong diperkirakan bukan produk asli budaya Banjar. Dia diserap dari bentuk atau model lampu hias bangsa atau suku lain, seperti dari masyarakat China. Bagi masyarakat Banjar, tanglong semata-mata merupakan aksesori beranda dan halaman rumah.
Biasanya di halaman juga diletakkan barisan lampu suluh selama bulan Ramadhan, yang membuat kampung-kampung warga Banjar menjadi semarak.
"Tadinya warga lebih mengenal kegiatan memasang lampu damar atau badadamaran di depan rumah mereka. Kegiatan itu kemudian berubah menjadi pemasangan lampu-lampu tanglong berbahan bakar minyak tanah," kata M Syafri Kadir, budayawan Banjar, di Banjarbaru.
Setelah jaringan listrik dan kemudian televisi menyebar ke kampung-kampung, kebiasaan itu banyak ditinggalkan. Warga tidak lagi perlu dibangunkan karena mereka banyak yang menonton televisi hingga jadwal makan sahur tiba.
Tanglong dan bagarakan sahur kembali menemukan "rohnya" setelah dijadikan kegiatan seni dan budaya tahunan yang bernapaskan keagamaan. Kegiatan itu juga jadi ajang silaturahmi sesama warga dan memperkaya wisata budaya Banjar.
Tradisi tanglong ini bukan sekadar keramaian, melainkan sarat dengan pesan moral agama dan kemasyarakatan dalam kreasi-kreasinya. Harapannya tentu bencana kabut asap tidak menjadi "tradisi" tahunan yang menyiksa.
Subscribe to:
Posts (Atom)