Kamis, 6 Desember 2007
Radar Banjarmasin
Masyarakat adat Pegunungan Meratus minta sumbangan seng untuk atap Balai Adat. Ada apa dengan masyarakat adat tersebut, sehingga untuk merenovasi balai adat mereka harus meminta sumbangan dengan pihak lain. Bagaimana jika mereka harus membangun balai adat baru, mungkin lebih tidak sanggup lagi. Masyarakat minta sumbangan, apalagi kepada pemerintah, bukanlah perbuatan yang dilarang ataupun merendahkan masyarakat tersebut. Tapi, sumbangan untuk sesuatu yang menjadi bagian dari budaya masyarakat itu terasa menyedihkan. Apalagi keberadaan balai adat tersebut termasuk bagian budaya yang sangat vital dan penting.
Masyarakat adat Maratus, dengan asumsi masih dalam budaya mereka, tetapi sudah tidak mampu lagi menopang balai adat mereka, yang sebenarnya memberikan pesan bahwa keberadaan mereka sendiri yang sedang terancam dan terpinggirkan. Balai adat merupakan bagian dari simbol keberadaan masyarakat adat Meratus, sebagian ritual mereka dilakukan di tempat ini.
Permintaan bantuan dana untuk renovasi balai adat kepada pemerintah oleh masyarakat adat Meratus, tidak selayaknya hanya direspon dengan menyatakan mengusulkan segera dianggarkan dana rehab balai tersebut dalam APBD 2008, yang terkesan kunjungan anggota dewan tersebut hanya dapat melihat ketidaklayakan balai saja. Hal ini memberikan gambaran bagaimana kalangan elit dalam berpikir dan bertindak, yang mengesampingkan pertanyaan mengapa masyarakat adat Meratus tidak mampu memperbaiki balai adat yang sangat penting tersebut. Apa yang sedang terjadi dalam kehidupan mereka? Apakah sumberdaya alam, khususnya hutan, di mana mereka tinggal sudah tidak cukup lagi memenuhi keperluan kehidupan mereka.
Penyebab mengapa masyarakat adat Meratus perlu bantuan dalam memperbaiki balai adat mereka yang seharusnya menjadi perhatian dan pemikiran anggota dewan yang berkunjung tersebut. Permohonan bantuan ini secara tidak langsung menyatakan ada yang salah dalam pengelolaan kawasan hutan, khususnya Pegunungan Meratus. Pengelolaan kawasan hutan yang tidak memperhatikan keberadaan manusia di dalam dan sekitar hutan yang sebenarnya memprihatinkan. Mereka membutuhkan hutan dalam melanjutkan kehidupan dan tradisi, namun nyatanya hutan tersebut yang dirampas dan dirusak untuk mendapatkan kayunya saja.
Masyarakat adat Meratus sebenarnya tidak mempunyai mental “pengemis”, tetapi mereka memang tergantung dengan keberadaan hutan. Apabila kawasan hutan dimana mereka bergantung mengalami gangguan, maka gangguan tersebut bisa menjadi bencana dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, pemerintah dan kalangan elit politik sudah sepatutnya berbuat dalam membenahi pengelolaan kawasan hutan, tidak seenaknya saja mengeluarkan perizinan hak pemanfaatan hutan dengan mengabaikan dan tidak memperdulikan keberadaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan.
Apalagi, masyarakat adat Meratus sangat mempunyai ikatan yang sangat kuat dengan hutan dan kawasannya. Sehingga, kebijakan yang berkenaan dengan kehutanan sudah seharusnya memperhatikan eksistensi budaya di kawasan hutan tersebut dan menjadikannya acuan dalam pemanfaatannya. Masyarakat adat Meratus memberikan isyarat yang cukup bijaksana dengan mempertunjukkan balai adat mereka yang rusak; yang memerlukan bantuan, sebagai isyarat semakin menyusutnya kawasan hutan. Mereka membutuhkan kebijakan yang memihak terhadap eksistensi budaya dalam pengelolaan hutan, dibandingkan dana perbaikan balai adat mereka.
Hutan Kalimantan Selatan yang tersisa terus mengalami gangguan, tanpa dibarengi pembenahan pengelolaan saat ini yang sangat beroreintasi kepentingan ekonomi dengan mengabaikan kepentingan ekologi dan sosial/budaya. Sehingga menempatkan sebagian besar masyarakat Kalsel berada dalam keadaan yang rentan terhadap bencana alam, termasuk bencana budaya bagi masyarakat adat Meratus. ***
*) Alumni SMAN I Rantau