Tuesday, January 08, 2008

BALAI ADAT MERATUS Oleh: HE. Benyamine *)

Kamis, 6 Desember 2007
Radar Banjarmasin

Masyarakat adat Pegunungan Meratus minta sumbangan seng untuk atap Balai Adat. Ada apa dengan masyarakat adat tersebut, sehingga untuk merenovasi balai adat mereka harus meminta sumbangan dengan pihak lain. Bagaimana jika mereka harus membangun balai adat baru, mungkin lebih tidak sanggup lagi. Masyarakat minta sumbangan, apalagi kepada pemerintah, bukanlah perbuatan yang dilarang ataupun merendahkan masyarakat tersebut. Tapi, sumbangan untuk sesuatu yang menjadi bagian dari budaya masyarakat itu terasa menyedihkan. Apalagi keberadaan balai adat tersebut termasuk bagian budaya yang sangat vital dan penting.

Masyarakat adat Maratus, dengan asumsi masih dalam budaya mereka, tetapi sudah tidak mampu lagi menopang balai adat mereka, yang sebenarnya memberikan pesan bahwa keberadaan mereka sendiri yang sedang terancam dan terpinggirkan. Balai adat merupakan bagian dari simbol keberadaan masyarakat adat Meratus, sebagian ritual mereka dilakukan di tempat ini.

Permintaan bantuan dana untuk renovasi balai adat kepada pemerintah oleh masyarakat adat Meratus, tidak selayaknya hanya direspon dengan menyatakan mengusulkan segera dianggarkan dana rehab balai tersebut dalam APBD 2008, yang terkesan kunjungan anggota dewan tersebut hanya dapat melihat ketidaklayakan balai saja. Hal ini memberikan gambaran bagaimana kalangan elit dalam berpikir dan bertindak, yang mengesampingkan pertanyaan mengapa masyarakat adat Meratus tidak mampu memperbaiki balai adat yang sangat penting tersebut. Apa yang sedang terjadi dalam kehidupan mereka? Apakah sumberdaya alam, khususnya hutan, di mana mereka tinggal sudah tidak cukup lagi memenuhi keperluan kehidupan mereka.

Penyebab mengapa masyarakat adat Meratus perlu bantuan dalam memperbaiki balai adat mereka yang seharusnya menjadi perhatian dan pemikiran anggota dewan yang berkunjung tersebut. Permohonan bantuan ini secara tidak langsung menyatakan ada yang salah dalam pengelolaan kawasan hutan, khususnya Pegunungan Meratus. Pengelolaan kawasan hutan yang tidak memperhatikan keberadaan manusia di dalam dan sekitar hutan yang sebenarnya memprihatinkan. Mereka membutuhkan hutan dalam melanjutkan kehidupan dan tradisi, namun nyatanya hutan tersebut yang dirampas dan dirusak untuk mendapatkan kayunya saja.

Masyarakat adat Meratus sebenarnya tidak mempunyai mental “pengemis”, tetapi mereka memang tergantung dengan keberadaan hutan. Apabila kawasan hutan dimana mereka bergantung mengalami gangguan, maka gangguan tersebut bisa menjadi bencana dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, pemerintah dan kalangan elit politik sudah sepatutnya berbuat dalam membenahi pengelolaan kawasan hutan, tidak seenaknya saja mengeluarkan perizinan hak pemanfaatan hutan dengan mengabaikan dan tidak memperdulikan keberadaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan.

Apalagi, masyarakat adat Meratus sangat mempunyai ikatan yang sangat kuat dengan hutan dan kawasannya. Sehingga, kebijakan yang berkenaan dengan kehutanan sudah seharusnya memperhatikan eksistensi budaya di kawasan hutan tersebut dan menjadikannya acuan dalam pemanfaatannya. Masyarakat adat Meratus memberikan isyarat yang cukup bijaksana dengan mempertunjukkan balai adat mereka yang rusak; yang memerlukan bantuan, sebagai isyarat semakin menyusutnya kawasan hutan. Mereka membutuhkan kebijakan yang memihak terhadap eksistensi budaya dalam pengelolaan hutan, dibandingkan dana perbaikan balai adat mereka.

Hutan Kalimantan Selatan yang tersisa terus mengalami gangguan, tanpa dibarengi pembenahan pengelolaan saat ini yang sangat beroreintasi kepentingan ekonomi dengan mengabaikan kepentingan ekologi dan sosial/budaya. Sehingga menempatkan sebagian besar masyarakat Kalsel berada dalam keadaan yang rentan terhadap bencana alam, termasuk bencana budaya bagi masyarakat adat Meratus. ***

*) Alumni SMAN I Rantau

Dayak Dusun Siap Gelar Pawanangan

Senin, 26 November 2007
Radar Banjarmasin

KOTABARU – Salah satu khasanah budaya yang dimiliki Kotabaru adalah acara adat yang dimiliki oleh suku Dayak Dusun yang tinggal di kecamatan Sungai Durian. Biasanya upacara adat tersebut dilaksanakan setiap menjelang musim panen dan biasanya disebut upacara Pawanangan oleh suku dayak yang tinggal di kaki gunung Meratus.

Dalam acara tersebut setiap kali memasuki puncak acara selalu ditampilkan tarian khas suku dayak tarian Babalian.

Musian, tokoh adat masyarakat Dayak Dusun di sana akrab dipanggil Pa Ida, mengungkapkan upacara adat dilaksanakan tiga kali dalam setahun. Saat pelaksanaan ritual dipersiapkan kue-kue dan wewangian, juga beberapa jenis makanan seperti Lamang, Dodol, Wajik, Cucur, serta Pais yang dibungkus dengan daun aren.

Selanjutnya, pelengkap ritual wewangian di siapkan di saat sudah dekat menjelang puncak pesta adat, seperti bawang, jahe, dan jenis-jenis wewangian lainnya lainnya.

Sedangkan hewan yang dipotong dalam upacara itu, tahun pertama menjelang musim panen akan di potong seekor ayam, tahun kedua kambing, dan tahun ketiga kerbau. Ritual ini terus dilaksanakan secara berurutan dari musim panen pertama, kedua, dan ketiga dalam setahun.

Apabila hasil panen melimpah upacara adat yang diwarnai tarian Babalian adat suku Dayak Dusun, pemotongan hewan bisa lebih dari satu. Tapi kalau musim panen kurang atau gagal upacara adat Pawanangan tetap dilaksanakan, namun disesuaikan kemampuan.

“Hasil panen melimpah atau tidak acara adat ini tetap dilaksanakan. Karena bagi masyarakat kami upacara adat Pawanangan ini wajib dilaksanakan setiap tahunnya,” jelas Pa Ida.

Untuk persiapan upacara adat tahun ini 208 kaleng padi dibagikan kepada fakir miskin, dengan biaya sebesar Rp13 juta. (ins)