Wednesday, October 18, 2006

Peneliti Dayak Luncurkan Buku

Minggu, 15 Oktober 2006 02:03:22

Pontianak - Institut Dayakologi meluncurkan buku "Mutiara Damai dari Kalimantan", dalam upaya membangun kembali perdamaian di Kalimantan Barat. Kalbar dalam sejarahnya memang kerap dilanda konflik etnis, yang tidak sedikit menimbulkan korban jiwa maupun harta benda.

Ketua Segerak Pancur Kasih, AR Mecer, di Pontianak, Sabtu (14/10), mengatakan terjadi 13 kali kerusuhan antara Dayak-Madura, dua kali Melayu-Madura dan satu kali antara Tionghoa-Dayak serta antara sesama Dayak di masa lalu (pengayauan/mengayau). Konflik etnis terakhir terjadi pada 2002 di Kota Pontianak.

Meski tidak terjadi lagi, benih-benih konflik masih ada. Secara nyata masih bisa dilihat adanya kelompok etnis yang belum menerima etnis lainnya masuk ke wilayah mereka. Benih-benih konflik tersebut, menurut Mecer, harus dihilangkan dengan membudayakan perdamaian.

"Buku Mutiara Damai dari Kalimantan" yang memiliki 258 halaman ditulis selama tiga bulan oleh lima peneliti Institut Dayakologi yang terdiri atas R Giring, Uray Endang Kusumajaya, Pandhita Eny Enawaty (Budha), Subro, Leo Sutrisno.

Mecer berharap masyarakat Kalbar membacanya dan memahami betapa tidak ada gunanya konflik. Konflik merugikan banyak pihak.klc

Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Saturday, October 14, 2006

Upacara Tiwah Masih Lestari

Minggu, 08 Oktober 2006 00:04

Hadirnya lukisan perahu pada beberapa media penguburan masyarakat Dayak tak lepas dari upacara tiwah mengantar roh leluhur yang telah mati yang hingga kini masih lestari di pedalaman Dayak, Kalimantan Tengah. Walaupun memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan upacara kematian di provinsi lain, hingga kini tiwah belum diberdayakan sebagai aset pariwisata dan budaya daerah.

Misalnya di Desa Penda Barania, Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah (Kalteng), sekitar 45 kilometer dari Palangkaraya, dengan menyusuri Sungai Kahayan, rangkaian tiwah berlangsung masih asli.

Ratusan sanak famili dari nenek moyang yang ditiwahkan berduyun-duyun datang ke Desa Penda Barania dengan menggunakan perahu kelotok. Tidak terlihat wisatawan luar daerah yang khusus mengunjungi kegiatan langka tersebut.

Rangkaian tiwah terdiri dari 14 tahapan yang digelar selama dua bulan. Ritual pertama dimulai dengan mendirikan Balai Nyahu (rumah tulang belulang leluhur) hingga tahap terakhir Uluh Balian Buli (memulangkan pemuka agama)

Ritual Tabuh diselenggarakan dengan menombak kerbau sekitar 14 ekor. Tabuh I bertujuan menyatukan roh dari unsur Liau Balawang Panjang (roh dari unsur bapak). Selanjutnya Tabuh II akan menyatukan roh Liau Karahang Tulang (roh dari unsur ibu) dan Tabuh III menyatukan unsur bapak dan ibu dengan roh Liau Panyalumpak (unsur roh dari Yang Kuasa). ncu/kcm

Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Lukisan Perahu Dalam Mitologi Dayak

Minggu, 08 Oktober 2006 00:04

PERAHU merupakan salah satu alat transportasi yang dikenal oleh hampir semua penduduk di seluruh dunia terutama yang berdiam di daerah pantai, danau, rawa, atau daerah sungai. Pada beberapa daerah perahu memiliki fungsi simbolis dengan arti tertentu.

Fungsi simbolis biasanya berkaitan dengan konsep dan kegiatan religius. Demikian juga dengan di Kalimantan seperti Kalteng dan Kalsel yang daerahnya hampir sebagian besar daerah rawa dan sungai.

Menurut peneliti khusus budaya Dayak dari Balai Arkeologi Banjarmasin, Hartatik, pada masyarakat Dayak Kalsel dan Kalteng yang menganut religi Kaharingan, perahu memiliki fungsi simbolis. Berkaitan dengan upacara tiwah atau perahu dipercaya mengantarkan arwah ke surga.

"Ini dalam bentuk peti mati yang berbentuk perahu. Ada juga papan perahu banama tingang pada upacara tiwah kecil," kata Tatik-panggilannya.

Raung atau rarung menurutnya, terbuat dari kayu ulin atau kayu lain yang dilobangi tengahnya sehingga mirip dengan perahu. Yang menarik adalah motifnya yang digambar dengan motif stiliran flora dan sulur-suluran.

"Dalam penguburan ini mayat yang telah dimasukkan dalam peti mati di beri peralatan sehari-hari seperti mandau, suling, lanjung salah, beriut, tikar bendera, dan peralatan lainnya," tambahnya.

Ini ditujukan karenna dalam perjalanan ke dunia asalnya si arwah juga seperti orang hidup yang beraktifitas. Setelah mayat dikuburkan dalam tanah sebagian diletakkan di sekitar kubur atau dikuburkan bersama si mati.

"Setelah dua atau tiga tahun dimana keluarga si mati mempunyai biaya yang cukup untuk mengadakan pesta tiwah, kuburan dibongkar. Tulang-tulang diambil lalu dimasukkan dalam wadah guci atau mangkok," papar peneliti lulusan Universitas Gajah Mada ini.

Ada pula yang dibakar lalu abu dan sisa-sisa tulang Sisa abu atau trulang ini lalu ditempatkan dalam satu tempat yang disebut sandong. Bangunan ini berbentuk rumah panggung kecil yang biasanya disebut rumah arwah. Dilengkapi juga dengan dinding dan pintu.

"Bentuk dasar bangunan ini adalah empat persegi panjang yang dindingnya melebar ke atas. Bentuk ini sama dengan dasar perahu yang dasarnya lebih sempit bagian bawahnya. Bentuk sandong menyerupai bentuk perahu dengan hiasan-hiasan simbol perjalanan arwah menuju lautan," jelasnya.

Kemudian ada juga papan berahu banama atau disebut papan perahu banama tingang. Pada upacara mamapas tali adalah upacara dengan menggunakan media berupa sebuah papan bergambar perahu yang disebut perahu benawa. Ini ditujukan untuk menceritakan kembali perjalanan hidup si mati, sejak kelahiran hingga kematian.

Pada banawa tingang karena selain terdapat gambar perahu, juga terdapat gambar atau patung burung tingang dengan alat-alat upacara.

"Penggambaran ini adalah untuk memberi kekuatan pada arwah yang digambarkan dalam perjalanan ke lewu tatau dengan menaiki perahu. Agar aman dari gangguan roh jahat dan selamat sampai tujuan, kerabat yang masih hidup melaksanakan upacara dengan membaca mantra atau mitologi untuk memberi kekuatan pada arwah," pungkas Tatik. ncu

Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Friday, October 13, 2006

Aruh Balanggatan Suku Dayak Atiran (1)

Minggu, 24 September 2006 23:09:32
Minta Panjang Umur Dan Dilimpahkan Rezeki

Suara gendang yang ditabuh dengan syair menyayat hati menyeruak kegelapan malam. Saat itu jarum jam telah menunjukkan pukul 22.30 Wita. Beberapa pria paruh baya dengan pakaian adat tampak terlihat duduk mengelilingi papan langgatan yang merupakan bangunan sesembahan.

Sementara itu, kaum wanitanya menghentak-hentakkan kaki sambil menari mengelilingi bangunan empat persegi yang dipenuhi aneka macam makanan sesembahan. Prosesi itu mereka lakukan dengan penuh kekhidmatan.

Mereka adalah suku dayak balai adat Desa Atiran Kabupaten HST yang kemarin malam, Minggu (24/9) telah merampungkan proses Aruh Balanggatan sebagai tanda syukur dipanjangkan umur dan doa menghadapi musim tanam supaya kembali dilimpahkan rezeki.

"Dengan aruh ini kami minta pada Yang Maha Kuasa agar kami dikaruniai kesehatan, kemudahan rezeki dan keberhasilan dalam bercocok tanam kembali," ujar Rajuddin, ketua panitia Aruh Balanggatan.

Digelar selama enam hari enam malam, sejak Selasa (12/9), seluruh warga adat desa Atiran berkumpul di balai ini untuk melaksanakan rentetan ritual yang menurut mereka tidak boleh dikurangi dan ditambah.

Rentetan ritual tersebut sebut Rajuddin dimulai sejak Selasa siang dimana seluruh warga Atiran yang melaksanakan aruh itu berkumpul di balai adat dengan membawa serta seluruh keluarganya. Mereka akan berada disini selama enam hari enam malam mengikuti seluruh rangkaian ritual.

Saat malam harinya, ritual pertama dilaksanakan dengan acara yang mereka namakan aruh adat dengan leluhur, datu-datu mereka yang ada di alam sana.

Sambil baiigal (menari) mengelilingi bangunan persegi yang ada di tengah balai, para tokoh adat menganggap ini sebagai ritual pembuka dimana para peserta aruh secara bergantian menari berkeliling.

Pada malam itu selamatan pertama dimulai dengan mempersembahkan satu lonjor kue lemang yang mereka sembahkan kepada leluhur mereka. Keesokan harinya, kue lemang kembali dibuat untuk dipersembahkan lagi kepada leluhur dengan cara diletakkan di bawah papan langgatan.

Pada malam hari berikutnya, para peserta aruh akan mencuci beras ketan untuk dimasak menjadi lemang dengan acara yang sama seperti yang dilaksanakan pada malam pertama.

Hari ketiga, ritual bergeser pada papan langgatan ke dua yang akan diturunkan dimana posisinya di belakang papan langgatan pertama. wahyudi rachman

Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Thursday, October 12, 2006

Bakar Pohon Denda Rp50 Ribu

Senin, 18 September 2006 01:01:12

Kandangan, BPost
Untuk menjaga kelestarian hutan di Pegunungan Meratus, masyarakat Dayak Loksado memiliki aturan tersendiri, yakni setiap orang yang membakar satu pohon dikenakan denda Rp50 ribu.

Meski tak tertulis aturan itu dihargai oleh masyarakat setempat. Namun kadang pembakaran lahan juga berimbas pada terbakarnya pohon.

Rahat (70), peladang Malinau mengakui pada bulan ini mereka siap melakukan pembakaran lahan.

"Kami melaksanakannya dengan gotong royong supaya tak menyebar ke lahan lain tapi tiap tahun tetap ada saja kebakaran meluas," akunya.

Pantauan BPost, Minggu (17/9), ratusan peladang dari 48 balai adat di Kecamatan Loksado serentak melakukan pembakaran lahan pada September ini. titik lahan siap dibakar warga terlihat di sepanjang jalan Kecamatan Loksado.

Dimulai dari wilayah Halunuk, Panggungan, Tanuhi, Malinau, Lumpangi, Loksado, Haratai, Kamawakan, Ulang bahkan sampai perbatasan dengan Hulu Sungai Tengah.

Pengamat sosial HSS Rahmad Iriadi SP yang juga ikut memantau areal siap dibakar ini mengkhawatirkan hal ini berdampak negatif terhadap lingkungan hutan.

"Bayangkan bila satu balai adat ada enam kepala keluarga dan masing-masing kepala keluarga membakar satu sampai dua hektare tiap tahun, berapa ratus hektar lahan terbakar setiap tahun," kata sekretaris PKB HSS ini.

Dia memprediksi tidak mustahil dalam jangka waktu beberapa puluh tahun mendatang hutan rakyat bisa habis.

Plt Kadishutbun HSS Ir Udi Prasetyo, mengakui mulai minggu terakhir September secara serentak masyarakat adat melakukan tradisi pembakaran lahan. Namun sejauh pantauan pihaknya, pembakaran masih sebatas semak belum menyentuh hutan lindung.

Namun diakuinya memang lahan milik masyarakat yang dibakar bukan saja terjadi di luar kawasan hutan lindung tapi juga ada yang di dalam kawasan. "Karena ada ladang milik masyarakat yang dalam kawasan hutan," katanya.

Pemkab tak bisa mengubah tradisi warga yang sudah turun temurun tersebut. Cara buka ladang dengan bakar lahan ini selain berdampak positif juga bisa negatif.

Positifnya cara membakar ini membuat kesuburan tanah karena kandangan nitrogen hasil pembakaran semak berubah jadi humus. Negatifnya, bila kebakaran merayap ke kawasan hutan lindung dan pohon keras juga ikut dibabat.

Dishutbun melakukan penataan dengan sistem pembakaran terkendali. Warga yang membakar melapor ke pembakal setempat dan kemudian diberitahukan kepada Polhut agar pembakaran diawasi.

Selain itu juga sudah dikampanyekan sistem ladang gilir balik. Di mana lahan yang telah diladangi dalam jangka beberapa tahun kemudian diladangi kembali." Atau dengan melaksanakan pertanian sistem tumpang sari di daerah pegunungan," tambah Udi. ary

Copyright © 2003 Banjarmasin Post